Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku akan mati dalam kurun waktu 48 jam dari sekarang. Dari kecil aku selalu di juluki si pendendam. Alasan keberadaan ku tak lebih hanya untuk menjadi bayang-bayang saudara kembar ku yang sempurna. Seluruh hidupku tak lebih dari ruang hampa yang menanti seseorang untuk memasukinya. Ah andai perempuan yang di panggil ibu itu tidak pernah melahirkanku. Lucu sekali bukan setelah kita lahir kita mempunyai tanggung jawab untuk bertahan hidup sampai akhir, seolah itu adalah kemauan kita untuk dilahirkan. Selama 19 tahun kehidupanku aku selalu mencari tahu mengenai alasan dari eksistensiku. Namun ternyata hasilnya nihil. Sampai saat ini aku tak tahu alasan dari keberadaanku. Aku tak pernah sekalipun merasa benar-benar hidup dari kecil aku hanya bertahan, aku bertahan dengan kepercayaa bahwa akan ada sesuatu yang menungguku di depan sana. Aku tak berbakat dalam bidang apapun, dan meskipun aku terlahir sebagai anak kembar, namun aku dan kembaran ku terlampau jauh berbeda. Dia terlahir sempurna tanpa cacat dan mempunyai segudang bakat, sedangkan aku tak lebih dari bayang-bayang yang mengikutinya dari belakang. Aku mempunyai mata juling yang tak enak dipandang aku juga tak punya bakat sepertinya. Kehadiran ku dalam keluarga ini tak lain hanyalah untuk menjadi toping pelengkap namun mungkin toping bukan kata yang tepat, mungkin lebih tepatnya aku hanya sisa remahan yang kadang tak dianggap.
Untuk pertama kalinya aku akan membuat keputusan besar dalam hidupku. 48 jam dari sekarang aku akan menghilang ditelan kegelapan menuju tempat yang tak pernah kubayangkan apalagi ku tapaki. Aku mengendarai motor butut kesayangan pak mursyid tukang kebun keluarga itu. Aku berkendara tanpa arah ke tempat dimana aku dapat melihat bintang dan lumba-lumba. Bermodal nekat, motor butut dan google maps aku terus memacu gas, tak ada notifikasi apapun yang kuterima meski aku sudah pergi selama tiga hari dari rumah. Tapi itu memang hal yang wajar, tak ada yang benar-benar peduli dengan keberadaan ku selama ini, seperti yang kukatakan sebelumnya aku hanyalah bayang-bayang saudara kembarku yang tak pernah benar-benar di lihat orang.
***
Setelah berkendara selama 4 jam aku memutuskan untuk beristirahat di salah satu penginapan kecil, aku sudah memesan kamar secara online beberapa saat yang lalu setelah mengisi bahan bakar, jam saat ini menunjukkan pukul 3 dini hari waktu ku tersisa kurang lebih hanya 43 jam, namun aku memutuskan untuk istirahat sejenak dan akan melanjutkan perjalanan setelah subuh. Aku juga merasa sedikit penat karena sudah menempuh 4 jam perjalanan menggunakan motor matic yang bukan milikku.
Aku beristirahat selama kurang lebih tiga jam, dan aku memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Namun sebelum itu aku duduk di depan penginapan diterpa udara pagi yang segar serta ditemani segelas kopi dan roti untuk sarapan. Suasana di penginapan kecil ini sangat berbeda dengan suasana pagi yang dingin dirumah itu. Suasana pagi di rumah itu dipenuhi dengan hidangan sarapan hangat yang tersaji di meja. Namun aku tak pernah benar-benar menikmatinya karena tatapan dingin yang selalu kuterima, dan jika aku mencoba untuk masuk ke dalam obrolan hangat itu aku akan selalu di abaikan, ya aku tak pernah ikut terlibat dalam percakapan mereka atau menjadi bagian dari obrolan hangat itu.
Setelah slesai sarapan aku langsung memanaskan motor pak mursyid lalu membayar sewa penginapan dan langsung pergi melanjutkan perjalanan. Perjalanan kali ini akan cukup panjang aku harap aku bisa sampai di lokasi tujuanku sebelum matahari tenggelam.
