Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
23:59
2
Suka
5,442
Dibaca

“Nama lo udah gue apus dari laporan.” ucapku sinis.

“Lo gak bisa gitu, dong! Lo, kok, sembarangan banget, sih?! Lo, tuh, gak bisa asal apus na—“

“Lawak lo! Dari awal gak pernah bantuin apa-apa, tiap dichat alesannya lagi sibuk ini lah itu lah, terus sekarang lo koar-koar minta nama lo dimasukin di laporan? Gak tau diri juga ada batasnya!” aku memotong dengan kesal.

“Yaa … Gue emang lagi sibuk ngurus acara BEM, makanya gak bisa bantu. Kalau nama gue gak masuk di laporan, gimana nilai gue nanti? Masa nilai gue 0? Lo mikir gak, sih?!” suara yang terdengar dari panggilan telepon di smartphoneku ini juga terdengar kesal.

“Lo yang mikir, bajingan! Gak kerja tapi mau nilai. Makan, tuh, BEM!!” jawabku dengan nada yang semakin meninggi.

“Argh! Ya udah, gini aja, deh. Gue bayar aja ke lo. Berapa? Lo mau berapa?”

“Gue gak butuh duit lo. Gak usah kuliah, bro, kalau apa-apa cuman ngandelin duit, bentar-bentar minta joki. Lo kuliah cari ilmu apa ijazah doang? Dah lah, pokoknya nama lo gak bakal gue tulis di laporan. Mau nilai lo 0, mau lo gak lulus nih mata kuliah, gue gak peduli.” ucapku tegas.

“Fa, lo gak bis—“

Aku menutup panggilan teleponnya. Sudah tidak ada artinya lagi aku mendengar omong kosongnya itu. Mataku beralih ke layar laptopku, terlihat notifikasi bahwa email berisikan laporan tugasku sudah berhasil terkirim. Aku menghela napas lalu mematikan laptopku.

Aku terduduk lemas di kursi belajarku. Kulihat jam di layar smartphoneku. 23:59. Nyaris saja nilaiku dipotong karena lewat deadline. Ini semua karena teman kelompokku yang sok sibuk, yang meneleponku tadi. Beginilah kalau kelompok ditentukan lewat undian, suka dapat parasit yang kapasitas dirinya tidak memadai sebagai mahasiswa.

Aku lalu bangkit berdiri dan berjalan pelan menuju balkon kamarku. Aku bersandar ke pagar balkonku dan memperhatikan langit malam. Gelap. Hanya ada cahaya kebiruan tipis dari bulan, itu pun sedikit tertutup oleh awan. Biasanya di jam segini itu aku sudah tertidur lelap, berkunjung ke alam mimpi yang menyenangkan. Aku kembali menghela napas.

“Sial bener, dah ….” gumamku pelan.

“Sial kenapa?”

Aku tertegun. Aku perlahan menoleh ke sumber suara. Seorang perempuan dengan rambut sepunggung tengah memandangiku. Dia, sama sepertiku, bersender di pagar balkon kamarnya. Aku baru tahu kalau di rumah sebelah ini ada anak perempuan yang seumuran denganku. Ya … Aku jarang berinteraksi dengan mereka juga, sih, jadi tidak heran kalau aku tidak tahu.

“Sial kenapa?” dia mengulang pertanyaannya.

“… Biasa, temen kampus jadi beban kelompok.” jawabku.

Dia tertawa kecil. Terlihat ada lesung pipi di pipi kanannya.

“Emang yang kaya gitu nyusahin, sih.” ucapnya.

Aku hanya mengangguk.

“Kenalin. Aku Mudita Pundarika, biasa dipanggil Dita.” dia memperkenalkan dirinya sambil tersenyum.

“Rufa Ruffini. Panggil aja Rufa.” aku ikut memperkenalkan diriku.

“Ruffini? Itu bukannya na—”

“Iya, itu nama saraf. Papa guru Biologi, dia yang kasih nama itu. Gak ngerti juga kenapa dia bisa kepikiran kasih nama anaknya pake nama saraf.” aku menjelaskan tanpa diminta.

“Unik, ya.”

Aku kembali mengangguk. Suasana menjadi hening. Dan juga canggung. Kami berdua hanya terdiam. Memang dasarnya aku ini orang yang canggung secara sosial. Aku selalu kagum dengan podcaster-podcaster di luar sana yang kuat mengobrol lama setiap harinya. Kalau aku, pasti otakku sudah kram di menit ke-15 karena sudah mentok mencari bahan obrolan.

“Kamu kuliah jurusan apa?” tanya Dita memecah keheningan.

“DKV.” jawabku, seadanya.

“Ooh, gambar-gambar gitu, dong? Udah semester berapa?”

“5.”

“Wah! Sama, dong, kaya aku! Cuman beda jurusan aja.” ucap Dita dengan riang.

“… Memangnya kamu jurusan apa?” tanyaku dengan canggung.

“Aku jurusan psikologi. Jadi kalau kamu lagi ada masalah sama temen, lagi kesel atau gimana, cerita aja ke aku. Selagi masih gratis, nanti kalau aku udah jadi psikolog beneran, mahal, lho, biaya konsultasinya.” jawabnya sambil tertawa kecil.

