Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Sebuah Janji di Ujung Rel
1. Aroma Bunga Melati
Udara di awal musim dingin di XXX selalu membawa semacam janji yang getir. Janji akan kehangatan yang akan datang, namun juga janji akan jarak yang akan melebar.
Ares berdiri di peron stasiun, mantel seragam sekolahnya terasa berat di bahunya yang kurus. Hujan yang turun beberapa hari lalu telah mereda, namun dinginnya masih menusuk hingga ke tulang. Ia mencengkeram erat amplop surat dari shanaya Keira.
Mereka adalah sepasang bayangan sejak sekolah dasar. Shanaya, dengan senyumnya yang lembut dan rambut yang tergerai, dan Ares, si pemikir yang diam. Bagi mereka, dunia ini seolah berpusat pada tumpukan buku di perpustakaan sekolah dan aroma lembut bunga melati di halaman belakang.
“Hei, Rey(nama panggilan Ares), tahukah kamu? Kecepatan kelopak bunga melati gugur adalah tiga sentimeter per detik,” shanaya pernah berbisik di bawah pohon yang kelopaknya berterbangan seperti hujan merah muda. “Bahkan saat jarak memisahkan kita, kita akan tahu bahwa kita melihat hal yang sama, dengan kecepatan yang sama.”
Saat itu, janji itu terasa abadi.
2. Perjalanan ke Samudra Bintang
Kini, janji itu diuji. Kepindahan shanaya ke XxxX, dan kepindahan Ares yang akan segera menyusul ke xxx, di ujung selatan Indonesia. Jarak mereka akan terbentang melintasi ribuan kilometer, seperti jurang tak terlampir.
Malam itu adalah satu-satunya kesempatan Ares. Ia nekat menempuh perjalanan kereta panjang menuju Shanaya. Hujan tiba-tiba turun deras, sebuah ironi kejam dari takdir. Kereta yang ia tumpangi terus tertunda.
Di dalam gerbong yang basah, Ares membaca lagi surat shanaya. Setiap kata terasa seperti kelopak melati yang rapuh, berusaha untuk tetap utuh di tengah badai. Ia memikirkan shanaya, yang pasti sedang menunggunya, menggigil di stasiun kecil yang sepi.
Pukul 11 malam. Pukul 12 malam. Kereta berhenti total.
"Sialan," bisik Ares.
Ia menatap ke luar jendela. Dunia hanyalah putih, sunyi, dan dingin. Dalam kesunyian itu, ia merasakan jarak yang tak hanya fisik, tapi juga waktu. Semakin lama ia tertunda, semakin banyak waktu yang hilang dari hidup mereka.
Akhirnya, kereta bergerak lagi. Pada pukul 1 pagi, Ares sampai di stasiun yang diselimuti genangan air.
Ia melihat shanaya. Gadis itu berdiri di sana, mengenakan mantel tebal, pipinya memerah karena kedinginan. Ada senyum lega yang murni di wajahnya, senyum yang langsung meluluhkan beku di hati Ares.
3. Ciuman dan Kosmos
Mereka berjalan menuju gubuk tua yang pernah shanaya sebutkan. Shanaya membuka kotak bekal yang ia siapkan—sandwich dan teh. Mereka makan dalam diam, berbagi kehangatan di tengah badai dan hujan.
"Aku minta maaf... aku terlambat," kata ares, suaranya serak.
"Aku tahu," jawab shanaya, menatap matanya. "Aku senang kamu datang. Rasanya seperti... sebuah keajaiban."
Di luar, hujan telah berhenti dan awan hitam memudar. Malam itu begitu gelap, sehingga bintang-bintang bersinar dengan kecerahan yang menakjubkan. Mereka keluar dan menatap langit. Galaksi Bima Sakti terentang di atas mereka, sebuah sungai cahaya yang dingin dan abadi.
Ares membalikkan badan dan memandang shanaya. Wajahnya diterangi oleh cahaya bintang. Di saat itu, jarak, waktu, dan kepindahan—semuanya lenyap. Yang ada hanya mereka berdua, di bawah samudra bintang.
Ia mendekat dan menciumnya. Sebuah ciuman yang singkat, dingin, namun penuh dengan semua janji, kerinduan, dan rasa sakit yang mereka bagi.