***
Setelah menempuh perjalanan selama hampir sembilan jam aku akhirnya sampai disini di Banda Neira. Beberapa hari yang lalu aku mencari tempat yang bisa ku datangi untuk terakhir kalinya tempat yang indah dan tempat dimana aku bisa melihat lumba-lumba dengan langit malam yang indah, beberapa sumber merekomendasikanku untuk pergi kesini, ke Banda Neira. Aku juga menemukan quotes yang berbunyi "jangan mati sebelum ke Banda Neira", dan disinilah aku sekarang. Aku bergegas mencari penginapan terdekat untuk meletakkan barang bawaanku dan membersihkan diri karena sudah dua hari aku tidak mandi. Waktu ku yang tersisa untuk menikmati dan menjelajahi tempat ini kurang lebih tinggal 30 jam lagi aku harus bergegas menemukan penginapan terdekat. Setelaah mencari beberapa saat, aku akhirnya menemukan sebuah penginapan dekat laut aku langsung menaruh barang bawaan ku dan bergegas membersihkan diri.
Aku merebahkan tubuhku di atas ranjang, beberapa bulan terakhir aku tidak pernah benar-benar bisa tidur di malam hari. Aku mencoba memejamkan mata sembari membayangkan bahwa aku akan menghilang dalam waktu beberapa jam lagi. “Ternyata kematian terasa sedikit menakutkan ketika kita tahu bahwa ia sudah dekat” gumamku sambil menatap layar ponsel yang kosong tanpa notifikasi. Aku segera tersentak dari lamunanku, dan teringat bahwa aku harus segera bersiap-siap pergi untuk melihat lumba-lumba.
Jam menunjukkan pukul lima sore aku berjalan dari penginapan menuju ke pantai. Hanya butuh waktu kurang dari 5 menit untuk sampai disana, aku melihat seorang pemuda yang duduk menatap laut, kemudian aku memutuskan untuk bertanya kepadanya, "dimana aku bisa memesan perahu untuk melihat lumba-lumba" Tanyaku, namun ia malah tertawa dan berkata “melihat lumba-lumba di sini tidak semudah memesan perahu begitu saja, lumba-lumba munculnya tidak tentu. Kadang pagi, kadang sore, kadang malah tidak muncul sama sekali” katanya sambil tersenyum ramah. Aku hanya diam terpaku sampai akhirnya berkata "aku benar-benar harus melihatnya sore ini, waktu ku yang tersisa tidak banyak lagi". Pemuda itu tampak bersalah. "Aku hanya bercanda jika kamu benar-benar ingin melihat lumba-lumba, ikutlah bersamaku Pamanku memiliki perahu, biasanya kami pergi ke teluk menjelang senja. Jika kamu mau ikutlah bersama kami". Tanpa berpikir panjang aku langsung mengiyakan ajakannya.
Bagiku sebenarnya hal ini terasa sedikit canggung aku saat ini berada diantara orang-orang yang tak pernah kubayangkan akan ku temui, aku duduk bersama dengan pemuda yang mengaku dirinya sebagai Pemimpi, saat ini aku berada di sebuah kapal kecil. Beberapa saat yang lalu orang-orang ini mengira aku adalah kekasih dari pemuda yang kini duduk di samping ku.
“Mbak tau nggak kenapa dia dijuluki pemimpi” ucap salah seorang dari mereka sambil diiringi tawa kecil dari yang lain, aku hanya menggeleng karena aku bahkan tak kenal pemuda ini, kami baru bertemu beberapa menit yang lalu. Lalu salah seorang dari mereka melanjutkan “karena sedari kecil dia selalu mengoceh tentang dunia yang lebih adil, tentang laut yang tak lagi tercemar, tentang mimpi-mimpi yang mustahil”. Gelak tawa memenuhi seisi kapal kecil ini, namun aku hanya tersenyum meski sebenarnya dalam benakku aku bertanya apa yang lucu dari semua ini?. Mimpi, bagiku tak lebih dari sekedar angan-angan dan omong kosong belaka. Namun bagiku mempunyai mimpi adalah sebuah kebebasan dan tak seharusnya orang-orang ini menertawakan mimpi orang lain, meskipun pemuda itu ikut tertawa kita tak pernah akan tau apa yang benar-benar dirasakannya saat ini. Angin sore mulai berhembus kencang, gelak tawa mereka mulai meredam. Tiba-tiba pemuda itu tersentak dan menepuk bahuku “lihat itu, itu lumba-lumba, itu disana lihatlah ada lumba-lumba” Aku langsung menoleh ke arah yang ditunjuk oleh pemuda itu. Meski kedua mataku sulit untuk pandangan jarak jauh namun benar saja segerombolan lumba-lumba tertangkap oleh mataku. “Lumba-lumba itu lumba-lumba, lihat mereka melompat!” Aku tak sadar bahwa aku adalah satu-satunya orang yang paling histeris saat ini. Setelah melihat lumba-lumba cukup lama aku merasa cukup puas. Selain diselimuti perasaan lega aku juga merasa cukup senang untuk saat ini.