Aku hanya ber-oh-ria mendengar jawabannya. Aku mau tanya apa di jurusan Psikologi itu berarti dia belajar bagaimana cara menangani orang gi—, ehem, maksudku orang ODGJ, tetapi kuurungkan karena takut dia merasa tersinggung jurusannya kuhubungkan dengan ODGJ.

“Seru, lho, kuliah Psikologi! Dosenku pernah cerita soal gimana dia pernah bantu rehab orang gila sampai sembuh, sampai waras lagi!” ucapnya dengan penuh semangat.

“Maksud kamu, orang ODGJ?” tanyaku dengan hati-hati.

“Iya. Orang gila. Itu, lho, yang kadang ada di pinggir jalan lagi makan sampah.” jelasnya.

“Bukannya sekarang nggak boleh nyebut orang gila, ya?” tanyaku.

“Kata siapa?”

“Bukannya ada youtuber yang disomasi karena nyebut orang gila? Katanya nyebutnya itu harus ODGJ ….”

“Oooh, udah lama itu, sih. Lagian santai aja. Kita, kan, cuman mahasiswa biasa. Gak bakal ada yang somasi kita. Youtuber itu disomasi karena dia terkenal, kalau gak terkenal, mah, bebas mau ngomong apa juga.”

Aku mengangguk. Benar juga. Di berita-berita yang aku tahu memang biasanya yang kena somasi dan semacamnya itu orang-orang yang terkenal. Kalau dipikir-pikir, kasihan juga mereka, para orang terkenal itu. Ngomong saja jadi tidak bebas, salah ucap atau salah kata bisa-bisa kena masalah. Kasihan ….

“Nah, balik ke ceritaku tadi. Jadi dosenku itu ….”

***

Semenjak hari itu, aku dan Dita jadi sering mengobrol. Lebih tepatnya, dia bercerita panjang lebar, entah tentang keuarganya, teman kuliahnya, dosennya, atau apapun itu, dan aku hanya mendengarkan sambil sesekali memberikan komentar. Kami tidak pernah janjian, tetapi kami selalu bertemu di jam dan tempat yang sama. 23:59 di balkon kamar masing-masing.

Aku yang biasanya jam 10 malam itu sudah tidur nyenyak, sekarang mengalami perubahan jam tidur. Tergantung Dita, tetapi biasanya paling cepat itu kami selesai mengobrol jam 2 pagi. Kadang sampai jam 4 pagi kalau Dita sedang punya banyak cerita, biasanya kalau paduan suara kampusnya sedang ada acara. Ya, dia anggota UKM paduan suara kampusnya. Aku? Aku, sih, kupu-kupu sejati. Kuliah pulang.

Awalnya keseharianku jadi sedikit terganggu dengan perubahan jam tidur ini. Tetapi sudah tidak lagi. Bukannya aku beradaptasi dengan jam tidur yang lebih sedikit, aku hanya memindahkan jam tidurku itu. Ya, sekarang aku jadi tidur siang.

Kalau sedang ada kelas siang atau sore di kampus, aku biasanya menumpang tidur siang di perpustakaan. Perpustakaan selalu sepi, dapat dimaklumi mengingat generasiku ini lebih suka baca hoax di akun gosip tidak jelas daripada baca pengetahuan dari buku, sehingga menjadi tempat yang paling tepat untukku tidur siang. Setidaknya, begitu pikirku sampai 15 menit yang lalu.

“Kamu ini penerima beasiswa akademik, harusnya jadi teladan buat mahasiswa lain. Bukannya malah asyik tidur di perpustakaan! Sekali lagi saya lihat kamu tidur di perpustakaan, saya akan ajukan ke Wakil Rektor bidang akademik untuk mencabut beasiswamu itu.” ucap seorang pria paruh baya berkacamata.

Aku menunduk di depannya.

Dia adalah dosen yang secara tidak sengaja melihat aku sedang tidur siang dengan pulas di salah satu sudut perpustakaan. Sudah 15 menit sejak dia membangunkanku dan mulai menceramahiku. Padahal di perpustakaan, kan, dilarang berisik, bukan dilarang tidur. Hanya saja kalau kujawab seperti itu, dia pasti akan semakin marah dan durasi ceramahnya ini akan bertambah. Ingat, diam adalah emas. Jangan banyak omong kalau tidak perlu.

“Ya sudah, jangan kamu ulangi lagi. Sekarang kamu sudah boleh pergi.” ucap dosen itu.

“Terima kasih, Pak. Sekali lagi, saya minta maaf atas ketelodoran saya tidur di perpustakaan.” ucapku, yang tentu saja merupakan jawaban diplomatis yang sudah kusiapkan sejak awal dia mulai berceramah.

Dia tampak puas. Aku menunduk sedikit sebagai gestur permisi lalu berjalan keluar dari perpustakaan. Ah, sial …. Sekarang aku kehilangan tempat tidur siang di kampus. Apa aku harus bergerilya mencari ruang kelas yang sedang kosong untuk menumpang tidur siang di dalamnya? Repot sekali. Membayangkannya saja sudah cukup untuk membuatku malas.

