Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
30
0
Suka
320
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Mereka tidak akan pernah mengerti bagaimana rasanya menjadi tiga puluh tahun. Aku bangun dengan usia ketiga puluh, berharap bahwa aku dapat merasakan usiaku memang sudah tiga puluh tahun. Tapi tidak ada yang berbeda dengan diriku. Saat aku membuka mata, duniaku masih sama bahkan tidak beranjak sedikitpun. Hari ini dan kemarin masih terlihat sama, hanya saja aku sedang berada di hari dan tahun yang membuat usiaku berada pada angka tiga puluh. Bukankah dunia terasa sangat membosankan? Yah, itulah yang ada di pikiranku.

Pagi yang cerah untuk memulai hari. Aku duduk di sudut kedai bertuliskan “De Hallu” dengan secangkir kopi panas. Bibirku meniupkan udara dingin mengusir kepulan asap di atas kopi itu. Aku mulai merindukan masa kecilku. Apakah aku terlihat bodoh jika kukatakan aku masih ingin menangis dipelukan ibuku, sama ketika usiaku lima tahun? Atau jika aku mengatakan masih ingin digendong ayahku, sama ketika aku berusia dua tahun. Salahkah jika aku bersikap belum dewasa bahkan di saat usiaku tak lagi usia anak-anak atau remaja?

Seakan aku ingin mengatakan pada semua orang jika mereka tidak akan pernah merasa berusia tiga puluh tahun jika bukan karena mereka sendiri yang mengatakan kepada orang lain bahwa usia mereka tiga puluh. Itupun jika ada yang mengetahui hari lahirmu kemudian bertanya kepadamu, “berapa usiamu sekarang?”

Jika boleh jujur, usia tiga puluh tahun sangat mengganggu perasaanku. Aku masih berharap usiaku akan kembali ke tujuh belas tahun, agar aku tidak perlu mendengar ibuku menanyakan hal yang sama terus-menerus.

“Kapan kamu menikah? Sudah umur tiga puluh tahun belum menikah juga. Apa kata orang nanti, dikira kamu perawan nggak laku.”

Memangnya kenapa dengan status belum menikah di usia tiga puluh tahun. Bagiku tidak ada masalah karena menikah bukanlah keharusan. Tapi bagi ibu, perkataannya adalah perintah. Apa yang terucap merupakan sebuah kebenaran dan harus dilaksanakan.

Bukan hanya ibuku, tapi teman-temanku pun menanyakan hal serupa yang tidak pernah ingin kudengar. Aku selalu merasa mual, seakan-akan isi perutku akan meledak jika aku mendengar kata “menikah”. Aku hanya bisa menggigit bibir bawahku dan memainkan jari tanganku tanpa satu patah kata keluar. Aku tidak ingin berusaha keras untuk menjawab tentang pernikahan. Aku hanya merasa hidupku bukanlah milik orang lain. Aku tidak ingin memuaskan keinginan orang lain dan mengubah status sosial dengan merenggut kebebasanku. Oke, aku mengingatkan diriku bahwa saat ini usiaku telah tiga puluh tahun. Bukan berarti hidupku untuk memenuhi harapan orang lain.

“Hei, kenapa sendirian aja, mana teman-temanmu?”

Suara Rendi memecahkan lamunanku. Suara beratnya memang terdengar candu. Selain itu, dia memiliki penampilan yang menarik, postur tubuh tinggi ideal, dilengkapi dengan wajahnya yang memiliki rahang tegas dan bibir yang sensual. Banyak perempuan yang mendekatinya bahkan tergila-gila pada sosok Rendi. Sayangnya, semua berakhir dengan penolakan. Sepertinya aku tidak sendirian, Rendi pun memiliki pemikiran yang sama terkait pernikahan. Entah kenapa, Rendi tidak pernah mendapat perlakukan sinis seperti yang aku terima. Mungkin saja karena dia seorang lelaki.

“Aargh…, lagi-lagi diskriminasi gender”, pikirku.

“Tak seorang pun menikah bahagia,” Celetukku pada Rendi.

“Ha? Siapa yang tak bahagia?”

“Hampir semua temanku yang menikah, mereka tak merasa bahagia. Sedangkan aku belum menikah, tapi aku bahagia dengan keadaanku.” Jawabku dengan rasa percaya diri.

Rendi tersenyum dan berkata, “yah, menikah itu juga pilihan. Dan menikah bukanlah jalan satu satunya untuk bahagia. Yang terpenting kamu menjalani hidupmu dengan penuh arti aja.”

Rendi duduk di depanku sembari menyeruput coklat hangat di tanganya. Sesekali dia melirik kepadaku.

“Kamu pernah dengar jika lelaki itu diibaratkan seperti hewan buas yang selalu ingin berburu?”

“HAHAHAHA!!”

“Kenapa kamu tertawa?”

“Aku selalu suka dengan metafora yang kamu buat, lanjutkan Ren...”

“Mungkin karena itu juga perempuan sekarang memiliki ketakutan untuk menikah. Takut jika pasanganya selalu ingin berburu wanita!”

