Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
7 WAYS TO BE AN IDIOTS BOSS
(Inspired by True Event)
Apakah kamu pernah merasakan sudah tidak betah di kantor tapi bertahan karena butuh gajinya? Aku pernah. Apakah kamu pernah merasakan stress di kantor? Bukan karena pekerjaannya tapi karena bos-nya? Aku pernah. Apakah kamu pernah memiliki bos yang menyebalkan? Aku pernah. Apakah kamu pernah memiliki bos yang tidak tahu waktu, hingga waktu libur dan di luar jam kerja pun, dia memintamu untuk bekerja? Aku pernah … dan bodohnya, saat itu aku menganggapnya sebagai dedikasi dalam bekerja!
Baiklah, ini ceritaku dan cerita ini bermula ketika aku diterima bekerja di sebuah kantor ekspor impor di Bandung beberapa waktu silam. Bukan sebuah perusahaan ekspor impor besar yang berlokasi di gedung pencakar langit tapi sebuah perusahaan ekspor impor kecil yang berlokasi di ruko dua lantai. Pegawainya tidak banyak, karena itu aku yang bertugas di bagian keuangan terkadang harus menjadi marketing juga. Awalnya tidak masalah karena aku selalu teringat janjiku pada saat diwawancara dulu.
“Oji,” ucap seorang pria bertubuh tambun dengan rambut cepak gaya tentara yang duduk di kursi besar empuk berlapis kulit dengan sandarannya yang tinggi. Pria itu bernama Ucu Pikasebeleun, bos di kantor ini. “Uzy, Pak,” kataku pelan dan sopan untuk membetulkan panggilan namaku tadi. Pria itu menatapku lurus dengan pipinya yang tembam. “Eh Oji juga ga masalah deh Pak,” cengirku merasa tak enak mendapat tatapan seperti itu.
“Di kantor ini kita tidak punya banyak pegawai, di sini kita tim, di sini kita saling back up, kita harus bekerja sama dan saling bantu, itu artinya kamu juga harus bersedia melakukan pekerjaan yang bukan pekerjaanmu sebagai keuangan saja, gimana Oji?” tanyanya sambil duduk bergoyang-goyang santai di kursi singgasananya, seakan kalau aku tidak mau maka dia pun tidak peduli.
Mencari pekerjaan bukanlah hal yang mudah, apalagi bisa sampai di tahap wawancara seperti ini dan gagal hanya karena aku menolak bekerja sama dengan rekan kerja lainnya? Oh tidak, aku tidak akan melakukan kebodohan itu dan aku juga tidak mau kalau harus menganggur lagi, maka dengan yakin aku mengangguk, “Saya siap Pak.” Ucu Pikasebeleun menatapku kali ini lebih serius, kursinya sudah tidak bergoyang-goyang lagi. Dia meletakkan kedua sikunya di gagang kursi dengan jemarinya saling menumpuk di atas perutnya yang gendut.
“Kamu yakin Oji?”
Aku mengangguk.
“Saya butuh komitmen.”
“Saya berjanji untuk membantu kerja tim Pak,” ucapku sungguh-sungguh. Sebuah janji yang nantinya akan aku sesali. “Betul nih kamu mau janji untuk meng-handle kerjaan lain, meski itu bukan tugasmu?” Ucu Pikasebeleun ingin memastikan lagi. Aku mengangguk, “Ya, saya janji Pak.”
“Selamat bergabung di perusahaan kami!” serunya seraya menyodorkan tangannya cepat membuatku kaget nyaris lompat dari kursi. Kami pun berjabat tangan.
Ya awalnya memang tidak masalah, aku melakukannya atas nama kerja sama tim tapi lama kelamaan aku berpikir, selama melakukan dobel job ini bahkan terkadang lembur hingga malam, aku tidak pernah mendapatkan reward apa pun dari kantor. Padahal dapat pujian saja itu sudah membuatku senang. “Baru tahu ya kalau di sini lembur atau dobel job ga dapet apa-apa? Bahkan pujian aja ga dapet,” tawa Jono rekan kerja sebelah mejaku lalu menyeruput kopinya yang sedikit lagi tinggal ampas itu. Aku tersenyum pahit.
Mari kita mulai, inilah nomor satu dari, “7 Ways To Be An Idiot Boss”.
JANGAN MEMUJI KERJA PEGAWAI SEBALIKNYA PUJI DIRI SENDIRI, JANGAN MEMBERI LEBIH KECUALI GAJI DAN KALAU PEGAWAI MENUNTUT HAKNYA BUATLAH ALASAN YANG MEMBUAT PEGAWAI JADI MERASA TAK ENAK.
“Kita harus protes!” cetus Beni, salah satu senior marketing dari dua senior marketing yang ada di kantor pada kita semua di lantai dua pagi itu. Leni, senior marketing satunya lagi, tampak ragu mendengar ajakan rekan satu divisinya itu. Ageng dari bagian dokumen, membetulkan kacamatanya lalu mengangguk-ngangguk. “Nah Geng, kamu setuju ‘kan kalau kita protes?” tembak Beni. Ageng terkejut gelagapan ditembak seperti itu, “Eh … setuju? Saya masih pikir-pikir Pak.” Beni menghela nafas, “Kalau kamu masih mikir kenapa tadi ngangguk-ngangguk sih?” Ageng nyengir, “Saya mah manggut-manggut tapi di pikiran saya masih mikir-mikir Pak.” Beni menepuk jidatnya.
“Saya setuju Pak!” cetus Endang tiba-tiba, seorang office boy yang juga merangkap sebagai pengantar dokumen. “Alus (bagus)Ndang!” puji Beni lalu menatapku dan Jono. Berharap aku dan Jono mendukungnya juga tapi kita hanya diam. “Eh memang kita mau protes apa sih Pak? Dan mau protes ke siapa?” Endang terlihat bingung. Pak Beni berdecak kesal, “Hadeh ‘kan udah saya jelasin kemarin pas makan siang Bolot!” Endang nyengir, tampak sekali dia tidak ingat.
“Protes karena selama ini, pekerjaan kita tidak diapresiasi dengan semestinya! Kerja lembur kalian tidak dihargai! Dan bonus saya sebagai marketing ga dikeluarin! Teman-teman, kalian sadar ga sih kalau kalian di sini itu kerja dobel-dobel? Kalian harusnya dibayar lebih atau minimal dapet lemburan loh … iya ga? Coba lihat, Endang jadi obe dan nganter dokumen, Ageng ngurus dokumen juga nyari-nyari klien sama kayak Jono dan Oji jadi akunting dan keuangan tapi juga nyari klien!”
“Uzy, Pak Ben,” koreksiku.
“Iya Oji,” balas Beni.
“Trus kamu mau kita ngapain Ben?” tanya Leni.
“Ya kita harus kompak dan protes untuk---“
“Hey pagi-pagi malah ngumpul bukannya kerja!!” bentak sebuah suara dari arah tangga membuat semua terkejut. Dengan cepat semua orang langsung berpura sibuk ketika menyadari Ucu Pikasebeleun sudah berdiri di belakang mereka dengan kedua tangan di pinggang. Ageng dengan cepat mengambil setumpuk kertas dokumen seakan sedang sibuk memeriksa dokumen-dokumen. Leni dan Beni tiba-tiba kompak mengangkat telepon genggam mereka, pura-pura sibuk menelepon, “Iya Bu, saya akan kirim penawaran harga ekspornya hari ini,” kata mereka berdua nyaris bersamaan. Endang saking gugupnya buru-buru membersihkan debu di lemari dokumen dengan ujung jaketnya padahal ada kemoceng tergantung di samping lemari. Aku dan Jono langsung bermain cilukba karena meja kerja kami ada di lantai bawah jadi tidak bisa pura-pura sibuk seperti yang lainnya, hehehe, bukan deng, kami hanya terdiam, mati kutu.
“Oji, Jono! Ngapain kalian di sini? Sekarang waktunya kerja, ke bawah sana!” usir Ucu Pikasebeleun. Kami pun bergegas ke lantai bawah. “Tapi tunggu!” cetus Ucu Pikasebeleun membuat aku dan Jono menghentikan langkah sebelum turun tangga. “Saya sudah mendengar apa yang dikatakan Beni tadi!” suara Ucu Pikasebeleun terdengar tegas membuat semuanya terdiam. “Semuanya ke ruangan kerja saya!” lanjutnya, kemudian dia masuk ke ruangan kerjanya yang memiliki ruangan paling besar dibanding ruangan kerja bagian lainnya.
Tak lama semua orang berdiri di depan meja Ucu Pikasebeleun. “Perhatian semua,” Ucu Pikasebeleun memulai kalimatnya seperti kepala sekolah saat upacara bendera di SD, “saya sudah dengar yang kalian bicarakan tadi … dengar ya, kalian itu beruntung masih bisa bekerja di sini. Lihat di luar sana banyak orang yang menganggur. Kalian jangan egois, kalian bekerja di sini itu bukan untuk diri sendiri tapi juga untuk kita bersama. Kalau kita semua harus lembur atau dobel job, itu hal yang biasa … banyak di luar sana yang kerja lebih berat dari kalian tapi mereka tidak banyak mengeluh bahkan tidak digaji. Lihat saya, saya membangun perusahaan ini demi kalian bisa bekerja di sini, kalian harusnya berterima kasih pada saya loh ….”
“Tapi Pak soal bonus saya---”
“Beni, Beni, Beni …” potong Ucu Pikasebeleun, “sebelum meminta apa yang bukan hakmu (di kalimat ini Beni terkejut, aku bisa membaca apa yang terlintas dalam pikiran Beni saat itu, seperti berkata, heh saya dapet target, harusnya dapat bonus loh, kok bisa bilang itu bukan hak saya?)… coba dilihat dulu hasil kerjamu … apakah bulan ini kamu dapat target?”
Beni mengangguk, “Dapat Pak.”
“Bulan lalu?”
“Dapat juga Pak,” yakin Beni.
Ucu Pikasebeleun terlihat menelan ludahnya. “Mmm … bulan lalunya lagi?” nada suara Ucu Pikasebeleun sedikit grogi mengetahui kalau Beni ternyata bisa memenuhi targetnya terus menerus. “Dapat dong Pak,” jawab Beni gagah. “Benar itu No?” Ucu Pikasebeleun memastikan pada Jono sebagai akunting yang mencatat pencapaian setiap marketing. “Iya Pak. Pak Beni dapat target terus selama tiga bulan berturut-turut ini, hanya satu bulan sebelum mendapat target berturut-turut itu yang tidak target,” jelas Jono.