Aku menghela napas. Mengapa aku harus memikirkan hal semacam ini, sih? Toh, aku tidak ada janji untuk selalu menemui Dita, kan? Berarti aku bisa-bisa saja tidur jam 10 seperti dahulu. Lagipula, apa ketika kelas dia tidak mengantuk, ya, setiap hari selalu tidur lewat tengah malam seperti itu?

***

“Aku, sih, udah biasa sehari tidur cuman 2-3 jam.” ucap Dita dengan santai.

“Bukannya itu gak sehat?” tanyaku.

“Yaa … Nggak sehat, sih. Tapi namanya juga udah kebiasaan. Aku memang bukan morning person, Fa. Aku, tuh, baru ada semangat buat nugas atau belajar pas udah malam. Abis itu ngabisin waktu ngeliatin bulan di balkon. Mungkin aku juga selenophile? Entahlah, tapi yang pasti aku memang suka dengan malam hari.” jelas Dita.

Aku hanya mengangguk, tanda bahwa aku menyimak dan paham dengan penjelasannya.

“Apalagi kalau lagi ada konser. Waaah, itu malam terbaik pokoknya, deh, Fa!”

Ini dia. Bridging random menuju topik kesukaannya, paduan suara. Jujur, aku sama sekali tidak mengerti tentang paduan suara. Bahkan tentang musik secara umum pun aku tidak terlalu mengerti. Aku tipe yang menilai lagu dari liriknya bukan dari musiknya, karena aku tidak paham musik. Guru musik di SMP-ku dahulu saja menyerah mengajariku begitu tes vokal dan aku sudah fals di Re.

“Hari Sabtu ini aku akan tampil di konser paduan suara kampusku, lho. Kamu nonton, dong!” ujar Dita dengan penuh semangat.

“Sabtu?”

“Iya. Sabtu. Biasanya, kan, kamu bilang nggak bisa nonton karena ngejar deadline lah, bantuin dosen rekap nilai lah, dan seribu satu alesan lainnya. Nah, kali ini konsernya Sabtu. Kuliah libur, besoknya juga libur. Pasti bisa, dong, kamu?”

“Hm ….” aku berpikir.

“Ih, pake acara mikir lagi.” gerutu Dita.

“Kampus kamu jauh, Dit. Seriusan, deh. Kalau deket, sih, aku ayo-ayo aja.” ucapku.

Dita tersenyum mendengar ucapanku itu.

“Memangnya siapa yang bilang konsernya di kampusku?”

“Lho? Memangnya konsernya di ma—”

“Konsernya di Gelanggang Remaja! Jalan kaki dari sini cuman 15 menit.” Dita menjawab bahkan sebelum aku sempat menyelesaikan pertanyaanku.

Aku ber-oh-ria mendengarnya.

“Ya udah, aku nonton.” ujarku kemudian.

Yes! Beli tiketnya di aku, ya? Murah, kok. Cuman 50 ribu.”

“Hah? 50 ribu?”

“Iya. Murah, kan?”

“50 ribu? Cuman buat denger sekumpulan mahasiswa nyanyi?”

“Ih, gak gitu, Fa. Kami ini, kan, latihan serius sama pelatih yang emang profesional. Paduan suara kampusku top punya, tau! Tahun lalu itu kami pernah dapet medali perak di Jepang. Tiket 50 ribu, mah, murah. Biasanya, nih, ya, tiketnya itu har—”

“Oke. Stop. Iya, aku ngerti.” aku memotong ucapan Dita sebelum ini menjadi kuliah 3 SKS mengenai paduan suaranya itu.

“Terus sekarang aku kasih duitnya ke kamu? Jadi aku turun dulu ke bawah, keluar rumah, jalan kaki lima langkah ke rumah kamu, terus ketok-ketok pintu sampai kamu keluar?” sambungku.

“Nggak usah. Kamu bayar di tempat aja nanti. Nanti aku bilangin ke anak ticketingnya buat misahin tiket kamu, nanti kamu tinggal sebut nama aku aja.” jawab Dita.

Aku mengangguk. Baguslah, aku pun malas sebenarnya untuk keluar rumah lagi hanya untuk urusan seperti ini. Tetapi kalau dipikir-pikir, aku tidak pernah melihat Dita selain waktu tengah malam di balkon seperti sekarang ini. Lucu juga, ya. Padahal tetangga, tetapi tidak pernah bertemu di luar rumah. Papasan saja tidak pernah sepertinya.

“Ngelamunin apa? Lagi ngebayangin aku pake dress terus nyanyi dengan merdunya, ya?” ucap Dita menggodaku.

“Sebenernya, sih, nggak. Tapi karena diomongin, jadi kebayang, deh, sekarang.” jawabku santai.

“Jangan dibayangin. Nanti kamu jadi suka lagi.” ledeknya.

Aku tersenyum. ‘Kayanya, sih, iya ’, ingin rasanya kujawab demikian. Tetapi suasananya pasti akan jadi sangat canggung kalau aku jawab begitu. Dan, sedikit pembelaan dariku, aku tidak tahu apa aku suka dengan Dita atau tidak. Tertarik? Iya. Ingin lebih kenal? Iya. Suka? Bisa jadi, bisa jadi iya bisa jadi tidak. Siapa tahu aku hanya tertarik saja karena jadi ada teman di rumah, kan? Maklum, aku ini anak tunggal dengan orang tua yang dua-duanya sibuk kerja. Jadi sudah bosan sendirian di rumah.

