Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Tak ada kegiatan malam hari paling favorit bagi Ardi selain menonton televisi bersama sang ayah. Walau usianya Ardi sudah lima belas tahun, tetap saja rasanya beda jika menonton televisi tanpa ditemani oleh orang yang selalu ada di sisinya.
"Hari ini ada tontonan seru apa, Ardi?" Sang ayah selalu menanyakan ini sebelum mereka menonton televisi bersama.
"Ada tayangan final Piala Dunia di salah satu stasiun televisi, ayah. Spanyol melawan Belanda, ini pasti menjadi pertandingan yang akan disaksikan oleh jutaan orang. Bagaimana jika kita menonton pertandingan itu?" Ardi menawarkan tontonan yang menarik kepada ayahnya.
"Oh ya? Ayah setuju! Ayah buatkan kopi susu untuk menemani kita malam ini ya?" Ayah Ardi tampak bersemangat sekali malam itu.
Ardi mengangguk dan tersenyum kepada ayahnya—dengan senang hati. Ardi mulai mencolok satu per satu kabel ke dalam lubang penghubung televisi. Ia juga sudah merapikan kondisi antena supaya sinyal bisa lancar sampai akhir tontonan mereka.
"Tinggal nyalakan saja." Ardi mengambil remot yang tergeletak tak jauh dari televisinya.
Ardi langsung menekan tombol power berwarna merah untuk menyalakannya. Benda elektronik audiovisual itu telah menyala. Ardi mulai mengganti satu per satu siaran sampai akhirnya ia menemukan yang ia inginkan.
"Ayah? Ini kick-off sudah hampir dimulai. Apa sudah jadi kopi susunya?" Ardi dengan nada yang sedikit berteriak, memanggil ayahnya yang tadi sedang membuatkan kopi susu.
"Iya-iya tunggu sebentar."
Tak lama dari itu, ayahnya Ardi membawakan dua gelas kopi susu yang masih panas. Harumnya membuat Ardi ingin saja langsung menyeruput kopi itu.
"Nih kopi buatan ayah. Jangan langsung dihabiskan sekarang. Minum saja ketika tim jagoan kamu tertinggal skor." Ayahnya Ardi memang terkenal suka sekali membuat anak-anaknya jengkel.
"Memangnya siapa tim yang ayah dukung kali ini? Bukannya ayah ganti tim jika tim yang ayah dukung kalah?" Ardi langsung memberikan fakta yang membuat ayahnya langsung tak terima.
"Enak saja kalau ngomong! Itu kan klub. Kalau negara, jelas ayah mendukung negara kincir angin, Belanda. Arjen Robben dan Wesley Sneijder akan menjadi kunci dalam mengunci kemenangan pada malam ini." Dengan yakinnya ayahnya Ardi mengatakan bahwa Belanda akan menang malam ini.
"Jangan sombong dulu dong. Iker Casillas akan menjadi tembok terakhir yang paling kokoh untuk pertahan Spanyol. Iniesta, Xavi, dan Busquets akan membuat permainan indah di lini tengah."
"Kita lihat saja nanti." Ayahnya Ardi mulai ikut duduk di atas sofa—bersebelahan dengan Ardi.
Pertandingan berlangsung. Ardi dan sang ayah sangat fokus terhadap televisi yang mereka tonton. Menit demi menit mereka habiskan di depan layar bersuara. Gol balas gol antar kedua tim membuat pertandingan semakin sengit. Ejekan kecil antara Ardi dan ayahnya sudah dilakukan ketika tim yang mereka dukung mencetak gol. Sampai akhirnya, Spanyol dan Belanda terus melanjutkan pertandingan hingga perpanjangan waktu. Hati dagdigdug tak dapat dipungkiri lagi bagi Ardi dan ayahnya.
"Seru nih kalau adu penalti."
"Mustahil! Spanyol akan membuat kejutan untuk mengubur mimpi Belanda mengangkat piala malam ini."
Ayahnya Ardi hanya bisa tersenyum melihat perkataan anaknya itu—melanjutkan menonton pertandingan dengan sangat fokus.
Dan benar saja apa yang dikatakan oleh Ardi. Pada menit ke-116, Andreas Iniesta membuat sebuah gol spektakuler yang membuat fans Belanda seketika kehilangan senyumannya.
Hanya tersisa beberapa menit tersisa untuk Belanda dapat menyamakan kedudukan. Namun, semuanya sudah terlambat. Peluit panjang telah dibunyikan oleh wasit. Piala Dunia malam itu diangkat oleh Spanyol, tim yang Ardi dukung. Rasa kecewa yang dialami oleh ayahnya Ardi tak dapat tertutupi lagi. Hatinya seperti hancur berkeping-keping setelah menonton pertandingan 120 menit itu.
Ardi langsung mendekatinya dan memeluknya.
"Sudah jangan berlarut-larut, ayah. Ayah harus belajar menerima sesuatu dengan kenyataan yang pahit. Spanyol memang pantas mengangkat piala malam ini." Ardi mencoba menghibur ayahnya dengan sedikit ejekan di dalamnya.
Seketika rasa sedih ayahnya Ardi pecah menjadi tawa. Ayahnya Ardi tak menyangka jika Ardi akan berbicara seperti itu. "Wih, anak ayah udah bisa menasihati ayahnya ya. Walaupun kalimat terakhir kamu itu agak mengejek ya, tapi itu fakta yang harus ayah telan malam ini." Ayahnya Ardi kembali tersenyum dan ia juga memeluk anaknya—bahagia sekali malam itu rasanya.