“Tah (Tuh)! Itu kamu tidak target!” seru Ucu Pikasebeleun senang bisa mendapatkan titik lemah Beni. “Tapi Pak, setelahnya saya tutup target terus dan Bapak bilang kalau marketing bisa capai target tiga bulan berturut-turut akan diberi bon---“
“Beni, Beni, Beni,” potong Ucu Pikasebeleun lagi, “kamu tahu ’kan peribahasa ‘karena nila rusak maka susu sebelanga titik’?” Semua orang saling pandang merasa sepertinya ada yang salah dengan peribahasa tersebut. “Karena nila setitik, rusak susu sebelanga, kali Pak,” Leni memberanikan diri untuk memperbaiki. “Ah tadi saya juga mengatakannya begitu Len, makanya kalau orang ngomong dengerin,” Ucu Pikasebeleun tak mau kalah. Leni hanya melongo. “Dih, dikira kita yang budek,” bisikku pada Jono. “Karena kamu Ben, jadi rusak keseluruhan kerja tim kita ini, padahal kita sudah bekerja sama dengan baik selama ini, eh kamu malah minta-minta bonus,” sambung Ucu Pikasebeleun.
“Tapi Pak, janji adalah janji,” kata Beni.
“Beni, apa kata teman-temanmu ini kalau kamu saya beri bonus tapi mereka tidak? Kamu ga kasihan sama mereka? Lihat wajah-wajah mereka itu, mengenaskan, pikarunyaeun (kasihan) … kamu kok tega Ben …” geleng-geleng Ucu Pikasebeleun. Beni jadi serba salah. “Begini saja, kalau bulan depan kamu dapat target lagi, baru kita bicarakan bonus, ok?” lanjut Ucu Pikasebeleun. Beni baru mau membuka mulutnya tapi Ucu Pikasebeleun sudah mendahuluinya berkata sambil bertepuk-tepuk tangan, “Ayo, ayo semua kembali kerja! Ayo waktu adalah uang, uang jangan dibuang-buang, jadi jangan buang-buang waktu! Ayo kembali kerja! Kerja!”
***
“Tapi dipikir-pikir … betul juga kata Pak Ucu, kita beruntung masih bisa kerja di sini dan digaji, di luar sana masih banyak pengangguran loh,” celetuk Jono di saat semua orang sedang makan siang bersama di lantai bawah pada suatu hari yang gersang tanpa hujan dan rindu, caila kayak novel romantis aja. “Ga gitu juga No … minimal ada penghargaan lah buat kita yang sudah kerja lembur,” sahutku. “Mentang-mentang dia yang punya perusahaan,” gerutu Beni sembari menyuap nasinya ke mulut, iyalah masa ke mata, kecolok dong. “Emang gimana sih ceritanya, sampe Pak Ucu bisa punya perusahaan ini?” tanyaku ingin tahu.
“Sebetulnya bukan Pak Ucu doang yang punya perusahaan ini … jadi kiyeu (begini) Ji … Pak Ucu itu dulu pernah kerja di perusahaan ekspor impor di Jakarta, terus dia pulang ke Bandung mau buka perusahaannya sendiri di bidang yang sama … nyari investor-lah dia trus dapat orang yang mau invest, nah investor itu jadi pemilik perusahaan ini juga bareng Pak Ucu, tapi Pak Uculah yang jadi bosnya di sini, si investor tinggal terima laporan dan dividen … dari situ, Pak Ucu buka lowongan, masuklah Pak Beni, saya, Ageng, Jono, Endang dan terakhir kamu, gitu Ji,” jelas Leni.
Aku manggut-manggut, “Berarti kalau bisa menggaet inevestor, Pak Ucu itu pinter dong ya.” Leni nyengir, “Pinpinbo lah menurut urang (saya) mah ... pintar-pintar bodo.” Aku tertawa. Beni membereskan bekas makannya, membuang bungkus nasinya ke tempat sampah lalu berkata, “Tapi perusahaan ga berjalan kalau ga ada kita yang bekerja bukan?” Aku mengangguk setuju. “Ngomong-ngomong kemana Pak Ucu? Sudah siang belum datang,” celetuk Ageng. Semua mengangkat bahunya. Tiba-tiba terdengar suara geruman mobil dari luar. Semua orang melongok keluar melalui kaca ruko yang besar dan melihat Ucu Pikasebeleun baru turun dari dalam sebuah mobil yang terparkir di depan ruko.
Beni terkejut tak percaya, “Hah, dia beli mobil baru?”
Betul mobil baru! Kau pasti tak percaya, dia memang beli mobil baru dong, jadi inilah nomor dua dari, “7 Ways To Be An Idiot Boss”.
BERI PENGHARGAAN PADA DIRI SENDIRI ATAS KERJA KERAS PEGAWAI DAN BILA PEGAWAI PROTES, KATAKAN ANDALAH KUNCI SUKSES DARI SETIAP PROYEK DI PERUSAHAAN.
Ucu Pikasebeleun melangkah masuk ke dalam kantor dengan tawa lebar. “Mobil baru Pak?” sindir halus Beni. “Iya Ben, bagus ‘kan?” tawa Ucu Pikasebeleun. “Mobil yang lamanya kemana Pak?” tanya Leni. “Buat nganter-nganter istri saya di rumah dong Len,” jawab Ucu Pikasebeleun. Semua terdiam. “Kenapa? Kok kalian seperti yang ga seneng saya beli mobil baru?” heran Ucu Pikasebeleun.
“Yang mencapai target saya dan Leni, kenapa Bapak yang dapat mobil?” Beni terdengar sinis. “Saya koreksi … bukan kamu dan Leni saja yang mencapai target Ben, tapi kita semua … masa kamu ga menghargai kerja Jono, Ageng, Oji dan Endang sih … parah kamu,” kata Ucu Pikasebeleun seakan kecewa. “Bukan saya ga menghargai teman-teman yang lain … tapi saya dan Leni marketing-nya Pak, ujung tombak perusahaan … kita yang cari job buat perusahaan, harusnya kita dapat fasilitas juga,” urai Beni, “iya ga Len?” Beni mencari dukungan tapi Leni tidak menanggapi, dia malah pura-pura melihat layar telepon genggamnya. Beni melirik sebal melihat sikap Leni itu.
“Tapi di sini semua juga berperan sebagai marketing loh Ben, jangan kamu lupa itu … Ageng nyari job juga, Jono dan Oji juga … malah kalian berdua yang enak, kerjanya cuma marketing … coba pernahkah kalian mengerjakan pekerjaan Ageng, Jono, Oji atau Endang? Ga pernah ‘kan?” tangkis balik Ucu Pikasebeleun membuat Beni terdiam mati kutu.
“Dan ingat, job-job kalian bisa berjalan lancar itu karena saya memiliki koneksi dan kenal dengan owner-owner pabriknya, jadi tidak salah kalau saya menghadiahi kerja saya ini dengan beli mobil baru, lagi pula mobil inventaris kantor buat kalian market masih bagus bukan?” lanjut Ucu Pikasebeleun sembari mengusap-ngusap perutnya yang gemoy. “Iya Pak masih bagus,” sahut Leni.
“Tapi tenang Ben, kamu boleh kok pinjam mobil baru saya itu … tapi kalau kamu dapat target bulan ini ya,” senyum Ucu Pikasebeleun lalu melangkah naik ke lantai dua. Beni mengepalkan tangannya geram. “Ayo semua kembali kerja! Istirahat makan siangnya sudah selesai! Waktu adalah uang, uang jangan dibuang-buang, jadi jangan buang-buang waktu! Ayo kembali kerja! Kerja!” teriak Ucu Pikasebeleun dari lantai dua.
“Wikti idilih iwing, iwing jingin dibiwing-biwing, jidi jingin biwing-biwing wikti! Iyi kimbili kirji! Kirji!” ledek Jono menirukan kalimat Ucu Pikasebeleun membuat semua tertawa tak terkecuali Beni.
***
Suara dering telepon terdengar keras.
Aku mengambil telepon genggam itu, menempelkannya di telinga. “Halo?” ucapku pelan seraya mengucek-ngucek mata. “Oji? Saya kirim pesan kamu berkali-kali tapi tidak kamu jawab-jawab, gimana sih! Coba kamu cek sekarang, laporan pembayaran pada vendor yang kamu bikin tadi siang, sepertinya ada yang salah tuh!” Aku terkejut mendengar suara itu. “Pak Ucu?” tanyaku tak percaya lalu melihat jam di dinding kamar, “ta ... tapi Pak, ini ‘kan jam sebelas malam?”
“Ya lalu?” tanya balik Ucu Pikasebeleun.
Nah! Beginilah kebiasaan dia itu, seenaknya dan tak tahu waktu, inilah nomor tiga dari, “7 Ways To Be An Idiot Boss”.
BERAKTING SEAKAN SEMUANYA PENTING, TIDAK BISA DITUNDA, PRIORITAS PERUSAHAAN ADALAH YANG PALING UTAMA DAN KALAU PEGAWAI MENOLAK MAKA TUNJUKKANLAH KALAU ANDA ADALAH BOSS-NYA.
Ini mimpi atau betulan ya? Aku bertanya-tanya karena masih setengah nyawa baru bangun dari tidur. “Halo Oji?” suara Ucu Pikasebeleun menyadarkan aku kalau ternyata ini bukan mimpi. “Harus sekarang banget Pak?” tanyaku malas. “Oiya dong. Kalau bisa sekarang kenapa harus menunggu besok? Ini penting!” jawab Ucu Pikasebeleun. “Tapi sekarang udah malam Pak,” kilahku.
“Oji … inilah saatnya kamu membuktikan dedikasi dan profesional kamu dalam bekerja … ingat, jangan bertanya apa yang sudah perusahaan berikan padamu tapi bertanyalah apa yang sudah kamu berikan untuk bosmu eh perusahaanmu.”
“Baik Pak kalau begitu,” aku langsung tersuntik vaksin yang berisikan serum dedikasi dan profesional itu. Dengan semangat bangun dari tempat tidur, mengeluarkan laptop dan menyalakannya. “Gimana sudah kamu cek?” tanya Ucu Pikasebeleun menunggu. “Sedang saya cek Pak,” jawabku. “Oji,” panggil Ucu Pikasebeleun. “Iya Pak?” sahutku dengan mata yang terus memeriksa laporan. “Malam-malam begini kenapa belum tidur?” tanyanya tanpa dosa. Lah Kutil Gajah! ‘Kan elu yang ngebangunin gue tadi? Cetusku jengkel dalam hati.
