Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
24 Jam
0
Suka
2,670
Dibaca

Aku tersenyum manis kepada seorang wanita yang baru saja mengetuk pintu kontrakanku.

"Hallo, Mbak. Kenalin saya Lina, saya tetanggan baru di sebelah Mbak," ujar wanita cantik di depanku dengan ramah.

Ia memberikan jabatan tangan dan kusambut dengan hangat.

"Ooh, salam kenal ya saya Siska. Semoga kita bisa jadi tetangga yang baik. Ayo masuk dulu."

"Iya Mbak, boleh."

Lalu aku masuk ke dalam kontrakan dengan diikuti olehnya di belakang. Lalu ia duduk di sofa.

"Sebentar ya saya buatin minum dulu," pamitku.

"Eh nggak usah repot-repot," tahannya.

"Nggak papa, sebagai bentuk perkenalan awal kita, nanti kalau udah kenal akrab nggak akan ada cerita buatin minuman, paling buatin minuman sendiri," ujarku diakhiri tawa. Ia ikut tertawa lalu aku ke dapur untuk membuatkan teh hangat.

Setelah selesai kubawa kepadanya lengkap dengan cemilan.

"Ayo Mbak diminum, harus habis ya kalau nggak saya kesinggung lho," basa-basiku.

Lina tersenyum sambil mengambil secangkir teh hangat dan menyeruputnya sedikit.

"Mbak di sini sendirian?" tanya Lina.

"Iya, saya merantau dan larinya kesini, lagi kerja disalah satu caffe. Kalau Mbak kerja di mana?"

"Saya nggak kerja, soalnya saya udah nikah. Jadi suami saya yang kerja."

"Pengantin baru yaa?"

"Hehehe iya, udah 6 bulanan sih."

"Kerja apa suaminya Mbak?"

"Arsitektur, karena mau ngerasain hidup sendiri jadi kita ngontrak dulu nanti baru bangun rumah," jelasnya.

Aku mengangguk paham.

"Jadi suaminya kerja sekarang?"

"Nggak, lagi libur di rumah. Aku ajakin basa-basi sama tetangga males katanya, jadi saya aja deh."

Aku tersenyum.

"Lina! Lin! Kamu di mana?!" Terdengar suara panggilan dari luar.

"Itu suaminya ya?"

"Iya kayaknya Mbak. Saya permisi dulu yaa? Nanti saya kesini lagi ngabisin tehnya, biar Mbak nggak kesinggung."

Aku tertawa, lalu Lina berdiri dan berjalan keluar rumah, aku mengekor di belakangnya.

Saat aku berdiri di depan pintu, ternyata suaminya sedang berdiri juga di depan pintu sambil memandang HandPhone.

"Kenapa?" tanya Lina.

"Baju kerja aku yang warna hitam itu di mana?"

"Tunggu aku cariin."

"Kamu dari rumah siapa?"

"Dari rumah Mbak Siska, di sebelah sini, tu ada orangnya?"

Lelaki itu menoleh dan kami saling tatap beberapa saat, sama-sama kaget dan terdiam tidak berkutik.

Tanpa senyuman, tanpa sapaan, tanpa basa-basi aku langsung masuk ke rumah dan menutup pintu.

Setelah itu aku menutup mulut tak percaya, karena tetangga baruku adalah mantan pacarku.

Aku hampir tidak tahu bagaimana perasaanku sekarang, ingin melompat-lompat karena senang, ingin menangis karena terharu, tapi mungkin bukan terharu yang kurasakan, tapi rasa sedih.

Aku berjongkok sambil menutup wajah dan berakhir dengan tangisan yang aku tahan.

() () ()

Tiga kali ketukan pintu mengusik kegiatanku yang sedang memasak. Dengan rasa kesal aku ke depan dan membukakkan pintu.

Jantungku seperti berhenti berdetak.

"Apa kabar?" tanya lelaki di depanku.

"Ba-baik."

Seketika aku teringat dengan masakanku di dapur, aku langsung berlari begitu saja dan menyiapkan masakanku. Dengan jantung yang beredegup kencang dan tidak beraturan, aku sesekali memandang ke arah depan. Aku sengaja menyiapkan masakan agar lelaki di depan tadi segera pergi karena aku yang sibuk dan tidak ada waktu untuknya.

Mungkin hampir 30 menit aku sibuk di dapur dengan perasaan campur aduk sama seperti masakanku yang jadi tidak karuan.