Besok malam tepat pukul duabelas dini hari aku akan genap menginjak usia duapuluh tahun besok juga merupakan hari terakhir ku berada di dunia ini. “bisakah kamu menemani ku berkeliling di sekitaran sini besok pagi?” tanya ku kepada pemuda yang baru saja kutemui tadi sore. Dia tampak sedikit terkejut mungkin karena aku mendadak bertanya. “tentu saja, aku bisa menemani mu berkeliling sepuas yang kamu mau besok" Ujarnya sambil tersenyum.
Setelah menghabiskan sore yang singkat di atas sampan kecil yang asing, kami akhirnya tiba di teluk. Saat tiba di teluk langit jingga menjelma kelabu, bintang yang bersembunyi juga akhirnya menampakkan diri satu persatu. Aku tidak pernah benar-benar melihat bintang karena di tempat ku bintang-bintang diselimuti awan kelabu dan polusi kota yang padat sehingga bintang tak bisa di lihat oleh mata telanjang. Terakhir kali aku melihat bintang disaat merayakan ulang tahunku dan kembaran ku yang ketiga belas. Saat itu kembaran ku merengek ingin merayakan ulang tahunnya di puncak, tentu hal itu menjadi prioritas utama bagi kedua orang tua kami, meski saat itu aku sangat ingin pergi ke malioboro, namun aku cukup senang karena setidaknya masih diizinkan untuk ikut bersama mereka. Aku senang karena pada saat itu aku mengacaukan acaranya dan di suruh tidur di luar sehingga aku dapat melihat bintang dengan jelas, sangat jelas.
Setelah beberapa saat menunggu sambil mengamati bintang kami akhirnya disuruh kembali naik ke perahu untuk pulang. Tidak ada hal menarik di perjalanan pulang kami hanya mengobrol santai sambil sesekali bergurau. Setelah sampai di daratan aku berpisah dengan para nelayan itu. Pemuda itu menawarkan diri untuk mengantarku hingga ke penginapan dikarenakan hari sudah cukup larut. Aku menerima tawaran itu dengan senang hati. Dalam keheningan perjalanan menuju penginapan ia akhirnya memecahkan kesunyian. “Kamu pulang besok ya?” tanya nya penasaran. “hmm mungkin” jawabku singkat. “kok mungkin?” “ya mungkin besok aku akhirnya akan benar-benar bisa pulang”, "emang selama ini kamu nggak pernah pulang" tanyanya bingung. Aku tersenyum lalu menghela nafas panjang sebelum aku menjawab "selama 20 tahun aku hidup, aku nggak pernah benar-benar keluar rumah, aku bahkan nggak pergi ke sekolah. Aku selalu berada di rumah" Kini ia tampak semakin bingung "Terus maksud kamu benar-benar pulang itu kemana?". Aku hanya terdiam menatap langit penuh bintang “ke tempat dimana nggak ada lagi dinding, nggak ada lagi tatapan dingin, dan tempat dimana aku bisa merasa bebas” pemuda itu tampak terkejut “Maksud kamu, kamu mau kabur?” Aku menggeleng. “Bukan kabur. Aku cuma mau.. hilang, Aku mau hilang” tegasku, ia terdiam sorot matanya meredup namun ia kembali menatapku dan berkata “kamu bercanda kan? Tapi kamu nggak boleh ngomong kayak gitu” Aku hanya tersenyum “Tenang aja, aku cuman mau pulang kok. Beneran pulang” dan malampun semakin pekat.