“Mau ngeronda Pak,” jawabku asal, “Pak, saya sudah cek, kesalahan ini sepertinya dari invoice-nya vendor sendiri, jadinya saya ikut salah input, nanti saya cek di kantor.” Terdengar suara Ucu Pikasebeleun tertawa, dia memang selalu senang bila berhasil menemukan kesalahan yang dilakukan pegawainya. “Bagus, saya tunggu besok laporan revisinya Oji!” Aku terkejut lagi, “Tapi besok hari Minggu Pak.” Ucu Pikasebeleun berdehem keras, “Ingat yang tadi saya katakan?!”
“Iya Pak, dedikasi dan harus profesional,” ucapku lesu.
“Nah! Dan bukan itu saja, selalu ingatlah siapa bosnya di sini Oji,” Ucu Pikasebeleun terdengar jumawa sekali, “oya … jam berapa besok kamu mau ke kantor?”
“Agak siang Pak,” jawabku, malas sekali sebetulnya tapi mau bagaimana lagi.
“Bagus.”
Setelah itu telepon ditutup, aku pun berteriak keras di balik bantal.
***
Sejujurnya bukan karena dedikasi dan profesionalisme semata, tapi lebih kepada takut menganggur lagi maka aku pergi ke kantor pada hari Minggu pagi itu. Ya pagi, awalnya memang siang aku mau ke kantor tapi setelah kupikir, lebih enak datang pagi supaya pulangnya tidak terlalu sore. Sesampainya di kantor aku melihat pintu kantor sudah terbuka dan ada mobil baru Ucu Pikasebeleun sedang terparkir di depan ruko.
Aku mengerutkan kening, selama aku lembur di hari minggu, seingatku belum pernah dia datang. Sepertinya ada pekerjaan penting yang membuat dia juga harus lembur hari ini dan datang pagi-pagi, begitu kata prasangka baikku. Jono pun terlihat belum datang maka aku masuk saja ke dalam kantor. Aku memang selalu janjian dengan Jono bila ada lemburan untuk meminjam kunci pintu kantor, karena hanya Jono dan Ucu Pikasebeleun yang memegang kuncinya.
Aku duduk di kursi kerjaku dan mulai mengecek invoice-invoice dari vendor. Tiba-tiba aku terkejut karena mendengar suara-suara aneh dari lantai dua. Hatiku berdegup tegang. Tidak hanya suara aneh saja tapi terdengar suara-suara rintihan juga. Berdegup jantungku. Ada rasa takut yang kuat tapi juga ada rasa ingin tahu yang besar di hatiku. Semua bergumul menjadi satu. Pikiranku melayang ke hal yang tidak-tidak dan aku mulai berpikir buruk.
Maka untuk menghilangkan pikiran buruk itu, aku memutuskan untuk mencari tahu apa yang terjadi di lantai dua. Aku berjalan perlahan menaiki satu persatu anak tangga nyaris tanpa suara seiring jantungku yang berdebar-debar. Suara itu makin terdengar jelas. Perlahan aku melongok di lantai dua. Tidak ada siapa pun di ruangan Leni, Ageng maupun di ruangan meeting. Aku menjadi semakin tegang saja. Terdengar suara itu lagi! Ternyata suara itu berasal dari ruangan Ucu Pikasebeleun!
Aku ingin memanggil tapi tak berani, entah kenapa aku hanya diam dan mengikuti saja kakiku melangkah mendekati ruang kerja Ucu Pikasebeleun. Pintunya terbuka sedikit tapi itu sudah cukup untuk membuatku bisa mengintip apa yang terjadi di dalam. Aku menelan ludah sebelum menjulurkan kepalaku perlahan-lahan untuk mengintip dan apa yang kuintip membuatku tak percaya. Mataku terbelalak lebar. O ma Gawd, batinku berkata sok inggris.
Tidak ingin ketahuan dan karena gugup juga, maka aku segera menarik diriku menjauh dari pintu. Aku tak ingin lama-lama mengintip, yang penting aku sudah menuntaskan rasa ingin tahuku lalu bergegas menuruni anak tangga. Sesampainya di meja kerja aku masih tak bisa berkata-kata. Masih sulit untuk percaya. Tidak berlama-lama, aku segera mengambil kembali tas kerjaku dan berjalan keluar kantor. Setelah berada di seberang jalan, aku menelepon kantor. Terdengar dering yang tak diangkat-diangkat untuk beberapa saat hingga dering itu mati sendiri. Aku menunggu sebentar lalu menelepon kembali. Tidak ada yang mengangkat juga. Aku melakukannya berulang kali.
Hingga dari seberang jalan, aku melihat mobil Ucu Pikasebeleun keluar dari parkiran ruko dan langsung ngebut tancap gas, entah pergi kemana. Yes rencanaku berhasil, aku memang sengaja menelepon kantor untuk membuatnya pergi. Tak lama muncullah Jono dengan motornya. Aku segera kembali ke kantor. “No! No!” panggilku pada Jono yang sedang membuka pintu kantor. “Kamu kenapa? Kayak yang abis lihat setan?” heran Jono. “No … kamu ga akan percaya sama apa yang baru saya lihat barusan!” seruku.
“Wah ada apa Ji? Apa yang baru kamu lihat?” Jono penasaran. “Tapi kamu harus janji ga akan ceritain ini ke siapa-siapa lagi! Ok?” Jono mengangguk cepat. Sebelum bercerita aku menyeduh kopi dulu dan Jono membeli gorengan, setelah kopi dan gorengan siap maka cerita pun kumulai.
***
“Dengarkan semua, mulai bulan ini, target tim tahunan kita akan dirubah angkanya menjadi tiga puluh ribu dollar, naik sepuluh ribu dollar dari target awal, angka sudah disetujui investor, jadi siapkan strategi kalian untuk mencapai target tersebut ok?” kata Ucu Pikasebeleun. Semua yang berada di ruang meeting menatap Ucu Pikasebeleun tak percaya. “Kenapa pada diam? Bingung ya dari mana saya bisa dapat angka itu? Jadi semalam tuh saya iseng-iseng berpikir, rasanya angka ini tepat deh untuk jadi target tim tahunan kita, jadi ya saya rubah saja angka yang kemarin,” senyum Ucu Pikasebeleun. Hah iseng-iseng?! Kagetku dalam hati.
“Tapi kenapa mendadak Pak?” cetus Beni.
Mendadak adalah gaya Ucu Pikasebeleun, sungguh menyebalkan, inilah nomor empat dari, “7 Ways To Be An Idiot Boss”.
TERUS UBAH TARGET TIM SECARA MENDADAK, JANGAN BERI PENJELASAN PADA PEGAWAI KENAPA TARGET ITU DIRUBAH, JANGAN BERI MEREKA STRATEGI KARENA ANDA MEMANG TIDAK PUNYA. BIARKAN MEREKA TERUS MENEBAK-NEBAK DAN BEKERJA KERAS UNTUK MENCAPAI TARGET YANG TIDAK MUNGKIN.
“Pak kita sudah sepakat untuk target tahun ini di angka dua puluh ribu dollar dan kita sudah sepakati itu di tahun lalu loh,” lanjut Beni gusar. “Kata orang pintar … yang mana itu adalah saya hehehe (Ucu Pikasebeleun menunjuk dadanya sendiri di kalimat ini) … jadi untuk memotivasi kita bekerja semakin giat, maka kita harus menentukan target yang sulit untuk dicapai … begitu Ben,” alasan Ucu Pikasebeleun sok bijak. “Iya tapi ga dadakan juga Pak … kenapa sih selalu di menit-menit akhir saat target tahunan itu akan tercapai, Bapak tiba-tiba selalu merubahnya?” protes Beni.
“Karena itu kita semua harus bekerja dengan lebih keras lagi dan lebih giat lagi,” kilah Ucu Pikasebeleun. “Pak, tapi---“ Beni tidak bisa melanjutkan kalimatnya karena Ucu Pikasebeleun sudah memotongnya. “Coba tanggapan dari yang lain gimana? Masa dari Beni terus sih? Coba Ageng menurutmu gimana?” Ageng membetulkan kacamatanya, berkata, “Menurut saya---“
“Oya Geng, gimana cicilan motor masih lancar?” potong Ucu Pikasebeleun.
Ageng terdiam sebentar, lalu berkata, “Mmm … masih Pak.” Ucu Pikasebeleun manggut-manggut, “Bagus kalau masih lancar jangan sampai macet ya, kamu ga mau dicegat debt collector di jalan ‘kan? Hahaha …” Ageng menggeleng. “Ok Geng, jadi menurutmu gimana dengan target tim tahunan kita yang baru ini?” lanjut Ucu Pikasebeleun. “Mmm … menurut saya target tim tahunan kita yang baru ini akan membuat kita semakin semangat dalam bekerja Pak,” kata Ageng. Ucu Pikasebeleun tertawa senang mendengarnya, “Nah itu maksud saya.”
“Geng … what?! Are you okay?” Beni terkejut. Ageng menunduk mengalihkan pandangannya dari Beni. Beni pun geleng-geleng. Leni mengangkat tangannya. “Ah Leni, silakan bicara, gimana menurutmu?” tanya Ucu Pikasebeleun. Leni mau membuka mulut tapi Ucu Pikasebeleun mendahuluinya, “Eh suamimu Pak Tata gimana kabarnya? Apakah dia senang bekerja di perusahaan pelayarannya yang baru? Untung banget koneksi saya bisa bantu ya.”
Beni menghela nafas kesal seraya menyandarkan tubuhnya. Cara main yang licik! Begitu aku bisa menduga apa yang terlintas di dalam pikiran Beni saat itu.
“Eh iya Pak, suami saya betah di kantornya yang baru …” cengir Leni
“Loh kok malah bahas suamimu? Kita di sini ‘kan lagi bahas target tim yang baru … jadi gimana menurutmu Len?” tanya Ucu Pikasebeleun berpura-pura padahal dialah yang duluan membahas suami Leni tadi. “Menurut saya … Pak Beni benar,” kata Leni. Beni menatap Leni tak percaya kali ini Leni mendukungnya sedang Ucu Pikasebeleun terlihat kecewa mendengar kalimat Leni itu.
“Tapi tidak sepenuhnya benar sih … karena Pak Ucu juga betul,” kata Leni ternyata masih ada sambungannya. Ucu Pikasebeleun tersenyum lebar, “Menarik …maksudmu gimana Len?” Leni menegakkan duduknya, berkata, “Pak Beni tidak sepenuhnya benar karena target tim memang haruslah di angka yang sulit untuk dicapai, Pak Ucu benar karena ini akan membuat kita semua semakin giat dalam bekerja.”