Setelah selesai, aku langsung ke depan, dan ternyata bukannya pergi ia malah duduk di sofa ruang tamu.

"Ngapain kesini? Istri kamu gimana?"

Aku langsung duduk di sofa tepat di depannya.

"Dia lagi keluar, belanja."

"Yaudah mending pulang sana, nanti dikira yang nggak-nggak lagi."

Aku cemberut. Dia tersenyum. Senyuman yang seketika melemahkan hatiku.

"Aku pikir kamu bakal jadi orang yang cuek luar biasa dan pura-pura nggak kenal."

Aku menghela nafas pelan.

"Mana mungkin bisa. Alangkah baiknya kalau kamu pergi dari sini, dan kalau bisa lagi kamu pergi dari kontrakan ini."

Argi tertawa. "Memangnya ini kontrakan kamu?"

"Tapi aku dulu yang nempatinnya!"

Aku terlalu kesal dan menghela nafas kasar.

"Udahlah, jangan bertingkah seolah-olah biasa aja. Ini nggak bisa dibiarin. Kita harus pura-pura nggak kenal. Kamu orang kaya dan punya segalanya, kamu bisa tinggal dimana aja yang kamu mau. Jangan di sini, karna aku nggak akan bisa pergi!"

Arghi menghela nafas pelan, lalu mengangguk.

"Aku pulang, aku cuma pengen tau kabar dan keadaan kamu."

Aku mengangguk. Lalu aku berdiri untuk mempersilakan dia pergi, bahkan aku duluan berdiri di pintu, setelah itu ia menyusul.

Namun hal yang tidak kusangka terjadi, sambil lewat ia memegang tanganku, rasanya aku terpaku, tak berkutik sedikitpun hingga ia pergi.

Setelah itu aku cepat-cepat menutup pintu. Lalu memperhatikan tanganku yang disentuh olehnya, tanpa sadar aku mengecup sekilas bekas tangannya itu.

Begitu aku sadar, aku menggeleng keras dan langsung memasuki kamarku.

() () ()

Aku menghela nafas pelan sembari keluar rumah. Saat akan melewati kontrakan milik Arghi, aku berusaha untuk tidak memandang sedikitpun karena pintunya yang terbuka.

Tapi, baru satu langkah aku berjalan melewatinya, suara Lina terdengar jelas.

"Siska!"

Aku langsung menoleh. "Hy."

"Mampir ke rumah aku dulu yuk! Aku baru siap masak, biar sekalian makan. Ada suami aku juga, biar kamu kenalan."

"Emm .... Maaf ya Lin, aku baru mau berangkat kerja. Jadi, kapan-kapan aja deh," tolakku dengan jujur.

"Oh iya kamu kerja ya, kan? .Yaudah deh, kapan-kapan aja, tapi jangan lupa lho bertamu, masa kamu nggak pernah mampir, padahal deket."

"Iya kapan-kapan, aku permisi dulu ya, biar nggak telat," pamitku.

Lina tersenyum manis dan ramah. Lalu aku pergi.

"Aduhh! Istrinya si Arghi ini nggak punya temen lain apa?" Dumelku dalam hati.

() () ()

Di caffe hari ini lumayan sepi, jadi aku tidak terlalu sering berdiri, tapi lebih lama duduk.

Aku bekerja di salah satu caffe terkenal, dengan posisiku sebagai kasir di sini.

Dalam dudukku yang diisi dengan lamunan, tiba-tiba aku teringat pada Arghi. Tetangga baruku yang istrinya tidak tahu kalau aku adalah mantan pacar suaminya. Mungkin seorang mantan hanyalah hal biasa, tapi hubunganku dengannya cukup lama, yaitu sejak SMP, mungkin terhitung 8 tahun.

Latar belakang kehidupan kami berbeda, ia orang kaya raya dan memiliki nama tersohor dengan berbagai usaha yang terkenal di tempat kami dulu, bisa dibilang aku dan ia tetangga desa. Sedangkan aku tidak kaya dan hanya orang biasa.

Bisa dibilang gaya pacaran kami pun tidak seperti orang lain yang mempublikasikannya ke penjuru negeri. Lagi pula dulu jarak kami terbilang cukup jauh.

Hubungan itu kandas saat ia berkuliah ke London, kami jarang sekali bertemu dan tiba-tiba saja segala kebersamaan dan postingan media sosialnya tentangku dan kami hilang. Mungkin bisa disebut ghosting.