Kami tenggelam dalam tawa renyah. Obrolan ringan dan seru membuatku melupakan kekesalan sejenak. Aku tidak akan pernah bosan mendengar Rendi bicara. Ada kedekatan yang tidak direncanakan, tapi tumbuh perlahan. Ya, lingkaran pertemanan kami cukup positif dan bersama Rendi meningkatkan kebahagiaanku. Harus kuakui dia adalah lelaki yang memiliki pikiran terbuka. Rendi memang berbeda, pribadinya unik dan menarik. Dia tidak pernah mau menghakimi orang lain. Dia hanya berusaha memahami apa yang menjadi keputusan dan pilihan orang tersebut.

Mungkin benar, sebagian wanita enggan menikah cepat karena memiliki ketakutan seperti yang Rendi katakan. Tapi bagiku bukan itu, aku hanya masih ingin bebas dan menikmati kebahagiaanku sendiri. Tanpa dibatasi, tanpa dibebani oleh apa pun dan siapapun.

Aku telah membuat keputusan untuk tidak hidup dalam bayang-bayang stigma. Toh aku bisa bahagia dan sukses berkarir meskipun tidak terikat pada pernikahan. Aku hanya akan mengejar kebahagiaan dengan caraku sendiri. Bisa dikatakan aku ingin mempromosikan gambaran kehidupan ideal tanpa melibatkan pernikahan. Tanpa ada kata gagal atau tidak lengkap. Aku tidak anti untuk menikah, tetapi tidak sekarang, karena menikah bukanlah tujuan utamaku sebagai perempuan.

-000-

Matahari memancarkan sinarnya tepat di atas kepala, aku hanya duduk di sudut ruang kamarku, memandang dunia luar dari jendela. Tepat hari ini aku berulang tahun, alih-alih bergembira merayakannya, aku memilih mengambil cuti. Bukan untuk berlibur, hanya saja aku ingin menjauh dari kebisingan yang menilai hidupku tidaklah lengkap tanpa status pernikahan.

Kusingkirkan pena, kertas apapun yang mengisi mejaku. Kucari ponselku yang bergetar. Ibu mengirimi pesan singkat, tetapi bukan ucapan selamat ulang tahun. Pikiranku mulai berkelana dan menjadi tidak keruan setelah membaca pesannya. Ibu memintaku menerima perjodohan yang disiapkannya. Sepertinya ibu sudah bertindak diluar batas. Aku memang ingin menjadi anak yang berbakti, tidak membantah orang tua apalagi ibuku. Namun, aku juga tidak ingin mengorbankan kebahagiaanku. Apakah masa depanku seperti sebuah permainan yang bisa diputuskan oleh siapa saja? Seandainya memang iya, aku ingin yang memegang dadu permainan itu, karena hanya diriku sendiri yang bisa mengendalikan hidupku. Aku tidak ingin terperangkap dalam permainan takdir yang tidak adil. Aku bukanlah objek yang tidak memiliki pilihan untuk menentukan arah hidupku. Lagipula menikah bukanlah pencapaian yang harus dicapai dalam waktu tertentu. Ini tentang pilihan hidup yang penuh dengan pertimbangan. Harus menunggu berapa lama lagi hingga stereotip negatif tentang perempuan belum menikah berakhir.

Apakah aku membenci usiaku yang ketiga puluh tahun? Tentu tidak, aku hanya membenci mereka yang berpikir kolot dan berpandangan sempit. Ah, hari dimana seharusnya aku bersenang-senang, meniup lilin dan merayakan bersama keluarga, akhirnya hanya berakhir dalam sebuah pertemuan dua keluarga yang tidak kuinginkan. Usia ketiga puluh, akankah diriku hanya menjadi pajangan di singgasana pelaminan?


Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
30
Desynata Purnamasari
Cerpen
Orang-Orang Pojok
Aniq Munfiqoh
Cerpen
Bronze
Dari Balik Pohon Apel
astreilla
Cerpen
Bronze
Dunia Keduaku Dalam 1 Jam 45 Menit
Nevalina Aisah
Cerpen
Bronze
Serupa Daun-daun
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Di antara Senja dan Pagi
vilah sari
Cerpen
Bronze
Menari Bersama Semesta
Shinta Larasati Hardjono
Cerpen
Lost In Translation (Karena kamus saja tidak cukup)
Lada Ungu
Cerpen
Bronze
Bacaan untuk Seb
Amarta Shandy
Cerpen
Cahaya di Tengah Badai
Kinanti fujiyani
Cerpen
Harus Bersama
Mariana Sibuea
Cerpen
Bronze
Pukuc Kadit Odlas
Muhaimin El Lawi
Cerpen
Bronze
Tempat Kerja Papa
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Bronze
Cucuku Aina
cyara afnan
Cerpen
Bronze
HRD Negeri Sipil
spacekantor
Rekomendasi
Cerpen
30
Desynata Purnamasari
Cerpen
Bronze
Gunung Dempo Gerbang Para Maya
Desynata Purnamasari
Cerpen
Bronze
Jeritan Ray
Desynata Purnamasari