Beni berdecak kesal, “Kamu ngomong apa sih Len … bukan itu yang saya maksud … tapi kenapa selalu dirubahnya itu di last minute saat target tim kita akan tercapai … ini memberi kesan seolah perusahaan tidak mau kita mencapai target supaya bonus tim ga keluar!”
“Wow Beni, Beni, Beni … itu tuduhan yang serius,” geleng-geleng Ucu Pikasebeleun.
“Lantas apa alasannya Pak? Jelaskan saya!”
“Sebelum saya jelaskan, kita tanya dulu pendapat Jono dan Oji,” kata Ucu Pikasebeleun santai. Dia terlihat tenang dan menguasai keadaan sedang Beni terlihat begitu emosi dan gelisah. “Ok Pak,” angguk Beni. “No, dari sudut pandang orang akunting, gimana menurutmu dengan target tim tahunan kita yang baru ini?” tanya Ucu Pikasebeleun lalu meneguk teh botolnya. Jono mengangguk-ngangguk meyakinkan, dari bahasa tubuhnya aku sudah duga Jono akan mengeluarkan analisanya yang dalam sebagai orang yang paham akan akunting berkaitan dengan target tim yang terlalu tinggi ini.
“Menurut saya sebagai orang akunting untuk target tim kita yang baru ini Pak Ucu dan Teman-teman sekalian …” Jono memulai kalimatnya lalu semua orang menunggu lanjutan kalimatnya. “Saya mah ikut ajah deh hehehe,” lanjut Jono dengan cengiran di wajahnya. Eh si Bleguk! Cetusku dalam hati karena salah menduga. Beni pun terlihat kecewa dengan respon Jono itu. Sedang Ucu Pikasebeleun tertawa senang, “Kalau menurut kamu gimana Oji?”
“Uzy Pak.”
“Iya Oji, gimana menurutmu?”
“Menurut saya target yang baru ini---“
“Ah Oji pasti sama dengan si Jono, orang mereka satu divisi, kita skip jawaban Oji, biar cepat, saya akan langsung saja menjelaskan alasan dirubahnya target tim ini, soalnya sudah siang, saya lapar,” potong Ucu Pikasebeleun membuat aku mengumpat kesal dalam hati, sialan belum juga ngomong!
“Jadi alasannya, adalah …”
Semua orang menatap Ucu Pikasebeleun.
“Tidak harus saya jelaskan lagi! Karena sudah jelas alasannya di depan tadi yaitu supaya kita semua bekerja dengan lebih giat lagi,” kata Ucu Pikasebeleun. “Saya sudah duga jawabannya itu!” gumam Beni kesal, “sama seperti tahun lalu!” Aku terkejut. “Tahun lalu juga begini No?” bisikku pada Jono. Jono mengangguk. Hah? Aku melongo.
“Baik Pak kalau itu alasannya, tapi setidaknya kasih tahu kita apa strategi Bapak supaya kita bisa mencapai kekurangan dari target itu dalam waktu dua bulan saja.” Aku tidak merasa Beni melemparkan kalimat itu sebagai sebuah pertanyaan, tapi lebih kepada tes saja apakah Ucu Pikasebeleun benar-benar memiliki strategi atau tidak.
Ucu Pikasebeleun berdiri dari duduknya, berkata, “Tahun lalu kamu juga melempar pertanyaan yang sama, apakah tidak ada pertanyaan lain Ben? … Strateginya ya sama seperti tahun lalu, pakailah strategi yang menurut kalian paling bagus ….”
Bilang saja tidak punya strategi Kodok Zuma! Kesalku dalam hati. Aku melihat wajah Beni yang tak kaget lagi seperti sudah pernah mendengar jawaban itu. “Tenang … kalian usahakan saja dulu supaya target ini tercapai, ga usah terlalu mikir strategi lah, ok? Baiklah rapat kita tutup, silakan makan siang.” Setelah mengatakan itu Ucu Pikasebeleun melangkah keluar ruangan.
Beni menyalakan rokoknya terlihat sekali dia kecewa dan marah. “Kalian gimana sih? Ga ada yang mendukung saya!” ketusnya. “Ben … kita mau dukung kamu tapi kamu denger sendiri tadi dia neken saya sama Ageng … kita bisa apa Ben?” balas Leni tak kalah kesal kemudian melangkah keluar ruangan. Beni menghembuskan asap rokoknya dan tidak bisa membantah Leni, karena memang benar seperti itu tadi. Aku bisa merasakan kegeraman Beni.
“No … kamu kenapa ga dukung saya tadi sih?” kini Beni mengarahkan kekecewaannya pada Jono, “sebagai orang akunting, saya yakin kamu pasti paham kalau target itu ga mungkin kita capai, apalagi ini udah dua bulan lagi mau tahun baru, ini memang hanya akal-akalan si Ucu aja supaya ga ngeluarin bonus tahunan! Saya bener ‘kan No?”
Jono mengusap-ngusap wajahnya lalu mengangguk-ngangguk. “Trus kenapa kamu ga ngomong itu tadi No? Malah mendukung dia? Kumaha sih maneh (Gimana sih lo)!” kesal Beni sembari menghembuskan asap rokoknya keluar dari kedua lubang telinga eh hidungnya. “Pak Ben, saya masih butuh kerja,” alasan Jono. Beni geleng-geleng kecewa. “Kalau tahun lalu ini terjadi, kenapa sekarang kalian masih kaget?” celetukku. “Maksud kamu?” tanya Ageng. “Maksudku, kalau perubahan dadakan ini terjadi berulang, kenapa masih kaget? Seharusnya kalian sudah siap-siap sih,” sambungku. “Kita ga kaget Oji, kita hanya kesal!” gemas Beni lalu mematikan rokoknya ke dalam asbak dengan gerakan kasar. “Trus lo punya saran ga Ji?” tanya Jono.
Aku mengangkat kedua bahuku, menggeleng, “Mmm … saran? Apa ya? Belum ada saran kayaknya No.” Ageng menjentikkan jarinya, “Saya ada ide!” Semua menatap Ageng menunggu apa yang akan dia uraikan mengenai idenya itu. Detik berlalu semua masih menunggu. “Nungguin yaaaa,” cengir Ageng. “Borokokok siah (Dasar nyebelin lo)! Malah bercanda!” kesal Beni.
"Sori … sori … gini idenya … gimana kalau si Ucu kita kudeta?” bisik Ageng kali ini wajahnya serius. “Hah?!” aku, Jono dan Beni sama-sama kaget. Tidak kusangka Ageng yang terlihat kutu buku dan tak banyak bicara ini ternyata bisa punya pikiran anarkis seperti itu juga. “Kamu serius?” kaget Jono.
“Iya … sampe kapan kita mau dibodoh-bodohi sama bos yang idiot itu?” Ageng masih berbisik bahkan di ujung kalimatnya nyaris tak terdengar. “Peyot? Siapa yang peyot?” Beni mengerutkan keningnya. “Bukan peyot Pak Ben, tapi idiot … kalau peyot mah bijinya si Jono tuh,” tawaku. “Koplok maneh (Sialan lu)!” cengir Jono. Beni ikut tertawa dengan lelucon itu tapi tidak bagi Ageng. Wajahnya masih tampak serius. Aku memberi tanda pada Beni dan Jono untuk kembali serius memerhatikan Ageng.
“Jadi rencana kamu gimana Geng?” Beni penasaran. “Kudeta, hanya satu-satunya jalan yang bisa kita lakukan saat negosiasi, berunding, rapat, sudah tidak bisa dilakukan lagi,” tegas Ageng. Melihat Ageng seserius itu membuatku tegang, aku seperti berada di sebuah film pemberontakan, di mana sekelompok pria sedang berencana untuk mengudeta para jendral, hehehe. “Dia sangat licik dan tahu kelemahan kita, tapi dia ga tahu kalau kita tahu kelemahan dia,” senyum sinis Ageng.
“Emang apa gitu kelemahan dia?” tanya Jono. “Iya, apa kelemahannya Geng?” timpal Beni. “Kelemahannya adalah …. saya juga ingin tahu apa kelemahan si Ucu Pikasebeleun itu … saya juga belum tahu!” cetus Ageng kesal. “Har ai maneh (Yah gimana sih lo)! Kirain tahu!” sebal Beni. Aku dan Jono melengos sebal juga. “Tapi … tapi … kita tahu kebiasaan dia bukan?” Ageng berbisik lagi. “Kebiasaan apa? Kalau dia suka nonton video bokep siang-siang?” sahut Beni. Ini membuatku terkejut, “Wah beneran?” Beni mengangguk. “Tuh tanya si Jono, dia pernah mergokin ke ruangannya siang-siang, eh si Kutu Kupret lagi nonton.” Jono tertawa dan mengangguk mengiyakan.
“Bukan, bukan kebiasaan yang itu … kalau itu kebiasaan kita semua,” sahut Ageng, “tapi kebiasaan dia untuk minum teh botol!”
“Ya terus? Perasaan ga ada yang aneh dengan kebiasaannya itu deh,” Beni menyalakan rokoknya lagi sepertinya dia sudah tak tertarik dengan ide Ageng. “Apa hubungannya teh botol sama kudeta yang tadi kamu bilang itu Geng?” aku masih tak mengerti korelasinya. “Teh botolnya kita kasih racun! Setelah itu kita kudeta kantor ini!” bisik Ageng tapi suaranya cukup terdengar jelas oleh kita semua. “Hah?” Aku, Jono dan Beni kompak terkejut lagi, bahkan mulut Beni terbuka lebar hingga rokoknya menggantung di bibirnya.
“Kok saya jadi takut sama kamu ya Geng? Culun-culun ternyata psiko juga anjir!” geleng-geleng Jono. “Geng … saya emang sebal sama si Ucu … tapi ide kamu itu kriminal … saya ga mau ikutan ah,” Beni mengangkat kedua tangannya menandakan dia tidak mau. “Yap, saya setuju sama Pak Beni,” timpalku. “Hadeeh … bukan diracun sampai mati … tapi diracun pake obat pencahar cair … setelah dia ga masuk-masuk kantor karena diare, kita bisa kudeta ini kantor!” seru Ageng bersemangat.