Dita terus meledekiku sementara aku hanya menanggapinya sesekali. Dan tanpa kita berdua sadari, malam berlalu begitu saja. Cahaya tipis dari matahari sudah mulai terlihat, perlahan menyibak kegelapan malam. Aku dan Dita saling menatap. Tidak ada kata-kata “Sampai ketemu besok malam.” atau “Selamat tidur.” di antara kami. Hanya ada seulas senyum tipis, seolah kami berkomunikasi tanpa kata. Kami berpisah tanpa kata, kembali ke kamar masing-masing untuk tidur barang 1-2 jam sebelum kembali melanjutkan aktivitas masing-masing.

***

“Satyaloka?”

Seorang perempuan berambut pendek bertanya kepadaku. Dia sedang duduk di sampingku. Terlihat ada sepiring ketoprak dan satu gelas teh hangat tersaji di meja di depannya. Sedangkan aku sendiri hanya makan sebungkus roti keju. Ya, kami ada di kantin kampus. Dan dia adalah sepupuku yang kebetulan kuliah di kampus yang sama. Namanya Metta Eka Putri.

“Iya.” jawabku sambil menggigit roti keju.

“Em … Seinget gue, sih, Satyaloka gak ikut ke Jepang, deh, pas taun lalu itu.” ucapnya sambil menyuapkan sesendok penuh ketoprak ke mulutnya.

“Masa, sih? Lo salah inget kali.”

“Yeh, gini-gini gue anggota paduan suara juga, Fa. Tapi gue gak yakin-yakin amat juga, sih. Gue cek, deh.” ucapnya sambil sibuk mengetikkan sesuatu di smartphonenya.

Selang beberapa detik kemudian, dia menyodorkan smartphonenya ke arahku. Aku lihat layar smartphonenya. Terlihat dia membuka portal berita. Isi berita yang ditampilkan mengenai ajang perlombaan paduan suara tingkat mahasiswa/i yang diselenggarakan di Jepang. Beritanya menitikberatkan pada pencapaian salah satu kampus dari Indonesia yang berhasil memenangkan medali perak di ajang perlombaan tersebut.

[PERGURUAN TINGGI ARIYA SACCA HARUMKAN NAMA BANGSA DI KANCAH INTERNASIONAL]

Begitu headline beritanya. Hm? Ariya Sacca? Bukan Satyaloka?

“Tuh, bukan Satyaloka, kan?” ucap Metta.

“Iya. Apa gue salah inget nama kampusnya? Tapi Satyaloka sama Ariya Sacca beda jauh, sih. Masa iya gue ketuker antara dua itu.” aku bergumam heran.

“Ya …, lo tanya langsung aja ke orangnya nanti.”

Aku mengangguk, tanda menyetujui sarannya itu.

“Tapi, ya, Fa, seinget gua, sih, paduan suaranya Satyaloka gak bagus-bagus amat. Kalau dibandingin sama kampus kita yang gembel, sih, jelas lebih bagus. Tapi gak sebagus itu sampai bisa lolos seleksi lomba tingkat internasional.” terang Metta.

“Tapi buat apa juga dia boong ke gue, Ta?”

“Ya mana gue tau. Cuman mau pamer kali? Mau keliatan keren gitu.”

“Sampai bener gitu, sih, asli gak penting banget ….”

“Fa, gak semua orang suka ngegembel kaya lo. Orang normal, tuh, pasti mau keliatan keren. Boong-boong dikit, mah, biasa.” ujar Metta santai.

“Gue gak suka ngegembel.” kataku, sedikit tersinggung dengan ucapannya.

“Tapi lo kaya gembel. Rambut berantakan gak nyisir, ke mana-mana cuman pake kaos sama celana lusuh, gak pernah pake sepatu lagi. Gue penasaran, deh, kok, lo gak dimarahin, sih? Kan, aturan kampus kita itu mahasiswa harus pake kemeja atau minimal baju berkerah, plus sepatu.” ucap Metta sambil memperhatikanku dari ujung kepala sampai ujung kaki.

“Ya elah, Ta. Gak penting itu. Gue, kan, ke kampus buat belajar, buat nyari ilmu. Ngapain rapi-rapi kaya mau ke kantor camat gitu?" ucapku santai.

“Emang lo gak pernah dimarahin sama dosen apa?”

“Pernah. Pas awal-awal masuk. Begitu nilai keluar, dosen gak ada yang komentar lagi soal penampilan gue.”

“Oh iya, si mahasiswa teladan. Yang digadang-gadang bakal cum laude. Intinya, lo dapet privilege karena pinter?”

Aku hanya tersenyum kecil. Sebenarnya aku agak tidak enak untuk mengakuinya, tetapi itulah faktanya. Tetapi menurutku memang seharusnya kampus tidak mengatur penampilan mahasiswanya. Untuk apa? Biar kelihatan rapi? Kelihatan keren? Alah, banyak yang pakaiannya rapi seperti itu tetapi kerjaannya korupsi, kok.