***
Keesokan paginya aku bangun pukul lima dan langsung besiap-siap untuk menjelajahi tempat ini aku sudah mengatur janji dengan pemuda itu untuk bertemu pukul delapan di tempat pertama kami bertemu kemarin. Aku datang duapuluh menit lebih awal namun ternyata pemuda itu sudah lebih dulu ada disana “kamu tiba lebih awal? tanyaku memecah keheningan” “ah iya, aku sebenarnya baru saja tiba. Kamu juga datang lebih awal ya, mau berangkat sekarang? tanya nya balik” “mh boleh, jawabku lirih”
Tak terasa waktu berputar tanpa jeda, tak kusangka juga pemuda yang kutemui kemarin sore itu kini menemani ku dalam perjalanan panjang yang sudah kutempuh. Aku tak menyangka bahwa orang asing yang bahkan namanya tak ku ketahui kini disamping ku menemani aku menempuh perjalanan terakhir ku, dalam perjalanan yang tak biasa. Hari ini, ia menuntunku menelusuri jejak-jejak keajaiban mulai dari pasir putih Nailaka, bisikan angin di Pulau Sjahrir, dentuman sunyi gunung api, hingga akhirnya kami berlabuh di Lonthoir, di bawah naungan pohon sejuta umat. Kami tak banyak bicara hanya duduk berdampingan, membiarkan sunyi berbicara lewat angin sore yang lembut. Matahari perlahan tenggelam, menggoreskan semburat jingga di cakrawala seolah langit sedang melukis salam perpisahannya. Aku terpukau karena ini adalah Sore terindah dalam hidup ku.
Tak pernah kusangka, hari terakhirku bisa terasa seindah ini sehangat ini, di balik riuh perjalanan yang sudah kami tempuh, justru di keheningan sore ini aku merasa paling hidup. Pemuda itu menatap kejauhan, aku menatap wajahnya diam-diam. Aku juga mencoba mengabadikan momen ini dalam ruang yang tak dapat dijangkau waktu.
“Pulanglah” bisiku akhirnya “mau pulang sekarang” jawabannya. Aku menggeleng, “kamu pulang saja duluan, ini sudah sangat sore. Kamu juga pasti merasa lelah karena kita sudah berkeliling seharian”. “Tidak aku sama sekali tidak merasa lelah. Hari ini aku merasa cukup senang” katanya sambil tersenyum.
Aku hanya terdiam sebelum akhirnya berkata “walaupun begitu kamu tetap harus pulang. Aku ingin disini lebih lama, aku juga butuh waktu sendiri untuk menikmati suasana ini sebelum pulang, lagipula keluargamu juga pasti merasa khawatir jika kamu tidak segera pulang” dia terdiam sampai dan berkata “kau tau sejak pertama kali kita bertemu aku merasa ada kesedihan yang menyelubungi dirimu. Aku merasa seperti ada ketakutan, amarah, luka dan air mata yang tak bisa dijelaskan” dia terdiam namun aku tertegun, bagaimana bisa seseorang yang baru kutemui kemarin sore bisa melihat semua itu. Aku tak menjawab, atau lebih tepatnya aku tak tahu harus berkata apa ucapannya barusan masih menggema di dalam kepala ku. Pemuda itu juga terdiam, namun kali ini dia menatap ku dengan lekat seolah dia menanti jawaban atau mungkin sedikit penjelasan. Namun hanya ada keheningan diantara kami berdua.
Beberapa saat kemudian dia kembali memecah keheningan dengan berkata “aku bisa merasakan bahwa kamu sedang tidak baik-baik saja. Aku pernah mendengar bahwa dua jiwa yang tidak berbahagia akan mudah untuk saling menemukan” katanya. Aku terdiam sejenak “apakah kamu tidak bahagia? Kataku lirih nyaris berbisik” dia tersenyum dan berkata “menurutmu apakah aku terlihat bahagia saat pertama kali kita berjumpa?” aku kembali tertegun tak bisa berkata apa-apa, aku bingung apa yang membuatnya tidak bahagia dia hidup di sini di tempat yang sangat indah namun aku juga tak bisa menghakiminya karena aku juga tak tahu kehidupan seperti apa yang telah ia jalani. Neraka seperti apa yang sudah ia lalui. Akhirnya ia menghela nafas panjang “baiklah kalau begitu” katanya, “aku akan pulang jika itu mau mu”. Hanya anggukan kecil yang mampu kuberikan sebagai balasan.