“Apa siapa yang mau kudeta?!” bentak suara keras dari pintu membuat semua orang terlompat dari duduknya. Ucu Pikasebeleun telah berdiri dengan dahi yang berkerut mencurigai semua orang. Aku bisa merasakan degup jantungku yang berdetak cepat dan bisa melihat wajah-wajah pucat dari Jono, Ageng juga Beni. Kita tertangkap basah, seperti pemberontak yang sudah ketahuan sebelum melakukan rencana kudetanya. “Kalian sedang membicarakan apa ini? Kudeta? Kudeta apa Geng?!” Ucu Pikasebelun menatap Ageng dengan tajam. Ageng tampak tegang dan aku yakin dalam pikirannya sedang kalang kabut mencari jawaban yang paling pas.
“Mmm … itu Pak … kudeta soal … mmmm …”
“Kita lagi ngomongin soal kudeta di film G30S PKI Pak,” cetusku cepat membuat Ageng, Jono dan Beni tanpa dikomando langsung mengangguk serempak mendukung kalimatku. “Nah iya, iya … betul itu Pak,” cengir Ageng gugup. “Iya Pak, Oji betul ... kita lagi bahas itu … jahat banget mereka itu, sumpah,” timpal Beni. “Tega ya mereka maen culik aja,” geleng-geleng Jono. Ucu Pikasebeleun menatap Jono, Beni, Ageng dan aku bergantian, sepertinya dia tak percaya dengan alasan itu.
“Dan kalian tahu? Film itu membuat saya ga bisa tidur dulu hahaha,” tawa Ucu Pikasebeleun membuat kita semua menghela nafas lega.
***
“Oji!” panggilan keras itu membuatku terkejut. Juga membuat semua orang yang sedang makan siang di lantai bawah terkejut.
“Iya Pak?” aku melihat Ucu Pikasebeleun turun dari lantai dua sembari membawa kertas dokumen lembar job marketing. “Apa ini?” sentak Ucu Pikasebeleun menunjukkan kertas itu di depan wajahku. “Laporan job marketing-nya Bu Leni Pak,” jawabku. Ucu Pikasebeleun menggeleng, “Iya saya tahu itu, tapi lihat lagi yang benar!” lalu melempar kertas itu ke atas mejaku. Aku mengambilnya dan mencari di mana salahnya.
Lembar job marketing di perusahaan ekspor impor adalah sebuah lembar yang berisikan hitungan lengkap dari sebuah job ekspor/impor baik dari harga dasarnya, biaya-biaya yang dikeluarkan sampai berapa nilai keuntungannya. Lembar job ini harus diisi oleh bagian keuangan dengan data dari si marketing atau diisi sendiri oleh si marketing bila mendapatkan sebuah job ekspor/impor kemudian lembar itu akan ditandatangani oleh si marketing, bagian keuangan dan bos.
“Saya tidak melihat ada yang salah Pak,” kataku setelah mengeceknya. “Kamu bodoh atau tolol Oji?” sentak Ucu Pikasebeleun lagi. Wajahku memerah malu mendengar makian itu. “Nih!” tunjuk Ucu Pikasebeleun. Aku mengerutkan kening setelah melihatnya. “Itu refund Pak … itu ‘kan termasuk biaya yang harus dilaporkan bukan?” aku merasa tidak ada yang salah dengan hal itu. “Refund jangan dimasukkin ke dalam laporan job dong!” Ucu Pikasebeleun bertolak pinggang. “Maaf Pak saya menulis ini juga mengikuti saran Bapak dan permintaan dari marketing-nya sendiri, dan saya lihat dari lembar job-job sebelumnya refund itu memang dimasukkin Pak,” sanggahku. Ucu Pikasebeleun menatapku, “Jangan ngarang kamu … mana ada saya menyarankan itu?”
Beginilah tipikal bos yang ga mau disalahin, sooo, inilah nomor lima dari, “7 Ways To Be An Idiot Boss”.
BERSIKAPLAH ANDA TIDAK PERNAH SALAH. JANGAN AKUI KESALAHAN ANDA. JANGAN MEMINTA MAAF KALAU ANDA SALAH, KARENA ITU MENUNJUKKAN ANDA LEMAH. BAHKAN, SALAHKAN PEGAWAI ATAS KESALAHAN ANDA. PERMALUKAN DIA DI DEPAN UMUM.
Aku menahan kegeraman dalam hati mendengar sangkalan itu. “Itu memang saya yang meminta Oji, supaya refund itu dimasukkan Pak,” sela Leni. “Leni, kamu juga tolol … refund itu tidak boleh dimasukkan … nanti kalau di-audit bagaimana?” kesal Ucu Pikasebeleun. “Kalau tidak boleh … lalu semua lembar job itu gimana Pak? Karena hampir di semua lembar job, ada refund, tidak mungkin bila harus direvisi semua,” bingung Jono. “Kalian ini semua bodoh! Sejak kapan refund dimasukkan ke laporan hah?!” bentak Ucu Pikasebeleun.
“Sejak Bapak memberi contoh,” kataku lalu menunjukkan lembar job marketing atas nama Ucu Pikasebeleun yang aku ambil dari tumpukan dokumen selagi dia ngomel. Ucu Pikasebeleun terdiam, wajahnya menunjukkan malu sebetulnya tapi gengsinya memang tinggi untuk mengakui kalau dia salah. “Mana saya lihat!” Ucu Pikasebeleun merebut lembar itu dari tanganku dan memeriksanya.
“Oh ini job tiga tahun yang lalu Oji! Tahun ini sudah tidak berlaku lagi!” tegasnya. “Tapi ini dari job Bapak sebulan yang lalu,” aku menunjukkan lagi lembar job atas nama Ucu Pikasebeleun di mana refund masih tertera di situ. Ageng dan Leni tampak tersenyum dikulum di pojok ruangan sana melihat Ucu Pikasebelun mendapat skak mat dariku.
“Kamu jangan nyari-nyari kesalahan orang ya Oji! Ingat saya ini bosmu! Ini bukan perusahaan nenek moyangmu! Jaga tatitutmu itu!” seru Ucu Pikasebeleun.
“Tatitut?” bisik Leni pada Ageng. “Maksud dia attitude kali,” jawab Ageng sambil menahan tawanya. Mereka berdua pun cekikikan. “Heh diam!” sentak Ucu Pikasebeleun pada Leni dan Ageng kemudian kembali menatapku. “Kamu harusnya tahu kalau itu salah, ya kamu revisi dong, makanya jangan jadi otak udang! … Kamu juga Jono! Sebagai akunting makanya otak dipake, jangan dipajang doang! Kamu koreksi dong, kasih tahu nih si Oji! Di mana loyalitas kalian berdua pada perusahaan hah? Malah membiarkan kesalahan ini terjadi selama bertahun-tahun!”
“Bukankah bagus kalau refund itu dilaporkan Pak?” Jono memberanikan diri. “Bagus gundulmu itu! Mulai hari ini refund tidak boleh dicantumkan! Dengar semua? Bilangin juga sama si Beni, kalau nanti dia datang … ayo sudah kembali kerja lagi, istirahat makan siang sudah selesai! Waktu adalah uang, uang jangan dibuang-buang, jadi jangan buang-buang waktu! Ayo kembali kerja! Kerja!” Ucu Pikasebeleun kemudian berjalan keluar kantor, langkahnya berdentam keras membuat perutnya yang buncit berguncang-guncang, dia menaiki mobilnya dan tancap gas.
“Arrrggghh!!” geramku menahan kesal. “Sabar, sabar Ji, ga apa-apa dibilang otak udang juga, masih mending punya otak … dari pada saya, otak saya dibilangnya pajangan, dih emangnya otak saya foto keluarga apa? Buat dipajang doang!” rutuk Jono lalu menepuk-nepuk bahuku. “Sudah saya bilang ‘kan? Hanya ada satu kata, kudeta!” seru Ageng. “Kudeta teh naon (apa) Pak?” celetuk Endang. “Semacam kupat tahu Ndang,” sahut Leni asal. Endang manggut-manggut.
***
“Yakin Pak mau mengambil keputusan ini?” tanyaku. Beni mengangguk, “Iya Ji … saya yakin … saya udah cukup … udah cukup muak di sini.” Hari itu adalah hari di mana Beni memutuskan untuk resign dari kantor. “Saya sudah ikut dari awal sejak perusahaan ini berdiri, saya sudah cukup bersabar … saya pikir dia akan berubah tapi engga ... saya ga mau membuang waktu saya di sini …” kata Beni menjelaskan kenapa dia resign padahal tidak ada yang menanyakannya juga. “Semoga sukses dengan apa yang akan Bapak lakukan di luar sana Pak,” ucapku. Kemudian Beni menyalami semuanya satu persatu dan sebelum keluar kantor dia menatap semua orang yang ada di situ.
“Saya harap kalian juga keluar dari sini … kalian ga akan maju di sini.”
Setelah mengatakan itu Beni pun pergi dan sejak hari itu sampai hari ini, aku belum pernah bertemu lagi dengannya. Tak lama dari kepergian Beni, tiba-tiba Ucu Pikasebeleun muncul dari lantai dua dan berkata, “Siapa yang mau makan siang padang gratis? Saya mau traktir nih!” Dengan cepat Ageng mengacungkan jari disusul Leni, Jono dan Endang. Duh begitu cepat mereka melupakan Beni, kataku dalam hati kecewa. “Oji, kamu mau ga?” tanya Ucu Pikasebeleun. “Mau Pak, pake rendang!” sahutku.
***
Kepergian Beni membuat semua orang di kantor semakin sibuk. Kehilangan Beni adalah kehilangan satu sumber pemasukan dan karena Ucu Pikasebeleun bersikeras tidak mau mencari marketing baru maka semua orang kini wajib mencari job untuk membuat perusahaan tetap berjalan. Semua orang khawatir ketimpangan ini akan membuat pendapatan perusahaan semakin menurun dan tidak bisa menutupi biaya-biaya operasional, akibatnya perusahaan bisa bangkrut. Meski Ucu Pikasebeleun menyebalkan, semua masih ingin tetap bekerja di sini karena mencari pekerjaan baru bukanlah hal yang mudah. Bayang-bayang menjadi pengangguran menari-nari di depan mata semua orang, kegelisahan begitu terasa di kantor tapi begini jawaban Ucu Pikasebeleun ketika ditanya kenapa tidak mau mencari marketing baru lagi.
“Untuk apa mencari marketing baru? Kenapa tidak mengoptimalkan saja yang ada? Kita semua bisa menjadi marketing kok. Kalian hanya harus semakin semangat dalam bekerja bahkan kalau perlu datang lebih pagi dan pulang lebih malam.”
Semuanya diam terkesima mendapat jawaban mengesalkan itu, menurutmu gimana? Kesel 'kan? Inilah nomor enam dari, “7 Ways To Be An Idiot Boss”.