Tapi ternyata baru kuketahui kalau orang tua dan keluarganya tidak menyetujui hubungan kami. Terlebih lagi, ia berkuliah di luar negeri dan mengejar gelar, sedangkan aku hanya pekerja biasa yang mengharapkan gaji tidak seberapa untuk setiap bulannya. Hingga kini, aku merantau ke kota, dan tidak menyangka akan bertemu dengannya, namun ia sudah memiliki status sebagai kepala rumah tangga.

"Siska!"

Aku tersentak mendengar panggilan Ranti, teman kerjaku.

"Kenapa, Ran?"

"Lo kok malah melamun sih, mana lama banget lagi!"

"Hehehe nggak sadar."

() () ()

Malam ini, aku lelah lagi. Karena apa? Karena aku harus pura-pura merasa nyaman di rumah Lina disaat ia sedang menyiapkan makanan bersama Arghi.

"Baik kan suami aku?"

"Hehehe iya."

Arghi tersenyum. Lalu mereka duduk bergabung bersamaku, dan mulai menyendokkan nasi kepiring masing-masing, sama halnya sepertiku.

"Kamu udah berapa lama di sini? Selama ini sendirian?"

"Emm .... 3 tahunan lah. Memang sendirian, lagian aku kan kerja jadi nggak terlalu sering juga di rumah."

"Ooooh .... Kamu tau nggak Sis, aku tu sebenarnya lulusan sarjana hukum, tapi aku nggak niat sama sekali, yang ada di pikiran aku cuma yang penting ada gelar aja udah, apalagi dari kecil aku udah penuh dengan kemewahan, begitu nikah juga dapat Arghi yang juga menuhin segala yang aku mau. Jadi aku nggak mau kerja," jelasnya dengan santai.

"Terus kenapa kalian mau ngontrak di tempat yang nggak mewah kayak gini?"

"Iseng aja, coba-coba. Gimana rasanya jadi orang susah, walaupun semua bisa kebeli sih, tapi ya nggak semuanya aku penuhin, biar ngerasain hidup dari 0."

Aku tertawa mendengarnya.

"Kamu juga cepetan nikah, biar ada yang nafkahin jadi nggak usah kerja lagi," hasutnya.

Aku tersenyum hambar, tatapanku dan tatapan Arghi bertemu untuk sesaat.

"Dan hidup aku juga nggak wah-wah banget kok, Sis. Soalnya aku nggak punya impian yang luar biasa, ini aja aku nikah sama Arghi karna dijodohin, dari pada aku disuruh kerja lebih baik aku nikah. Untungnya aku nggak salah orang."

Lina tersenyum manis pada Arghi. Aku hanya tersenyum sambil mengangguk sebagai balasan.

() () ()

Hidupku sudah terasa aman, damai, dan tentram sejauh ini. Tapi sejak kedatangan Arghi dan istrinya itu, hidupku rasanya sesak dan selalu jantungan tanpa sebab, tidak pernah tenang dan selalu bimbang.

Aku semakin tidak ingin keluar rumah, padahal saat ini aku benar-benar ingin memakan sesuatu tanpa harus memasak. Jika bertemu dengan Lina lagi maka ia akan memaksaku untuk makan atau hal lainnya lagi.

Tapi aku juga penasaran apakah Lina tidak tahu tentang aku dan Arghi dimasa lalu?

Pemikiran itu nanti dulu, sekarang waktunya aku memberanikan diri keluar rumah untuk menyantap makanan enak dan berharap dua tetangga baru itu tidak ada yang keluar dari rumahnya.

Begitu aku membuka pintu lagi-lagi ada setan itu berdiri dengan senyuman, tanpa permisi ia masuk langsung ke dalam kediamanku. Lebih parahnya lagi ia menutup pintu.

"Arghi! Kamu bukan Arghi yang aku kenal dulu, mana mungkin kamu masuk ke rumah orang kayak gini, status kamu suami orang dan kita berdua doang!" marahku langsung.

"Memang iya, tapi aku lebih nggak bisa nahan perasaan ini, Siska."

Arghi menarikku begitu saja ke sofa ruang tamu, kami duduk berdekatan.

"Apa Lina nggak pernah tau tentang kita?" tanyaku.