Langkah kakinya terdengar menjauh. Terdengar berat, dan ketika langkah itu akhirnya lenyap, tergantikan oleh desir ombak dan hembusan angin sore yang lembut. Sekarang hanya tersisa aku sendiri yang ditemani langit sore dan laut.
Aku menarik napas panjang, menatap langit yang mulai berubah warna menjadi gelap. Aku memikirkan semua perkataannya tadi dan memikirkan tentang kehidupan yang telah kujalani selama ini namun semakin kupikirkan aku semakin tak mengerti apa-apa nafasku terasa berat, dadaku terasa sesak seakan penuh dengan pasir, aku tak tahu harus bagaimana. Namun kemudian aku teringat alasan aku datang kemari, pikiran tentang kematian terlintas di benakku. Aku ingat bahwa alasan kedatangan ku kesini adalah untuk pulang. Aku rasa aku tak perlu lagi menunggu hingga tengah malam tiba. Jam menunjukkan pukul 19:57. Aku pikir aku tak perlu menunggu lebih lama lagi. Entah itu tengah malam atau sekarang aku rasa tidak akan ada bedanya lagi.
Kini aku berdiri di jembatan kayu tepi pantai seorang diri, meski usia ku belum genap dua puluh tahun namun aku memutuskan untuk pulang lebih awal. Ombak menerjang pantai saat aku berdiri diam di pasir, memegang hatiku di tanganku tanpa kusadari air mata keluar mengalir dari kedua pelupuk mataku, karena saat ini aku berharap laut akan menelanku secara utuh menelan seluruh air mataku. Angin malam membelai wajah ku dengan lembut seolah menjadi kecupan dan salam perpisahan, aku memejamkan kedua mataku merasakan deraian ombak yang menyentuh kaki ku, mencoba mengingat setiap detik yang berlalu. Tidak ada satupun penyesalan yang terlintas dalam benak ku, yang ada justru hanya rasa syukur dan bahagia karena aku sudah melangkah sejauh ini, aku harap setelah ini aku akan terbangun dengan selimut hangat di suatu tempat yang sama indahnya dengan tempat ini. Di bawah langit malam yang ditaburi cahaya bintang-bintang aku akhirnya benar-benar akan segera pulang.
Aku berjalan menjauh dari tepi jembatan kayau yang menghubungkan antara daratan dengan laut lepas. Aku melompat dan kemudian semuanya menjadi gelap. Gelap dan dingin. Rasanya aku seperti diselimuti kedamaian abadi oleh ombak yang menyeret ku menuju ke kedalaman laut. Namun samar-samar aku mendengar seseorang berteriak seperti memanggilku. Entahlah sepertinya aku hanya salah dengar karena kesadaran ku mulai menghilang. Sesak, dadaku terasa sesak, namun beban di hatiku berangsur hilang digantikan rasa pening dan kantuk yang luar biasa. Tidur, akhirnya aku bisa tidur nyenyak tanpa harus merasa takut dengan hari esok yang akan datang.
Aku terbangun namun dikelilingi banyak sekali orang. Aku memang terbangun di tempat yang sama namun suasananya jauh berbeda dengan yang aku harapkan. Aku berada diantara tabung oksigen dan wajah-wajah yang tak ku kenal. Ada banyak sekali wajah yang mengelilingiku namun aku tak menemukan wajah pemuda itu, dan anehnya aku malah mencari pemuda itu di celah wajah orang-orang yang mengerumuni ku saat ini.