JANGAN BUANG WAKTU ANDA UNTUK MENDENGARKAN PEGAWAI. HARAPAN, IMPIAN DAN KETAKUTAN MEREKA. ALIH-ALIH MEMAHAMI, MENDUKUNG DAN MEMBIMBING MEREKA, DESAK MEREKA UNTUK TERUS BEKERJA LEBIH KERAS LAGI. JANGAN MEMANUSIAKAN PEGAWAI SEBAGAI ASET YANG BERHARGA TAPI ANGGAP SEBAGAI ALAT KERJA SAJA. FOKUS PADA WAKTU YANG MEREKA HABISKAN DI KANTOR, BUAT MEREKA MENYESAL KARENA MENGAMBIL CUTI DAN LIBUR DI AKHIR PEKAN.
“Bayangkan kalau semua dari kita bisa dapat job? Bukankah bonus kalian juga akan semakin besar? Jadi tidak perlu marketing baru itu,” kata Ucu Pikasebeleun. “Kalau semua jadi marketing, siapa yang ngerjain dokumen, akunting dan keuangan Pak?” Ageng menggaruk-garuk kepalanya. “Ageng, Ageng, Ageng … mudah itu … itu hanya masalah membagi waktu saja,” jawab Ucu Pikasebeleun tanpa beban. “Bagi waktu gimana? Ini aja mengurus dokumen sampai ke tujuan di luar negeri itu cukup ribet Pak,” kata Ageng.
Ucu Pikasebeleun tertawa, “Gitu aja bingung Geng … gini, jadi pagi sampai sore, kalian mencari job, sore sampai malam kalian mengerjakan tugas bagian masing-masing. Simpel ‘kan?”
“Terus kita kapan pulangnya?” sela Jono.
“Ya jangan sampai malam-malam lah … cukup sampai jam delapan atau sembilan malam saja setiap hari … kalau mau lebih ya lebih bagus itu,” senyum Ucu Pikasebeleun.
“Itung lembur Pak?” tanyaku berharap.
“Ya ampun Oji, kamu ini ga punya empati banget … perusahaan sedang dalam kondisi susah kamu malah itung-itungan … ckckck,” geleng-geleng Ucu Pikasebeleun, aku jadi merasa tak enak dibilang seperti itu. “Tapi kalau tiap hari seperti itu bisa kecapean dong Pak, saya sih ga mau,” Leni menolak mentah-mentah ide itu. “Ya kalau kamu mah tidak perlu sampai malam Len, karena kamu ibu rumah tangga … ganti dengan hari Sabtu atau Minggu saja juga bisa … atau jangan cuti dulu.” Ucu Pikasebeleun mengatakannya seperti pegawainya tidak punya kehidupan di luar kantor saja.
“Tapi Pak … saya sudah mengajukan cuti sejak lama dan Bapak sudah menyetujuinya juga,” kata Leni. “Astaga Leni … saya setuju karena waktu itu masih ada Beni … sekarang lihat kondisinya, apakah kamu tega melihat teman-temanmu bekerja siang malam sedang kamu cuti dan liburan? Bersenang-senang di atas penderitaan mereka?” tunjuk Ucu Pikasebeleun pada aku, Ageng dan Jono. Lagi-lagi, Ucu Pikasebeleun menggunakan pegawainya sebagai tameng padahal tidak satu pun di antara kita yang akan merasa menderita bila Leni mengambil cuti. Cuti adalah hal yang biasa di dunia kerja bukan?
“Nanti juga ada saatnya kita semua liburan Len … kamu itu kayak ga pernah liburan aja sih …” geleng-geleng Ucu Pikasebeleun. “Tapi saya sudah janji sama anak-anak saya Pak,” Leni berkata lemah. “Saya yakin mereka anak-anak yang pintar, mereka akan mengerti kalau ibunya tidak jadi cuti karena sedang giat bekerja untuk masa depan mereka,” senyum Ucu Pikasebeleun. “Baiklah nanti saya bicarakan lagi dengan suami saya,” Leni pun menyerah.
“Sudah sepatutnya seperti itu Len,” Ucu Pikasebeleun menepuk-nepuk bahu Leni kemudian meminta semuanya untuk kembali bekerja, “ayo kembali bekerja semua, waktu adalah uang, uang jangan dibuang-buang, jadi jangan buang-buang waktu! Ayo kembali kerja, kerja!” Kami pun membubarkan diri.
“Gelo (Gila)! Pinter banget dia memanipulasi pikiran Bu Leni dan kita semua!” kataku pada Jono saat kita sudah kembali di meja kerja. Kegerahanku akan sikap Ucu Pikasebeleun kepada pegawainya makin menjadi-jadi. Seperti Beni, aku mencoba bersabar, menunggu perubahan selama berbulan-bulan ini tapi tidak ada yang berubah. “Kamu kok bisa sih betah kerja di sini No?” heranku. Jono yang mendapat pertanyaan itu tertawa, “Dibetah-betahin, bakat kubutuh (karena butuh) … menjadi pengangguran lebih menakutkan dari pada ngadepin dia, omongan dia masuk kuping kiri keluar lubang pantat aja hahaha.”
Sekarang aku paham mengapa mereka bisa bertahan. Masuk kuping kiri keluar lubang … ya itu tadi. “Meskipun hak-hakmu sebagai pegawai ga diberikan sama dia? Bayangin, lembur ga diitung, bonus dipersulit, cuti ga boleh, jam kerja jadi panjang bahkan sekarang kita disuruh masuk Sabtu Minggu juga, apa ga gila? …” gelisahku. “Selama gaji dibayarkan full dan ga telat, selama masih dapet traktiran makan siang, selama hayat masih dikandung badan, saya sih ga akan gila, saya akan gila kalau ga kerja dan tagihan datang terus tiap bulan … lagi pula Sabtu Minggu itu baru saran, kita atur-atur aja enaknya Ji,” balas Jono santai.
“Lagi pula ini perusahaan kecil, punya dia sendiri, apa yang mau kamu harepin sih Ji?” sambung Jono seraya mengambil sebatang rokok dari mejaku. “Meuli atuh (Beli dong)! Dasar narkoba! Narikan rokok batur wae (ngambil rokok temen mulu)!” cetusku. Jono nyengir. “Jadi kamu mau nerima kondisi ini begitu aja?” tanyaku. Jono menghembuskan asap rokoknya, mengangguk. “Sampai kapan?” aku masih mengejar Jono. Jono mengangkat bahunya. Sampai kapan? Aku pun melempar pertanyaan yang sama ke diriku sendiri dan ternyata aku juga tidak punya jawaban yang pasti.
Menganggur atau bertahan dengan bos yang menyebalkan? Dua-duanya adalah pilihan yang buruk tapi kalau kau sudah pernah berada dalam “neraka hidup” yaitu menjadi miskin dan menganggur maka tentunya kau pun akan memilih pilihan yang kedua.
***
Kenyataannya bisnis tidak semakin membaik meski semua orang sudah berusaha menjadi marketing. Job ekspor atau impor tak sesuai target, pendapatan perusahaan terus menurun sedang biaya-biaya operasional harus tetap dikeluarkan. Hari itu Ucu Pikasebeleun datang ke kantor dengan wajah ditekuk. Bisa terlihat dia sedang tidak senang dan tanpa menyapa langsung naik ke lantai dua. Langkah kakinya terdengar kesal karena dijejakkan dengan keras. “Tumben wajahnya kusut,” bisik Jono. “Tumben? Bukannya wajahnya emang udah kusut dari sononya ya?” cengirku. Jono tertawa. “Kayaknya bakal ada yang ngamuk hari ini nih,” sambungku. Jono mengangguk, “Sudah pasti, ada yang abis didamprat investor karena laporan keuangan jelek hihihi.”
“Jono! Oji! Naek ke atas sekarang, kita meeting!” teriak Ucu Pikasebeleun. “Bener ‘kan?” bisikku. Sampai di atas tampak Leni dan Ageng sudah lebih dulu berada di ruang meeting dan di ujung ruang, Ucu Pikasebeleun tengah berjalan bolak balik seperti hamster yang terjebak dalam kandang. Gelisah. Setelah melihat aku dan Jono duduk, tanpa tedeng aling-aling, Ucu Pikasebeleun langsung berkata keras, “Kalian bodoh semua!” kemudian kertas-kertas laporan keuangan dibantingnya di atas meja meeting. “Lihat itu!” perintahnya.
Here we go again, inilah nomor tujuh dari, “7 Ways To Be An Idiot Boss”.
SALAHKAN PEGAWAI KALAU PERUSAHAAN MERUGI. JANGAN REPOT-REPOT MENGEVALUASI APA YANG SALAH. JANGAN MENDENGARKAN SARAN DAN MASUKKAN DARI PEGAWAI, ITU HANYA BUANG WAKTU. TIDAK PERLU MENYUSUN STRATEGI BARU BERSAMA PEGAWAI UNTUK BISA MELAKUKAN “EPIC COME BACK”, LEBIH MUDAH MENUNJUK DAN MENYALAHKAN.
Aku dan Jono sebetulnya sudah tak perlu melihatnya lagi karena kami berdualah yang menyusun laporan keuangan tersebut tapi karena wajah Ucu Pikasebeleun terlihat merah padam dan kami khawatir kalau wajahnya mendadak meledak seperti gas 3 kilo, maka kami pun melihatnya lagi. “Tiga bulan kita rugi terus!!” seru Ucu Pikasebebelun bertolak pinggang. Semua diam tidak ada yang bicara.
“Kalian itu semua pada ngapain sih di sini? Kalian itu di sini bekerja digaji untuk membuat perusahaan untung, bukan rugi! Coba pikir sama otak kalian, kalau masih punya … kenapa kita merugi terus? Itu karena kalian bekerja tidak sungguh-sungguh. Kalau kalian begini terus, ini tidak perlu menunggu setahun perusaahaan akan bangkrut dan kalian akan menganggur semua!” cerocosnya lalu mengatur nafas. Dada dan perut Ucu Pikasebeleun terlihat naik turun terengah-engah seperti habis dikejar Tyrannosaurus kelaparan.
“Leni! Kamu adalah senior marketing di sini, kamu itu contoh buat yang lainnya, sebagai contoh kamu harusnya menunjukkan hasil market yang luar biasa seperti dulu, ini kenapa jadi melempem? Kamu tahu gajimu paling besar di sini dibanding yang lain?! Kalau kamu tidak target itu artinya perusahaan harus nombokin gajimu! Saya kecewa dengan cara kerja kamu Leni! Saya betul-betul reported!"