Ia menggeleng. "Kita memang benar-benar baru kenal. Aku nikah sama dia karna aku pikir bakal bisa lupain kamu. Tapi giliran ketemu lagi perasaan ini malah makin kacau."

"Sekarang kamu udah jadi milik orang lain, Ghi. Ini salah, ini nggak bener. Kita memang nggak berjodoh dan aku nggak akan menuntut apapun!"

Aku luluh dan rapuh, berakhir dengan tangisan.

"Kalau bukan kamu yang pergi dari sini, aku yang bakal pergi," ucapku dengan berani.

"Aku kangen sama kamu, kangen banget!!" tekannya diakhir kalimat.

Aku menghapus air mata sambil menatapnya.

"Sana pulang ke rumah kamu yang sebenarnya, jangan ada apapun yang terjadi di antara kita sekalipun sekedar tatapan mata."

Arghi tidak beranjak. Aku langsung berdiri sambil menariknya agar pergi. Ia menurut, ia berdiri tapi tak berjalan sedekitpun.

Aku tidak tahu dengan arti tatapan mata lelaki ini, dan beberapa detik setelahnya ia memelukku dengan sangat erat.

Aku tidak berdaya, lalu membalas pelukan itu sambil menangis.

"Maafin aku, Sayang."

Kata 'sayang' yang terucap berhembus lembut di telingaku, mendesirkan darah di jantungku.

() () ()

Masih di tempat yang sama dan dalam posisi yang sama, namun sudah dengan waktu yang berbeda. Sudah hampir dua jam Arghi di sini duduk bersamaku berbincang tentang segalanya.

"Nggak ada yang bisa diubah, aku tau itu. Aku juga nggak akan ninggalin Lina buat kamu, karena nyatanya hubungan kami bener-bener udah terikat dengan sakral."

Air mataku menetes. Arghi menghapusnya.

"Aku nggak bisa biarin kamu dalam pertanyaan besar, tapi aku juga nggak berani ngomong langsung, makanya aku minta sepupu aku yang bilang tentang alasan aku ninggalin kamu," lanjutnya.

"Sampai sekarang, nggak ada yang bisa masuk dalam kehidupan aku, karna aku bener-bener belum bisa rasanya," tuturku dengan berusaha lancar.

"Dan memang bener nggak ada yang bisa berubah, Ghi. Tapi setidaknya kamu bisa pergi dari sini. Sekuat apapun komitmen kita nggak ada jaminan rasa yang kita punya nggak tumbuh subur lagi." Aku menggeleng diakhir kalimat.

"Aku takut kalau nantinya aku buta karena cinta, kamu juga. Lalu kita bangun hubungan yang salah, dengan alasan cinta, dan kita melumrahkan hubungan yang salah itu," lanjutku.

Ia menghela nafas pelan sambil menunduk.

"Oke, aku bakal pergi sama Lina dari sini. Aku jamin kita nggak akan ketemu lagi. Tapi ... " Arghi menggantungkan kalimatnya.

"Apa?" tanyaku dengan sejuta rasa penasaran.

"Kasih waktu kamu 24 jam buat kita."

"Maksud kamu?"

"Biarin kita ngelepasin segala kerinduan ini, Ka. Kamu mau, kan? Kita habisin waktu berdua kemana aja tanpa beban tanpa status apa, anggap aja aku Arghi yang dulu begitu juga kamu," jelasnya dengan penuh permohonan.

"Itu salah, Ghi! Salah! Kamu udah nikah, kamu punya istri!"

"Kita nggak ngapa-ngapain! Kita cuma jalan-jalan, ngobrol, bercanda, makan, dan segalanya seolah kita adalah kita yang dulu," ungkapnya.

Aku menggeleng. "Nggak bisa, bakal dianggap apa kita, khususnya aku. Kamu udah punya istri dan aku tau itu!"

"Itu urusan aku Siska, kamu tau sendiri kan gimana aku. Kita bakal aman termasuk dari Lina sendiri."

Aku mengerutkan wajah. Lalu ia menggengam tanganku.

"Please, yaaa.... Kamu tau sendiri kan gimana aku, semua pasti aman. Kamu jangan khawatir."

Aku diam sejenak untuk berfikir.

"Setelah itu aku janji bakal pergi dari sana, aku rela ninggalin kerjaan aku. Aku janji Siska," tuturnya meyakinkan.

"Mau ya?"

Anggukan kecil kulakukan, hingga ia meminta persetujuan yang pasti kuberi anggukan yang begitu yakin sambil menatapnya.