Bau garam laut melekat pada tubuhku aku mencoba untuk berdiri namun ternyata aku tak mampu, aku hanya bisa terduduk dengan napas yang tak teratur. Suara-suara asing bersahutan dan sekilas aku mendengar bahwa seseorang masih belum ditemukan aku menoleh nafas ku berat namun aku mencoba bertanya mengapa aku berada disini dan seseorang menjawab bahwa “ada seorang pemuda yang menyelamatkan mu, pemuda itu melompat ke laut setelah berteriak meminta pertolongan dia menyelamatkan mu namun setelah warga datang dan berhasil mengevakuasimu pemuda itu kehabisan tenaga dan tenggelam. Kini warga dan tim penyelamat masih berusaha mencarinya” ujarnya . Aku terdiam mencoba mencerna cerita yang disampaikan, namun aku tak bisa berpikir lagi. Dunia seakan berhenti berputar suara debur ombak berubah jadi jeritan nyaring. “Dia… dia seharusnya pulang. bukannyaia tadi dia sudah pulang?” tanyaku lirih hampir tak mengeluarkan suara. Air mata ku jatuh bercampur dengan air laut, tanpa sadar aku berdiri dan berlari menuju ke arah pantai namun orang-orang malah menghalangiku. Mereka tidak membiarkan ku pergi kesana. Namun lambat laun pandangan ku menjadi buram dan pendengaran ku mulai menghilang hanya ada kegelapan dan kesunyian.
***
Beberapa hari setelah itu aku tersadar dan mendapatkan diriku berada di kamar rumah sakit. Aku menolak untuk berbicara kepada siapapun, kudengar orangtuaku sudah dihubungi namun mereka masih dalam perjalanan menuju kesini. Seseorang masuk ke kamarku, ia seorang gadis kecil dengan tubuh mungil dia memberikan ku sebuah kertas. Aku membuka kertas itu yang ternyata adalah sebuah surat. Dalam surat itu tertulis :
“Aku tak tahu bagaimana memulain., Namun aku ingin minta maaf atas perkataan ku tadi yang mungkin terdengar tidak masuk akal. Aku tak tahu apa yang sudah kamu lalui dan bagaimana cara kamu bertahan selama ini. Aku juga tak tahu bagaimana dunia ini sudah membentukmu. namun aku tahu dengan pasti bahwa mungkin hidup mu tidak mudah. Namun aku hanya ingin menegaskan sebelum kamu kembali pulang ke tempat yang ingin kamu tuju bahwa saat ini kita sedang hidup di dunia yang sekarat, orang-orang terkadang bersikap sangat dingin. Namun aku ingin kamu tahu bahwa kamu sebenarnya berharga, mungkin di luar sana ada seseorang yang menantikan mu. Mungkin kamu ada karena ada luka yang hanya bisa disembuhkan olehmu, ada kebaikan yang akan lahir karena mu. Kau tahu sebagian orang tetap bertahan bukan karena mereka kuat tapi karena mereka percaya bahwa selalu ada harapan meskipun saat gelap menutup langit, mereka masih percaya akan datangnya pagi yang membawa cahaya. Kau tahu, dulu penyair buta pernah berkata kepadaku bahwa hidup masih layak untuk dijalani selagi masih ada tanah yang dapat kita tapaki. Aku harap dimanapun kamu berada setelah ini kamu akan sedikit lebih percaya diri untuk menjalani hidup.
_pemimpi”.
Setelah membaca surat itu aku akhirnya sadar bahwa sebenarnya dia kembali ke tempat itu untuk menyerahkan surat ini kepadaku, dan tangisku pecah bagai derai ombak yang menghantam karang.
***
Saat ini aku berdiri di bawah pohon tempat terakhir kali kami bertemu, pohon sejuta umat. Namun kali ini aku sendiri, benar-benar sendiri. Kini dia telah pergi, dia pergi dan menyatu dengan laut ini, dia telah menjadi gelombang, menjadi angin, menjadi buih di lautan, menjadi semua mahluk hidup yang ada di laut ini. Bahkan menjadi hembusan angin malam yang akan bertiup menyapu kesunyian. Aku akan terus mencarinya dalam tiap desir ombak dan hembus angin laut. Karena meski raganya telah tiada dia pernah hidup disini. Sebagian dari dirinya telah kembali pada laut dan sebagian lagi sudah menjadi bagian abadi dalam setiap detak jantungku. Dan untuk itu, untuk itu aku akan hidup. Aku akan melanjutkan langkah yang sempat ingin sekali kutinggalkan, demi dirinya aku memutuskan untuk tetap melanjutkan hidup. Aku akan bertahan hidup untuk menghormati kehidupan yang telah kurenggut sendiri, aku akan bertahan hidup untuk pemuda yang memilih tenggelam demi diriku, agar aku bisa kembali melanjutkan hidup.
Aku Akan Tetap Bertahan Hidup.