Aku berpikir keras dalam pikiranku, apa hubungannya reported dengan kekecewaan? Hmm, kayaknya disappointed deh. Aku tersenyum dikulum sendiri.
“Oji!” aku terkejut dipanggil keras. “Kenapa kamu senyam-senyum?! Perusahaan sedang sulit kamu malah senyam-senyum! Kita ini lagi serius Oji!” kesal Ucu Pikasebeleun. “Maaf Pak,” kataku menunduk. “Kamu juga kerja ga bener Oji, lihat kamu ga pernah sekali pun bawa job buat perusahaan! Kamu pikir kamu digaji di sini buat senyam-senyum hah!?” Ucu Pikasebeleun mencecarku dan aku berusaha mengikuti apa yang disarankan Jono, masuk kuping kiri keluar dari … ya kau tebak saja sendiri.
“Saya sudah berusaha Pak,” kilahku. “Alasan! Usahamu kurang keras Oji!” ketus Ucu Pikasebeleun. Ingin rasanya aku menjelaskan kalau aku sudah bekerja keras bahkan lembur sampai malam, terkadang Sabtu dan Minggu pun aku masuk, Jono bisa membuktikkannya karena kita selalu berbarengan tapi aku memilih diam, rasanya percuma memberikan penjelasan juga.
“Oji, kamu ini orang keuangan harusnya tahu, kalau kamu bawa job itu minimal kamu bisa menggaji dirimu sendiri, ini malah menjadi beban keuangan!” Aku menarik dan menghela nafas perlahan sambil berkata dalam hati, tenang, sabar. “Sudah ga bisa bawa job malah senyam-senyum! Kamu harusnya malu!” Tanganku mengepal, aku terus berjuang menahan diri agar tidak lepas kendali. “Kamu ingat tidak waktu kamu di-interview dulu? Kamu berjanji akan membantu, mana janjimu? Janjimu palsu!” bentak Ucu Pikasebeleun.
Aku mengangkat kepalaku, menatap Ucu Pikasebeleun. Mataku menyala nyalang, aku sudah tidak bisa menahan gemuruh amarah yang meletup-letup itu lagi. Aku melepaskan kemarahanku dari dalam diriku seperti Son Goku mengeluarkan jurus kamehameha-nya. Dengan cepat aku cengkeram kerah kemeja Ucu Pikasebeleun dan dengan kekuatan amarah, aku dorong tubuhnya hingga punggungnya menghempas dinding. Leni menjerit kaget sedang Jono bengong melihatku dan Ageng tersenyum dikulum dengan wajah senang sembari bergumam, “Nah ini namanya kudeta!” Ucu Pikasebeleun terkejut menatapku dan belum sempat dia menyadari apa yang terjadi, aku sudah menariknya lagi dan membantingnya hingga tubuh gempalnya menimpa meja meeting. Dia mengaduh kesakitan sembari memohon ampun padaku. Melihat itu aku bertolak pinggang dengan perasaan puas.
“Oji! Kamu ngerti yang saya bilang tidak?!” teriak Ucu Pikasebeleun tepat di depan wajahku membuat aku tersadar dari khayalan. Aku lihat semua orang sedang menatapku. Sial, ternyata tadi hanya khayalanku saja dan sayang sekali aku tidak punya keberanian untuk melakukan seperti yang aku khayalkan itu, jadi aku hanya mengangguk, “Iya Pak, ngerti.”
“Juga kamu Jono, Ageng … kalian itu belum maksimal mencari job, kalian memang dapet job tapi nilai job kalian itu sangat kecil … itu tidak bisa menutupi biaya-biaya operasional … nilai job kalian itu hanya bisa untuk menutup gaji si Endang dan beli kopi di kantor ini tahu!?” Aku melihat pada Jono dan Ageng yang tampak diam sambil menahan jengkel karena semua juga tahu kalau tugas utama mereka bukanlah mencari job seperti juga tugasku.
“Kalian semua harusnya malu sama saya … kalau kalian mau tahu, sayalah yang menopang gaji kalian dengan job-job saya! Sayalah yang membayari gaji kalian semua! Coba tanya Jono, kalau kalian tidak percaya … saya selalu target ‘kan No? Kasih tahu mereka No,” cetus bangga Ucu Pikasebeleun seraya membusungkan dadanya tapi tetap kalah dengan perutnya yang lebih busung.
“Mmm …” Jono ragu untuk berkata.
“Kenapa No, katakan saja, biar mereka semua tahu, ayo No …” desak Ucu Pikasebeleun. Jono mengeluarkan lembar-lembar job marketing atas nama Ucu Pikasebeleun dari mapnya dan pelan-pelan meletakkannya di atas meja meeting. “Mmm … dalam tiga bulan ini … mmm, hanya sebulan saja yang target Pak,” Jono sedikit gugup mengatakannya.
“Apa?!” Wajah Ucu Pikasebeleun berubah dari merah padam menjadi kuning pucat.
“Ini Pak, bisa dicek di lembar job ini, hasilnya minus … waktu itu Bapak sendiri yang bilang, jangan sampai orang tahu kalau---“
“Kamu salah hitung itu No! Jangan malu-maluin saya dong, kamu itu orang akunting harus kuat itungannya,” seru Ucu Pikasebeleun panik menutupi malunya, “lagi pula kita ini sedang membahas tim … kenapa kamu malah membahas saya sih No? Kurang ajar kamu!”
“Hah?” Jono hanya terpaku tak percaya mendengar kalimat Ucu Pikasebeleun itu. Dari wajahnya yang kesal, aku yakin di dalam otak Jono, dia juga sedang berkhayal membanting Ucu Pikasebeleun!
“Semua dengar, investor tidak suka dengan kondisi ini, karena itu, bulan ini kalian harus merubah kondisi ini menjadi lebih baik! Kalau sampai tiga bulan ke depan kita masih begini saja maka kalian semua akan menganggur!” ancam Ucu Pikasebeleun, “meeting selesai! Ayo semua kembali kerja! Waktu adalah uang, uang jangan dibuang-buang, jadi jangan buang-buang waktu! Ayo kembali kerja! Kerja!”
***
Setelah meeting selesai, kita semua berkumpul di bawah sambil makan siang sedang Ucu Pikasebeleun sedang menelepon di ruangannya. Suaranya yang keras terdengar hingga ke lantai bawah.
“Aing keheul (Saya kesal)! Seenaknya sekali si Kuda Nil biadab itu maki-maki kita … lihat saja apa yang akan saya lakukan nanti!” ancam Leni seraya menyuap daging rendangnya tapi ternyata perkedel kentang. “Loh, rendang saya mana?” bingung Leni. “Astapirulloh! Punten (Maaf) Bu, nasi padangnya ketuker!” kaget Endang dengan sisa daging rendang yang masih menggantung di bibirnya. “Si Koplok,” geleng-geleng Leni kesal melihat daging rendangnya lenyap di mulut Endang. Endang nyengir malu-malu. Ah ini mah taktik si Endang biar bisa makan rendang we.
“Tapi laporan keuangan kita memang buruk, kalau Pak Ucu kesal, ya wajar sih,” kata Jono yang sedang berjuang mengunyah kikil nan alot yang sebetulnya karet sandal jepit dikasih kuah itu.
“Kamu masih ngebelain dia No?” aku geleng-geleng.
“Jalan satu-satunya hanyalah---“
“Diem Geng!” potong Leni, “jangan bilang kudeta lagi deh.”
Ageng pun diam.
“No, kamu ga usah belain dia! Ini semua terjadi karena kesalahan dia sendiri yang ga mau ngambil marketing baru, meeting itu harusnya buat evaluasi dan cari solusi bareng bukannya malah nyalah-nyalahin orang …” kesal Leni, semua mengangguk setuju, “dan sekarang kalian denger tuh, dia malah nelponin orang pintar, hadeeh ….”
Orang pintar? Ya orang pintar, paranormal, dukun atau apa pun kalian biasa menyebutnya dan ini tadinya akan menjadi nomor delapan, tapi karena menurutku terasa tidak ilmiah dan tidak termasuk ilmu manajemen dan bisnis, maka anggap saja ini hanyalah bonus dari, “7 Ways To Be An Idiot Boss”.
PERUSAHAAN ANDA SULIT MENDAPATKAN JOB? PERUSAHAAN ANDA MENGALAMI PENURUNAN PENDAPATAN? PERUSAHAAN ANDA TIDAK MENCAPAI KEUNTUNGAN SEPERTI YANG ANDA HARAPKAN? HUBUNGI ORANG PINTAR. APA ITU ANALISA PEMASARAN, STRATEGI PEMASARAN, ILMU MANAJEMEN? ORANG PINTAR ADALAH KUNCI!
Ucu Pikasebeleun sebetulnya termasuk orang yang tahu agama tapi entah kenapa dia juga percaya dengan hal-hal seperti ini. Mungkin baginya “orang pintar” itu termasuk dalam ilmu manajemen dari cabang ilmu ekonomi supranatural konspirasi global, hehehe. Bukan hal yang aneh memang karena aku yakin Ucu Pikasebeleun bukanlah satu-satunya orang yang melakukan hal ini di dunia bisnis.
Maka orang pintar itu pun datang ke kantor. Dengan atribut yang meyakinkan, dengan berpakaian putih panjang ala habib dari Timur Tengah hanya saja tidak membawa unta, kemudian dia mulai melakukan ritualnya. Kalau saja saat itu sudah ada pesulap merah, bakal aku telepon dan memintanya untuk membongkar “habib” abal-abal ini! Hehehe. Di setiap pojok kantor, orang pintar itu diam sambil menghadap tembok, bibirnya berdesis-desis membaca doa dan mantra. Setelah selesai di lantai bawah, orang pintar itu naik ke lantai dua. Cukup lama dia melakukan aktivitas ritualnya. Hingga malam hari semua baru selesai.
Wajah Ucu Pikasebeleun terlihat lebih segar setelah kedatangan orang pintar itu, tidak lagi ditekuk ataupun kusut. Kemudian hari-hari berjalan lagi. Tidak ada yang tertarik untuk membicarakan soal orang pintar dan ritualnya. Semua orang bekerja seperti biasa seakan hal itu tidak pernah terjadi.
Nahas, tidak ada yang berubah. Job masih saja sulit didapatkan dan target lagi-lagi tidak tercapai. Wajah Ucu Pikasebeleun kembali kusut bahkan lebih kusut dari kolor yang tidak disetrika dua hari. Kerjanya setiap hari marah tanpa memberikan solusi. Ini membuat suasana bekerja tidak lagi menyenangkan dan semua orang menjadi tegang.