Arghi tersenyum.

"Yaudah pulang sana. Istri kamu nanti nyariin," usirku.

"Dia nggak ada di rumah malam ini, ada temennya datang dari London dan dia nemenin di hotel, " ujar Arghi.

"Apapun alasannya, silakan pergi. Ini salah!"

Arghi menghela nafas pelan. Lalu ia mengangguk.

"Yaudah aku pulang. Kalau kamu butuh bantuan kasih tau ya."

Aku mengangguk. Tidak tahu dengan apa yang ia lakukan, Arghi mendekat lalu memberikan kecupan pada keningku. Aku diam tidak marah sedikitpun.

Bahkan saat ia mencium kedua pipiku. Dengan mudahnya aku menerima bisikan setan, tidak menepisnya, dan hanya diam sana.

Termasuk pelukan hangat sebagai bentuk perpisahan dimalam ini.

() () ()

Sejak malam itu, jantungku mulai berdebar seperti orang yang jatuh cinta saat tidak sengaja melihat Arghi.

Contohnya seperti saat ini, ketika ia keluar rumah bersamaan denganku. Ia melirikku sekilas sebelum melanjutkan langkahnya, dan aku berjalan di belakangnya.

Kontrakan ini terdiri dari tiga lantai, dan aku berada di lantai dua.

Saat akan menuruni anak tangga, Arghi berhenti, bersandar sambil menghidupkan rokok.

Begitu aku berada di hadapannya, ia langsung melanjutkan langkahnya beriringan denganku.

"Minggir," bisikku.

"Nggak ngapa-ngapain kok."

Tidak ingin berlama-lama, aku langsung berjalan setengah berlari agar kami tidak lagi berjalan dengan langkah yang sama.

() () ()

POV : Arghi

"Ulang tahun kali ini aku mau ngasih kejutan, jadi aku nemuin Mama pas dihari ulang tahunnya tapi menjelang pergantian hari besoknya," ujar Lina.

"Yaudah berangkat dari sekarang aja nggak papa, kamu nginep di rumah temen kamu biar gampang, kalau mau nunggu mendekati hari H gimana kalau nanti ada kendala! Malah nggak jadi surprise," usulku.

"Iya juga sih. Tapi aku tu males tau buat beresin barang-barang sama ngurus keberangkatan!" rutuknya.

"Aku yang urus keberangkatan, besok pagi kamu udah bisa berangkat, gampang itu. Nggak perlu juga beres-beres baju, beli aja yang baru," kataku menyanggupi yang sebenarnya juga malas.

Lina menghela nafas pelan.

"Yaudah deh bener juga, aku nggak mau kasih surprise yang biasa aja. Jadi aku mau nyiapin segalanya, oke fiks! Siapin keberangkatan aku buat besok, aku cuma mau nyantai."

Akhirnya ia setuju dan aku sangat bahagia.

"Tapi nanti aku bakal kangen sama kamu, aaaa .... "

Ia langsung mendekat dan memelukku. Berdesir jantungku, ada perasaan yang menghangatkan hatiku.

Aku tersenyum tipis sambil membalas pelukannya.

() () ()

Aku melambaikan tangan kepada Lina saat ia sudah benar-benar akan berangkat ke Singapura. Lega sudah saat melihatnya benar-benar menghilang dari pandangan.

Bayanganku langsung dipenuhi oleh Siska. Seketika dengan mudahnya Lina hilang dalam pikiranku.

Aku langsung pergi dari sana untuk pulang. Aku tahu kalau saat ini Siska sedang bekerja. Jadi aku akan menunggunya sambil merencakan tempat-tempat yang akan aku tuju baru meminta persetujuan Siska.

() () ()

POV : Siska

"Berarti dari besok subuh?" tanyaku setelah membaca rentetan rencana Arghi.

Arghi mengangguk. "Habis sholat lah."

"Oke deh, nanti aku izin sama bos, lagian ini memang waktunya aku cuti."

Arghi tersenyum penuh kebahagiaan.

"Yaudah pulang sana, nggak ada Lina bukan berarti kamu nggak punya istri," suruhku.

Arghi tertawa, dan aku memperhatikan tawanya.

"Kenapa sih kamu harus berstatus suami orang sekarang?" Kali ini aku serius.

"Semua udah terjadi, nggak ada lagi yang bisa dijelasin. Aku pulang ya, besok nggak boleh telat, besok harus sempurna," ujarnya.