“Cih, enak, ya, kalau pinter.” Metta mendecak.

“Gue gak ngerasa pinter, sih. Gue rajin aja. Rajin nanya, rajin assistensi, rajin revisi. Gak kaya seseorang yang kerjaannya ngeluh mulu terus baru, deh, beneran ngerjain tugasnya mepet deadline. Udah gitu gak diassistensi sama males ngerjain revisi lagi. Siapa, ya?” sindirku.

“Ngeluh sama males itu wajar buat mahasiswa.” jawab Metta dengan entengnya.

“Wajar juga dapet nilai jelek kalau gitu.”

“Ya, tergantung. Kalau gak assistensi, gak revisi tapi tugasnya tetep bagus, ya, harusnya nilainya tetep bagus, dong.” Metta tampak tidak terima.

“Justru karena gak assistensi sama gak revisi makanya tugas lo jelek.”

“Dih, enak aja. Tugas gue masih bagus, ah.”

“Bagus menurut lo. Jelek menurut dosen.”

“Tapi emang bagus, Fa! Tugas gue itu ….”

Ah, ini susahnya ngobrol dengan mahasiswa yang merasa dirinya sudah hebat, yang merasa tidak perlu mendengarkan dosen. Selalu tidak mau terima kalau dirinya salah. Selalu menyalahkan hal eksternal, entah deadlinenya terlalu mepet lah, tugasnya terlalu susah lah, dosennya tidak menjelaskan dengan baik lah. Kebanyakan alasan. Padahal etos kerjanya saja yang buruk. Mahasiswa seperti ini, nih, yang biasanya jadi mahasiswa abadi.

Metta terus berbicara panjang lebar sementara aku sudah berhenti mendengarkannya dari kalimat yang kedua. Pikiranku melayang-layang, ke Dita dan paduan suaranya. Masa, sih, dia bohong? Tetapi untuk apa? Atau memang aku salah ingat nama kampusnya?

***

“Ih, apa, sih? Bener, kok, paduan suara kampusku menang medali perak di Jepang taun lalu.” ucap Dita, nada bicaranya sedikit tersinggung.

“Tapi di berita yang tadi aku baca itu yang menang medali perak itu kampus Ariya Sacca, Dit.”

“Portal beritanya salah berarti. Harusnya kampus aku itu, Satyaloka.”

Aku hanya terdiam, bingung harus menjawab seperti apa. Portal berita yang tadi ditunjukkan Metta sebenarnya portal berita yang cukup terpercaya, jadi aku ragu kalau terjadi kesalahan seperti itu.

“Ngomong-ngomong, tadi aku nyoba cari website pameran virtual yang sempet kamu ceritain. Gak nemu, tuh.” Dita mengubah topik pembicaraan.

“Masa, sih? Udah bener ejaannya?” tanyaku.

Website yang dia maksud ini website pameran karya mahasiswa DKV kampusku. Semua mahasiswa DKV yang masih aktif (dipaksa) menyumbangkan karyanya untuk dipamerkan. Untuk apa? Tentu saja untuk menaikkan gengsi kampus. Pamerannya sendiri ada yang diselenggarakan secara offline di aula kampusku. Website itu lebih seperti perpanjangan dari pamerannya saja, untuk menjangkau lebih banyak audiens.

“Udah. Swakala.com, kan?” tanya Dita memastikan.

“Iya.” jawabku.

“Nggak nemu, Fa.”

“Keluarnya apa?”

This site can’t be reached.”

“Hm ….”

Aku mengambil smartphoneku dari dalam saku celanaku. Aku lalu membuka browser dan mengetikkan website pameran kampusku itu. Setelah loading beberapa detik, website itu terbuka. Terlihat beberapa karya di layar smartphoneku. Aku mengernyitkan dahi lalu menunjukkan layar smartphoneku ke Dita.

“Ini bisa, kok.” ucapku.

“Bentar, aku coba lagi, deh.”

Dita lalu mengeluarkan smartphonenya dari saku celananya lalu melakukan apa yang tadi kulakukan. Tetapi hasilnya berbeda. Dia menunjukkan layar smartphonenya kepadaku. Putih polos dengan tulisan: This site can’t be reached.

“Tuh, gak bisa di aku.” ujarnya.

Aku melihat layar smartphoneku dan layar smartponenya bergantian. Website yang sama tetapi dengan dua hasil yang berbeda.

“Kok, gitu, ya?” tanyaku heran.

“Ya, mana aku tau, Fa.”

“Internet kamu bermasalah kali?”

“Nggak, kok.”

“Hm … Coba sini kuliat, deh.” ucapku.

“Boleh. Ya udah, ketemuan di bawah aja.”

“Eh? Gak usah. Siniin aja smartphonenya.” ucapku.

Aku malas sekali turun ke bawah lalu keluar rumah hanya untuk hal seperti ini.

“Gimana caranya? Kan, tanganku gak sampe ke balkon kamu.”

“Lempar?” tanyaku polos.

“Nggak. Iya kalau ketangkep, kalau nggak, kan, jadi aku yang rugi.” tolak Dita.

“Ya udah, iya ….” ucapku dengan malas.