Saat mereka berpisah, Ares berpikir: Saat ini, aku tahu bahwa kami telah melewati seribu tahun, seribu jarak. Kami telah mendapatkan keintiman yang abadi.
Namun, saat ia menatap bintang-bintang, sebuah pemikiran lain melintas, dingin dan tajam:
Bintang-bintang ini... cahayanya telah menempuh ribuan tahun untuk sampai ke kita. Kami berdua di sini, berbagi momen ini, namun kami tidak bisa menjamin bahwa kami akan berada di tempat yang sama besok.
4. Lima Sentimeter Per Detik
Tahun-tahun berlalu. Ares pindah ke xxx, menjalani kehidupan sekolah menengah, dikelilingi oleh ombak dan sinar matahari yang berbeda dari XXXX. Ia berusaha membalas surat shanaya, namun surat-surat itu semakin lama semakin jarang. Akhirnya, mereka berhenti.
Shanaya menjadi memori. Sebuah bayangan yang kabur namun indah, terperangkap di bawah pohon bunga melati di masa lalu.
Elora, seorang gadis dengan mata penuh semangat dan rambut panjang, jatuh cinta pada Ares. Ia melihat kesepian di mata pemuda itu, sebuah kesepian yang berakar pada seseorang dari masa lalunya. Elora ingin menyuarakan perasaannya, namun setiap kali ia menatap Ares , ia tahu. Mata pemuda itu selalu melihat jauh, melihat ke tempat yang sangat jauh, menunggu sesuatu yang tidak akan pernah kembali.
Ares akhirnya pindah kembali ke XXXX dan bekerja. Ia adalah pria yang sukses, namun hatinya kosong. Telepon genggamnya penuh dengan pesan tak terkirim, surat-surat yang tak pernah ia tulis—semuanya untuk Shanaya.
Suatu hari, saat Ares menyeberangi perlintasan kereta api di xxxx ia melihatnya. Shanaya
Gadis itu, kini seorang wanita dewasa, berdiri di sisi rel yang berlawanan. Rambutnya lebih pendek, namun senyumnya—ia masih memiliki senyum yang sama. Jantung Ares berdebar kencang. Itu dia. Orang yang selama ini ia tunggu.
Saat mereka akan saling memanggil, sebuah kereta melintas dengan suara memekakkan.
Dalam kilasan kaca jendela yang cepat, Ares melihat shanaya melihatnya. Sepersekian detik. Sebuah janji yang hidup kembali.
Kereta berlalu.
Ares menoleh. Di sisi rel yang berlawanan, shanaya sudah pergi.
Ia berdiri di sana sejenak, menatap ke arah tempat shanaya menghilang. Sebuah desahan lembut keluar dari bibirnya, sebuah desahan yang membawa seluruh rasa lelah dan kerinduannya. Ia tersenyum. Senyum yang getir.
Ia tahu, meskipun mereka saling bertemu, shanaya yang ia cintai sudah tidak ada lagi. Mereka berdua telah tumbuh, jarak telah melakukan tugasnya, dan waktu telah mengukir jalan yang berbeda.
Ares membalikkan badan, membiarkan dirinya berjalan pergi, menuju kehidupan barunya.
Di perlintasan itu, kelopak-kelopak bunga melati mulai berjatuhan dari pohon di dekatnya.
Mereka jatuh dengan kecepatan yang sama. Tiga sentimeter per detik.
Namun, kecepatan jatuh kelopak bunga melati tidak cukup cepat untuk menghubungkan kembali dua hati yang terpisah oleh waktu.
Ia tahu, ia harus terus berjalan, sambil membawa kenangan itu. Kenangan akan shanaya adalah keindahan yang kini terasa lebih nyata dan indah, karena ia telah memutuskan untuk meninggalkannya di masa lalu.
Pesan moral.
Belajarlah untuk melepas, karena tidak semua hal bisa kita pegang selamanya.
Kenangan manis tetap berarti, meskipun orangnya tidak lagi bersama kita.
Maju ke depan, fokus pada masa kini dan masa depan.
Cinta bukan sekadar perasaan, tapi juga kesempatan, keberanian, dan waktu yang tepat.
-Thank you for reading-