Aku tidak menyaut sedikitpun. Lalu ia pergi, dan lagi sebelum ia pergi, Arghi menepuk puncak kepalaku dengan pelan.

Ingin sekali aku berteriak dan mengatakan kalau aku sangat mencintainya dan akan selalu mencintainya.

() () ()

Aku tersenyum saat kami sama-sama bertatapan ketika keluar rumah dalam waktu yang bersamaan.

Dia menghampiriku lalu menggenggam tanganku.

"Jangan! Nanti ada yang bakal liat," tolakku sambil menarik tanganku dari genggamannya.

"Dari dahulu hingga sekarang, kita selalu diam-diam," nyanyinya sambil berjalan dengan alunan nada ASAP.

() () ()

Nafasku dan nafasnya terengah-engah, setelah kami mendaki bukit yang cukup tinggi demi untuk melihat sunrise dan awan-awan indah yang tersusun rapi.

"Ya Allah," keluhku.

Arghi tertawa, lalu duduk di dekatku.

Kami diam untuk beberapa menit, berusaha menormalkan rasa lelah ini.

"Siska .... "

"Iya?"

"Meskipun kita udah nggak pernah ketemu lagi setelah bertahun-tahun, tapi kenapa rasanya nggak ada yang berubah dari kita. Kamu masih Siska yang dulu, bedanya sekarang lebih cantik dan rapi aja sih .... "

"Bahkan perasaan aku aja masih belum berubah," lanjutku sambil memalingkan wajah ke arah lain.

"24 jam."

"Tanpa beban."

() () ()

Sunset, bagian terindah di dunia ini yang sulit untuk dilewatkan.

Waktu ini, jam ini, tempat ini, detik ini semua terasa semakin indah karena ada dia sebelahku.

Dia dan senja, sama-sama datang dengan indah, lalu pergi untuk mengundang gelap.

"Jangan lupa foto," bisik Arghi di telingaku.

"Di HP aku, kan?" jawabku.

"Kan dari tadi emang di HP kamu."

"Yayayaya.... "

"Tapi tunggu bentar," ucap Arghi sembari bangkit dan pergi ke salah satu pengunjung.

Terlihat dari tempatku saat ini ia berbicara, dan tidak lama setelah itu ia membawa gitar.

"Nggak lengkap kalau nggak ada rekaman nyanyi sambil main gitar," ucapnya sembari duduk.

"Salahkah ku menuntut mesra."

Lantunan lirik dari lagu Sampai Jadi Debu milik Banda Neira kualunkan dengan lembut.

"Sampai kita tua."

"Sampai jadi debu."

"Ku di liang yang satu."

"Ku di sebelahmu."

() () ()

Kembali lagi ke pantai setelah tadinya kami berjalan-jalan menikmati udara malam Bandung, dan menyantap beberapa jenis makanan yang sudah kami rencanakan bersama.

Semua kenangan itu akan tersimpan indah di HandPhone-ku.

Udara malam di pantai, desir ombak yang menenangkan, serta indahnya bulan purnama kali ini.

Rasanya dunia memang memberikan segala keindahan untuk kami nikmati bersama.

Kami duduk di pasir pantai dengan duduk bersila. Arghi memainkan gitarnya dan kami bernyanyi bersama dengan lagu yang dulu juga pernah kami nyanyikan berdua.

Tempat duduk kami saat ini cukup jauh dari beberapa pengunjung lain, tak bisa dengan kata cukup karena memang benar-benar jauh, bahkan gelap dan hanya ada cahaya purnama yang menerangi.

Lagu yang kami nyanyikan saat ini ialah lagu Roman Picisan milik Dewa 19.

"Tatap matamu bagai busur panah, yang kau lepaskan ke jantung hatiku."

"Meski kau simpan cintamu masih, tetap nafasku wangi hiasi suasana."

"Saat ku kecup manis bibirmu."

"Cintaku tak harus, miliki dirimu. Meski perih mengiris-iris segala janji."

"Aku berdansa di ujung gelisah, diiringi syahdu lembut lakumu."

"Kau sebar benih anggun jiwamu, namun kau menuai buah cintaku."

"Yang ada hanya sekuntum rindu."

"Malam-malamku bagai malam seribu bintang, yang terbentang di angkasa bila kau di sini."