Meeting di hari itu akan menjadi hari yang tidak bisa kulupakan. Seperti biasa Ucu Pikasebeleun menyalahkan semua orang, memaki-maki dan bahkan menendang kursi. Kemudian seperti biasa, dia mulai mengarah padaku lagi untuk dijadikan sasaran tembaknya yang paling banyak karena di antara semua orang, hanya aku yang tidak mendapatkan job.
“Oji!” suaranya terdengar keras.
“Sebentar Pak … sebelum Bapak ngomong, ada yang mau saya omongin dulu,” kataku membuatnya diam. Aku berdiri dari dudukku, memberanikan diri untuk mengatakan, “Pak, mulai hari ini saya resign!” Leni dan Ageng terkejut, tapi tidak bagi Jono karena aku sudah menyampaikan hal ini padanya dari beberapa hari sebelumnya.
“Apa? Resign?” kaget Ucu Pikasebeleun.
“Iya Pak, resign!” kataku yakin.
“Hah? Kamu mau resign saat perusahaan sedang merosot Oji?” geleng-geleng Ucu Pikasebeleun. “Surat pengunduran diri saya sudah saya kirim lewat email tadi pagi Pak,” kataku tidak memedulikan ucapannya.
“Kamu serius Oji?!” seru Ucu Pikasebeleun intonasi suaranya mulai naik.
Aku mengangguk lalu merapikan kertas-kertas laporanku di atas meja meeting. “Saya ijin untuk merapikan barang-barang saya dulu sebentar lalu saya akan keluar dari kantor Pak,” kalimatku bergetar, aku gugup sebetulnya. Wajah Ucu Pikasebeleun menjadi merah padam sepertinya akan meledak. “Bagus, kamu memang tidak tahu terima kasih Oji! Dulu kamu memohon untuk bekerja di sini, sekarang kamu meninggalkan kantor ini seenak jidatmu!” serunya. Alih-alih menanggapi kalimat Ucu Pikasebeleun itu aku malah menghampiri Leni dan Ageng, menjabat tangan mereka. Leni dan Ageng membalas jabat tanganku dengan wajah masih tak percaya.
“Sampai jumpa lagi Bu Leni … Ageng,” senyumku kemudian melangkah keluar ruang meeting dengan iringan teriakan dari Ucu Pikasebeleun. “Dengar saya Oji, kalau kamu keluar saya ga akan memberikan gajimu!” Aku tidak menanggapi dan terus melangkah. “Ok, keluar sana! Saya tidak membutuhkanmu! Kamu memang tidak berguna di sini!”
Kalimat terakhir itu menghentikan langkahku. Cukup sudah, ini ga bisa didiemin, kataku di hati. Kesabaranku sudah habis masa berlakunya maka aku membalikkan badan dan menatap Ucu Pikasebeleun. Mengucap ‘Bismillah’ dulu dalam hati, lalu berkata, “Bapak tahu apa masalah Bapak dan kenapa perusahaan menjadi seperti ini? Itu karena Bapak tidak pernah bisa menghargai pegawai-pegawai Bapak! Bapak tidak pernah tahu akan membawa kemana perusahaan ini, Bapak tidak pernah punya strategi untuk perusahaan ini, Bapak hanya memanfaatkan kami, hanya memeras otak dan tenaga kami tapi ga pernah memerhatikan kami sebagai pegawai, sebagai manusia!”
Ucu Pikasebeleun tampak kaget tak menyangka aku bisa berkata seperti itu. Aku sendiri pun kaget bisa berkata seperti itu, tidak tahu aku mendapat keberanian dari mana, mungkin dari kekesalan yang sudah tersimpan lama.
“Percayalah Pak, dengan sikap Bapak yang seperti ini, tidak akan ada orang yang betah bekerja dengan Bapak … hargai pegawai Bapak, dengarkan mereka, ajak mereka berdiskusi, cari solusi bukannya nyalahin dan maki-maki!”
“Oya Pak, kantor ini tempat mencari rejeki, jangan dipakai untuk hal-hal negatif Pak! Nanti sulit dapet rejeki! Jangan mengelak Pak, jangan dipikir saya ga tahu, saya tahu yang Bapak lakukan waktu itu dan saya tahu Bapak juga tahu itu! Dan satu lagi, nama saya Fauzy, bukan Oji!”
Leni dan Ageng tampak kebingungan saat aku mengatakan soal “tahu-menahu” itu, sepertinya mereka tidak tahu tapi Jono tidak terkejut, karena dia sudah aku ceritakan saat aku mengintip apa yang terjadi di ruangan Ucu Pikasebeleun waktu itu, jadi Jono sudah tahu. “Tahu apa sih No?” bisik Leni penasaran pada Jono, Ageng ikut menyimak. “Tahu sumedang Bu,” jawab Jono. “Si Goblok!” sebal Leni, Ageng nyengir.
Wajah Ucu Pikasebeleun berubah menjadi putih keabu-abuan, tidak menyangka aku bisa mengetahuinya. Setelah mengatakan itu aku pun bergegas pergi karena malas untuk menanggapi kalimat-kalimat susulannya lagi. Dan ketika aku melangkah keluar dari kantor hari itu, perasaanku terasa lega sekali seperti ada bisul yang sudah pecah dari tubuhku.
***
Lima bulan kemudian.
Aku mendengar perusahaan itu sudah bangkrut dan bubar. Tak lama Jono menghubungiku dan menawariku untuk bekerja di kantornya yang baru. Aku mengiyakan selama bosnya tidak seperti Ucu Pikasebeleun. Maka Jono mengundangku untuk interview di perusahaan barunya itu. Aku terkejut saat Jono memberikan alamat kantornya karena itu masih berada di ruko yang sama dengan kantor yang dulu, ini membuat perasaanku tak enak. Apakah Jono menjebakku? Tapi Jono meyakinkanku untuk datang maka aku pun datang hari itu. Sebelum masuk aku sempat meragu di depan pintu ruko.
“Pak Oji, kamana wae (kemana aja)? Kumaha damang (Apa kabar)?” sapa Endang yang sedang mencuci mobil yang dulu dipakai Ucu Pikasebeleun. “Baik Ndang,” balasku masih kebingungan karena ternyata OB-nya pun masih Endang. Apakah aku dejavu? Aku menggaruk-garuk kepala Endang eh, ya kepalaku sendiri-lah. “Masuk Pak, sudah ditunggu Pak Jono tuh,” Endang mempersilakan aku masuk. Di dalam tampak Jono tertawa menyambutku dan dia pun masih duduk di meja yang sama begitu pun mejaku masih ada di sebelah mejanya, tidak berubah meski setelah lima bulan lewat.
“Naik langsung Ji, kamu sudah ditunggu interview sama si Bos,” kata Jono. Aku hanya mengangguk dengan pikiran bertanya-tanya, bos? Bos siapa? Apakah Ucu Pikasebeleun yang akan meng-interview-ku lagi? Lalu apakah kemarin itu hanya mimpi? Ini persis sekali seperti saat awal aku datang interview dulu. Dadaku jadi berdebar tak karuan.
Di lantai dua tampak Ageng sedang bekerja, aku tak menyapanya karena dia sedang sibuk. Aku langsung saja menuju ruang kerja yang luas itu. Aku sedikit tegang ketika mendorong pintunya dan terkejut ketika melihat siapa yang duduk di kursi berbahan kulit dengan sandaran tinggi itu.
“Bu Leni?” ucapku kaget.
Leni tertawa, “Iya Ji, saya pimpinan di sini sekarang. Apa kabar Oji?”
“Uzy Bu.”
“Iya Oji … ayo duduk.”
Aku duduk dan masih mencoba mencerna apa yang terjadi. “Kenapa bingung Ji?” Leni tertawa. “Bukankah kantor ini bangkrut?” heranku. Leni masih tertawa dan setelah tawanya berhenti, dia berkata, “Saya memang sengaja membuatnya bangkrut dengan tidak mencari job dengan benar saat itu Ji … supaya Ucu Pikasebeleun ditendang investor … setelah itu saya menghubungi investor-nya, dia setuju dengan penawaran saya, kita pun kerja sama, akhirnya semua saya yang ambil alih bahkan mobil barunya juga.”
Aku cukup kaget dengan penjelasan itu, ternyata ancaman Leni saat itu tidak main-main. Setiap orang di kantor adalah berbahaya bila kau tidak waspada, akhirnya aku menyimpulkan begitu. “Jadi gimana Oji, mau kerja di sini lagi ga?” tanya Leni. Aku diam masih pikir-pikir. “Tapi kalau mau kerja di sini lagi, kita tidak punya banyak pegawai Ji, di sini kita tim, di sini kita saling back up, kita harus bekerja sama dan saling bantu, itu artinya kamu juga harus bersedia melakukan pekerjaan yang bukan pekerjaanmu Ji,” lanjut Leni. Hmm, terdengar tidak berbeda dengan bos yang dulu, bisik hatiku. Aku pun menggeleng. Leni mengerutkan keningnya, “Loh kenapa ga mau? Kata Jono kamu kesini mau kerja lagi bukan?”
“Saya kesini cuma mau menyapa teman-teman lama aja kok Bu,” kilahku dengan senyuman, “senang bisa bertemu Bu Leni lagi … dan selamat atas posisi barunya.” Aku menjabat tangan Leni setelah itu keluar dari ruangannya dan sebelum turun ke bawah aku menghampiri Ageng untuk menyapanya. “Ayo Ji, kita gabung lagi,” ajak Ageng. Aku hanya tertawa, berkata, “Selamat, kudeta Anda telah berhasil Geng.” Ageng tertawa dan mengangguk-ngangguk. Sedang Jono terkejut ketika tahu aku menolak tawaran kerja itu, tapi setelah aku jelaskan dia pun mengerti. Tak lama aku meninggalkan kantor ekspor impor itu untuk melanjutkan hidup dengan caraku sendiri.
Kabarnya hari ini.
Leni, Jono dan Endang masih berkantor di situ. Ageng -menurut cerita Jono- dia sudah resign dari tiga bulan sejak terakhir aku datang, karena ketahuan akan mengudeta Leni, sedang Ucu Pikasebeleun, konon katanya membuat café dengan pegawai yang terus bergonta-ganti, sepertinya dia tidak berubah … dan aku? Setelah melanglang buana ke berbagai bisnis, sekarang aku memutuskan untuk menjadi penulis saja.
TAMAT