Dita lalu terlihat masuk ke dalam kamarnya. Aku menghela napas. Aku lalu berjalan memasuki kamarku dari balkon. Aku lalu keluar dari kamarku dan menuruni tangga menuju lantai 1 rumahku. Sepi. Ya, wajar saja mengingat ini sudah larut malam. Aku mengambil kunci rumah dari rak di ruang keluarga lalu berjalan ke depan rumah. Aku memakai sendal, membuka kunci pintu, lalu keluar dari rumah. Kutengok ke kiri, ke depan rumah Dita. Kosong.

“Dit? Dita?” panggilku.

Tidak ada jawaban. Aku lalu bersender ke pagar rumahku. Dingin. Mengapa Dita lama sekali, sih, keluar rumahnya? Aku mendongak ke atas, melihati langit malam. Malam ini bulan tertutup awan. Suasana gelap dan hening.

5 menit berlalu. Aku mulai bimbang, tetap menunggu atau kembali masuk ke dalam rumah. Di tengah kebimbanganku, smartphoneku bergetar. Ada telepon masuk dari Dita. Aku dan Dita memang pernah bertukar kontak, tetapi kami sebelumnya tidak pernah chat atau telepon.

Aku mengangkat teleponnya.

“Halo?” ucapan khas di awal sesi telepon. Sebenarnya asal usul kata ‘halo’ ini dari mana, ya?

“Kamu di mana, Fa? Aku dari tadi udah di depan, nih.” tanya Dita.

“Hah? Aku juga dari tadi udah di depan.” jawabku, bingung.

Aku refleks menoleh ke depan rumah Dita. Masih tetap kosong.

“Coba video call, deh.” ucap Dita.

Aku lalu mengganti dari telepon jadi video call. Terlihat muka Dita di layar smartphoneku. Kuamati latar di belakangnya. Ya, itu persis rumahnya, yang ada di samping rumahku ini.

“Lho? Kamu udah di depan? Tapi, aku gak liat siapa-siapa di depan rumah kamu.” ucap Dita, bingung.

“Aku juga gak liat siapa-siapa di depan rumah kamu.”

Kami berdua sama-sama kebingungan. Nyatanya, kami sungguh ada di depan rumah kami masing-masing. Tetapi bagaimana bisa kami tidak dapat melihat satu sama lain?

Di tengah kebingungan ini, seorang pria tua berjalan melewatiku. Dia mengenakan kemeja lusuh dan membawa tas laptop. Raut mukanya tampak merah. Langkahnya tidak teratur dan agak gontai. Dia bergerutu tidak jelas. Aku cukup yakin dia ini sedang dalam kondisi mabuk. Sepertinya mabuk sehabis kerja. Dia melirikku sekilas lalu melewatiku begitu saja.

Aku terdiam sejenak. Lalu dengan penuh keraguan aku bertanya kepada Dita.

“Dit, kamu liat bapak-bapak mabuk yang lewat tadi gak?” begitu tanyaku.

Dita tampak mengernyitkan dahi.

“Bapak-bapak mabuk? Ngomong apa, sih, kamu? Dari tadi gak ada yang lewat, paling cuman kucing.” jawabnya.

Aku kembali terdiam.

“Fa, ini aneh, deh. Ini—”

“Kita coba balik ke balkon.” ucapku memotong Dita.

Belum sempat Dita menjawab, aku sudah memutuskan video callku dengannya. Aku kembali masuk ke dalam rumah, tidak lupa mengunci pintunya kembali, dan bergegas naik ke lantai 2. Aku masuk ke dalam kamarku dan segera menuju balkon. Aku melihat ke arah balkon Dita.

Beberapa detik kemudian, Dita keluar dari kamarnya dengan tergesa-gesa. Dia melihatku. Kami berdua saling bertatapan dalam diam. Bagaimana bisa?

“Ini aneh banget, sih.” ucap Dita memecahkan keheningan di antara kami.

“… Aku ada dugaan soal ini. Tapi gak tau bener apa nggak.” ucapku, ragu.

“Apa?” tanyanya.

“… Kamu tau atau pernah denger soal dunia paralel?” aku bertanya balik.

“Tau. Emangnya ke— Tunggu. Jangan bilang maksud kamu itu ….”

Aku mengangguk.

“Mungkin gak, sih, kalau ternyata kita ada di dua dunia paralel yang beda?” tanyaku.

“Kaya di film-film luar gitu?” Dita tampak tidak percaya.

Wajar saja. Aku sendiri pun tidak percaya dengan pertanyaan yang terlontar dari mulutku itu.

“Aku berani sumpah, tadi ada bapak-bapak mabuk yang lewat di depan rumah kita. Justru gak ada kucing yang lewat, Dit.” ujarku.

“… Aku nggak bisa buka website pameran kampus kamu itu juga karena di duniaku ini memang tidak ada websitenya? Memang kampus kamu itu nggak bikin pameran di sini?" Dita tidak dapat menyembunyikan ketidakpercayaannya.

“Di berita yang kubaca itu yang menang medali perak kampus lain juga karena memang kampus kamu di sini gak menang … Kalau begitu, semua jadi masuk akal, kan, Dit?” tanyaku, tentu masih dengan keraguan yang tidak dapat kusembunyikan.