***
Delapan tahun berlalu. Rasanya cepat sekali waktu terus berputar tanpa rasa lelah. Kini Ardi telah menjadi kepribadian yang berbeda. Dewasa membawanya sejauh itu. Ia kini sudah bekerja sebagai salah satu staff di perusahaan besar di Jakarta. Berangkat pagi dan pulang hingga malam hari. Namun, lelah itu dapat terbayarkan dengan bertemu orang yang ia cintai ketika sampai di rumah. Ia juga tak lupa selalu melupakan aktivitas yang ia sangat sukai dari dulu, yaitu menonton televisi. Dari dulu Ardi sudah merasakan menonton televisi sampai ketiduran—televisi yang menontonnya. Sampai sekarang, rasanya televisi juga sudah tak bisa lagi menonton Ardi ketiduran. Televisi yang biasa Ardi tonton sampai larut malam, kini hanya bisa ditonton beberapa jam saja karena tuntutan kerja. Dan satu lagi hal yang sangat penting, Ardi tak lagi ditemani oleh sang ayah untuk menonton televisi bersama.
Kondisinya sudah tak seperti dulu lagi. Dirinya sudah mengalami berbagai sakit dan nyeri di berbagai tubuhnya lagi. Terkadang, ingin bangkit dari kasur saja harus dibantu oleh seseorang untuk dapat duduk atau berdiri. Nyatanya, waktu sangat kejam untuk perubahan terhadap seseorang. Itu lah alasan mengapa Ardi sudah tak ditemani oleh sang ayah. Ia lebih mementingkan kesehatan ayahnya daripada harus menemani dirinya yang sudah dewasa ini menonton televisi bersama.
Suatu ketika, saat ayahnya Ardi meminta tolong untuk dibuatkan air hangat oleh Ardi, ia menyampaikan pesan penting kepada anaknya itu.
"ini ya Ayah air hangatnya Ardi taruh di samping tempat tidur." Ardi menaruh air hangat yang baru saja ia buatkan untuk ayahnya.
"Terima kasih ya, Ardi. Tapi, tunggu dulu. Ayah ingin berbicara sebentar denganmu."
"Ada apa ayah memangnya?" tanya Ardi yang sedikit kebingungan.
"Kamu masih ingat tidak saat kita menonton pertandingan final Piala Dunia 2010?"
"Jelas ingat dong. Kan tim yang ayah dukung kalah malam itu."
Ayahnya Ardi sempat tersenyum tipis kepadanya lalu ia kembali melanjutkan pembicaraan. "Kalau kita nonton televisi bareng pas kamu kecil ingat ga? Keterlaluan sih kamu kalau enggak."
"Ya ampun ayah, ingat dong. Ibu, ayah, kakak, dan Ardi. Semuanya lengkap. Hanya saja ibu lebih dulu dipanggil oleh Tuhan. Kakak sudah berumahtangga. Hanya tersisa kita berdua. Namun, ayah kondisinya kurang baik-baik saja saat ini."
Ayahnya Ardi kembali senyum untuk yang kedua kalinya. "Kamu sepertinya akan paham apa yang akan ayah bicarakan selanjutnya ini."
"Apa itu memangnya, Ayah?" Jelas Ardi semakin penasaran apa yang sebenarnya ayahnya ingin sampaikan kepadanya.
"Ada tiga potret kehidupan manusia yang tak dapat diulangi. Yang pertama adalah potret masa sekolahmu. Masa yang dihitung secara logika cukup lama namun ketika dijalani terasa sangat cepat. Kedua, adalah potret kamu bersama keluarga yang lengkap. Semuanya akan menjalani hidupnya masing-masing, dan mungkin akan menyisakan dirimu seorang diri. Yang ketiga, potret kamu dengan masa kecilmu. Masa yang hanya dialami sekali dalam seumur hidup. Semua orang pasti akan merindukan masa itu. Namun, ketiga potret ini akan ditutup secara paksa oleh waktu yang terus berjalan tanpa henti."
"Hal yang perlu kamu lakukan saat ini adalah belajar menghargai satu detik waktu yang berharga dalam hidupmu. Sisakan ruang kecil untuk membuat orang sekitarmu bahagia."*
Ardi terdiam mematung—tak dapat membalas sepatah kata apa pun dari sang ayah. Ayahnya yang melihat itu, memegang erat tangan Ardi. Ia mentap lamat Ardi—penuh makna. Tak lama dari itu, Ardi dapat sepenuhnya memahami apa yang telah disampaikan oleh ayahnya. Ia pun langsung memeluk ayahnya yang masih terbaring di atas kasur.
***
Keesokan harinya, Ardi sudah membawa televisi yang sudah menemani ia dari kecil untuk dijual. Bukan karena kebutuhan ekonomi atau apa, melainkan harga mahal yang tak dijual oleh waktu. Biarkan televisi itu menjadi saksi bahwa Ardi dan keluarganya pernah menonton benda audiovisual itu bersama dengan keluarga kecilnya. Dan biarkan juga barang itu pergi ketika pemiliknya juga sudah pergi lebih dulu satu per satu.
—TAMAT—