"Tuk sekedar menemani, tuk melintasi wangi, yang selalu tersaji di satu sisi hati."

Arghi berhenti memainkan gitar, lalu menatapku beberapa saat hingga tiba-tiba saja ia mengecup bibirku dengan lembut, tanpa permisi, tanpa basa-basi.

() () ()

Bagian terburuk dari 24 jam yang kami lalui, ialah saat ini. Saat kami saling berhadapan, dengan mata Arghi yang terpejam. Salah satu bagian terburuk yang kusadari.

Di pukul dini hari aku terbangun, sesak kurasakan, merasa bodoh dengan menyesal. Kami memang tidak melakukan sesuatu yang dilarang, tapi kami hanya tidur disatu ranjang yang sama, di kamar Arghi, kamarnya dan Lina.

Aku dan ia terlalu lupa diri sampai mau saja tidur bersama seperti ini, meski tidak melakukan hubungan itu. Nyatanya ini tetaplah salah.

Begitu aku sadar, aku langsung bangun. Merampas tasku lalu pergi begitu saja meninggalkannya.

() () ()

POV : Arghi.

Hampir 10 menit tatapanku tidak pergi dari sebuah foto yang terpajang berukuran besar di dinding. Foto pernikahanku dengan Lina.

Pikiranku berantakan seketika, hari pernikahanku dengan Lina menjadi dalang dari kekacauan ini. Cintaku pada Siska adalah tokoh utamanya.

Aku kacau dan berantakan. Hanya ada satu hal di dalam pikiranku, jangan merusak hubunganku dengan Lina.

Aku langsung mengambil tas yang berisi segalanya dan pergi untuk mengurus keberangkatanku menyusul Lina.

Jangan lagi bertemu Siska, jangan lagi bertatapan dengannya, dan jangan lagi berbicara padanya. Semua selesai hari ini, antara aku dan dia.

() () ()

POV : Siska

Aku duduk di kursi kereta menuju desaku. Dengan tangisan yang mendera tiada henti sedari tadi.

Aku pergi dari kota ini. Tanpa permisi pada Arghi, tanpa senyuman lagi, tanpa pembicaraan lagi dan tanpa sekedar tatapan mata.

Tak akan kubiarkan rasa ini mengoyak segala kesadaran dan kebenaran. Karena aku tahu, mungkin aku bisa gila karena cinta padanya.

24 jam tidak terlewati bersamanya, tapi bersama tangisan dosa dan penyesalan serta cinta yang mendalam.

Semua yang ada di sini kutinggalkan karena Arghi.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
24 Jam
Devi Wulandari
Cerpen
Bronze
Pasar Bisa Diciptakan
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Bronze
Ibu Jangan Tinggalkan Adek
Yona Elia Pratiwi
Cerpen
Hanya Sebatas Kerikil Kecil
Rein Senja
Cerpen
Tetangga Depan Rumah
ken fauzy
Cerpen
Bronze
Menunggu Petang
spacekantor
Cerpen
Bronze
Aku Bersimpuh di Hadapan Kopi yang Tengah Ku Seduh
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Tandang
rdsinta
Cerpen
Bronze
Sengkolo
Nisa Dewi Kartika
Cerpen
Bronze
Lelaki Bermata Teduh Part-7
Munkhayati
Cerpen
Bronze
Senja
Bisma Lucky Narendra
Cerpen
Déjà Vu
Firman Fadilah
Cerpen
Orang-Orang Pojok
Aniq Munfiqoh
Cerpen
The Lost's Neighborhood Serenity
Hafizah
Cerpen
climate[Pg 4] improved. It has been made habitable. The soil, which bore formerly only a coarse vegetation, is covered to-day with rich harvests. The rock-walls in the valleys are laid out in terraces and covered with vines. The wild plants, which yielded
Miftahudin
Rekomendasi
Cerpen
24 Jam
Devi Wulandari
Novel
Bronze
Aku tetaplah diriku
Devi Wulandari
Skrip Film
Menjelang Gentari Tenggelam
Devi Wulandari
Flash
Suratan Takdir
Devi Wulandari
Flash
Memeluk Masa Lalu
Devi Wulandari
Flash
Toxic!
Devi Wulandari
Novel
Kala Bulan Menemui Malam
Devi Wulandari
Novel
Beda agama
Devi Wulandari
Novel
Prolog Epilog
Devi Wulandari
Novel
Fortress in love
Devi Wulandari