“Nggak, Fa. Ini nggak masuk akal. Dunia paralel, tuh, cuman ada di film, komik, atau novel, Fa. Di cerita fiksi, cerita karangan.”

“… Kalau dipikir lagi, aku nggak pernah ketemu kamu selain malam hari di balkon kaya sekarang ini, Dit. Pagi, siang, sore nggak pernah, tuh, aku ketemu kamu. Padahal kita tetanggaan.” ucapku.

“Sama. Tapi tetangga gak pernah ketemuan, kan, bisa-bisa aja, Fa. Apalagi di jaman sekarang, di jaman orang kerjaannya cuman di rumah aja maen media sosial atau nonton OTT.” Dita masih berusaha melogikakan.

“Bentar. Aku pernah beberapa kali ngeliat yang tinggal di rumah sebelah, yang harusnya rumah kamu. Orangnya agak gemuk, rambutnya bergelombang, pake kacamata. Ayah kamu gitu gak?” tanyaku.

“Hah? Nggak. Di rumahku gak ada yang pake kacamata. Gak ada yang rambutnya bergelombang juga, semuanya lurus kaya rambutku gini.” jawab Dita.

Aku terdiam.

“Eh, aku juga beberapa kali liat di depan rumah kamu itu ada anak perempuan yang lagi asyik main. Biasanya masih pake seragam SD juga. Itu adik kamu?” kali ini Dita yang bertanya.

“Dit, aku ini anak tunggal.” jawabku.

Dita terdiam.

“… Kalau memang bener kita ini dari dua dunia paralel yang beda, kenapa kita bisa ketemu di sini? Bisa saling liat, saling ngobrol. Kenapa?” tanya Dita.

“Aku nggak tau ….” jawabku jujur.

“Apa spesialnya balkon kita ini? Kenapa kita cuman bisa ketemu di sini?” Dita masih terus bertanya.

Aku tiba-tiba terpikirkan sesuatu. Aku ragu, tetapi sepertinya ini menarik untuk dicoba.

“Dit, kaya yang aku bilang tadi, aku gak pernah ketemu kamu selain malam hari di balkon. Nggak cuman tempatnya spesifik di balkon, tapi waktunya juga. Malam hari. Gimana kalau besok kita coba ke balkon di jam yang sama tapi pas siang atau sore?” usulku.

“… Boleh. Jam 3 sore gimana?”

“Oke.”

***

Aku sudah mencari tahu. Kampus Satyaloka memang memiliki kelompok paduan suara, tetapi, seperti kata Metta kemarin, kemampuannya tidak sebaik itu sampai dapat lolos seleksi lomba tingkat internasional. Kampus Satyaloka ini lebih terkenal karena teaternya daripada paduan suaranya. Website pameran kampusku pun ternyata tidak bermasalah sama sekali. Semuanya lancar dan aman terkendali.

Dan setelah tanya-tanya ke orang tuaku dan beberapa warga lain, yang tinggal di sebelah rumahku itu masih bujangan. Pria agak gemuk dengan rambut bergelombang dan berkacamata itu masih bujangan. Dia tinggal sendirian. Itu pun dia hanya ngontrak karena kantornya dekat sini.

Sejujurnya, aku tidak merasa aku dan Dita hidup di dua dunia paralel yang berbeda itu sesuatu yang logis dan masuk akal. Tetapi aku tidak menemukan penjelasan lain lagi. Sekarang aku hanya ingin memastikan bagaimana pastinya aku dan Dita dapat bertemu.

Aku sudah stand by di balkon. Jam menunjukkan pukul 14:58. Seharusnya 2 menit lagi aku akan bertemu dengan Dita. Tetapi entah mengapa intuisiku mengatakan bahwa aku tidak akan bertemu dengan Dita di sore ini. Dan biasanya, intuisiku jarang salah.

***

“Sepertinya memang harus di jam 23:59 di balkon ini, ya? Aku udah nunggu sejam di sini, tetapi baru pas 23:59 aku bisa liat kamu.” ucapku.

Dita menatapku tidak percaya.

“Kamu gak sembunyi dulu terus baru muncul pas jam 23:59, kan, Fa? Aku juga dari tadi udah di sini, tapi gak liat siapa-siapa di balkon rumah kamu itu.”

Aku menggelengkan kepala.

“23:59 di balkon. Kayanya spesifik begitu.” gumamku.

“… Ini aneh banget. Jujur, aku masih nggak percaya.”

“Dit, tadi aku cari tau soal kampus kamu. Dan hasilnya beda dari yang selama ini kamu ceritain. Kamu bilang teater kampus kamu kurang bagus dan paduan suaranya yang bagus, tapi yang kudengar justru kebalikannya.” ucapku.

“Sama. Aku juga cari tau soal kampus kamu. Dan beda sama cerita kamu juga. Kalau dari cerita kamu itu DKV keliatan kaya jurusan yang paling aktif, kalau dari yang kudengar justru kebalikannya.” ujar Dita.

Kami lalu terdiam.

“… Fa, aku boleh jujur sama kamu?”

“Jujur apa?” tanyaku.

“Aku … Aku suka sama kamu, Fa.” ucap Dita.

Aku tertegun mendengarnya. Pipi Dita merona merah. Dia tampak sedikit menunduk. Aku berusaha menguasai diriku. Ada sedikit keraguan dalam pikiranku, tetapi hatiku sudah berkata lain.

“Dit, aku juga suka kamu.” jawabku.

Ugh, aku tidak pernah tahu ternyata mengungkapkan perasaan itu rasanya campur aduk seperti ini. Ada rasa ragu, takut akan penolakan, senang karena akhirnya bisa jujur, tetapi juga malu luar biasa. Aku bisa merasakan pipiku juga merona merah seperti Dita.

Aku melihat Dita. Ruat mukanya tampak senang, tetapi juga sedih atau mungkin bingung. Aku menghela napas.

“Tapi, Dit, kita gak bisa kaya gini. Kita gak bisa cuman ketemu tiap tengah malem di balkon gini.” ujarku tegas.

“Aku tau, Fa ….” jawab Dita lirih.

“Makanya, aku akan cari kamu. Aku akan cari kamu yang hidup di dunia yang sama denganku. Yang bisa aku temuin kapan aja aku mau.” lanjutku.

“Maksu—“

“Kamu juga carilah aku. Cari aku yang hidup di dunia kamu itu. Tenang aja, aku pasti juga ada di dunia kamu, sama kaya kamu pasti ada di dunia aku.”

“Tapi yang aku suka itu kamu, Fa. Kamu yang sekarang aku liat.” ucap Dita.

“Aku tau. Tapi, Dit, percaya sama aku. Aku yang ini atau aku yang entah di mana di dunia kamu itu, itu aku yang sama. Rufa Ruffini yang sama.” aku berusaha meyakinkan Dita.

“Tapi, Fa. Gima—”

“Dit, percaya sama aku. Aku juga bakal percaya sama kamu. Percaya kalau Dita yang sekarang ada di hadapan aku sama Dita yang entah di mana di duniaku ini, itu Dita yang sama. Dita yang aku suka.”

Dita terdiam.

“Ya … Mungkin nanti kita harus kenalan ulang. Ngobrol lagi dari awal. Mulai ngakrabin diri lagi. Tapi aku percaya, aku pasti bakal jatuh hati lagi sama kamu, Dit.” ucapku sambil tersenyum.

Dita hanya mengangguk pelan.

“Fa, cari aku, temuin aku, terus bahagiain aku yang di dunia kamu itu. Janji?” ucapnya pelan.

“Janji.” kataku tanpa ragu.

***

Semenjak malam itu, aku tidak pernah lagi ke balkon. Aku beli gembok lalu menggembok balkon kamarku. Kuncinya sengaja aku buang ke sungai di dekat kampusku. Ini bukti tekadku, kalau aku tidak akan kembali ke balkon itu. Kalau aku tidak akan bergantung kepada Dita.

Sekarang, aku berdiri di depan gerbang masuk kampus Satyaloka. Mahasiswa berlalu lalang melewati gerbang, ada yang masuk, ada pula yang keluar. Aku memperhatikan mereka. Beberapa saat kemudian, aku melihat sosok yang amat kukenal, sosok yang amat kurindukan. Dita. Aku lalu melangkah menghampirinya.

Aku menepuk pundaknya. Dia menoleh lalu menatapku dengan bingung.

Sorry. Siapa, ya?” tanyanya.

Aku tersenyum.

“Salam kenal. Namaku Ruffa. Ruffa Ruffini.” aku memperkenalkan diri sambil menjulurkan tangan.

Dia tampak bingung.

“Oh, eh, iya … Aku Mudita. Mudita Pundarika.”

Dia lalu menjabat tanganku.

“Salam kenal.”

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Romantis
Komik
Happines room
×_×
Cerpen
23:59
Billy Yapananda Samudra
Novel
Bronze
Love is Dangerous
Juya
Novel
Tawa di Antara Sejuta Lara
Evika Dewi Susana
Flash
Bronze
Ziarah
Afri Meldam
Flash
Smile on My Face
R Annisa
Skrip Film
The Last Bougenville
Diah Pitaloka
Novel
Bronze
Teman Kontrak
Wardatul Jannah
Cerpen
Yang Mengutuk Diri Kita
Fazil Abdullah
Novel
Bronze
Love Speedometer
Kyna Nixie
Flash
MATAHARIKU
Voni lilia
Novel
Gold
Drama
Bentang Pustaka
Novel
Gold
Asa Ayuni
Falcon Publishing
Novel
Balada Perawan Tua
Da Pink
Novel
Asa yang Tersisa
Awang Nurhakim
Rekomendasi
Cerpen
23:59
Billy Yapananda Samudra
Komik
Kenangan
Billy Yapananda Samudra
Komik
Prabhasvara
Billy Yapananda Samudra
Novel
Ambang Eksistensi
Billy Yapananda Samudra
Skrip Film
Apa Aku Boleh Bahagia?
Billy Yapananda Samudra
Komik
Memories
Billy Yapananda Samudra
Cerpen
PEDAGOGI
Billy Yapananda Samudra
Novel
Salvatrice
Billy Yapananda Samudra
Cerpen
HALTE
Billy Yapananda Samudra
Cerpen
Seorang Asing
Billy Yapananda Samudra