Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Preview: Setelah orang tuanya menjadi korban penipuan investasi dan hukum tak kunjung menegakkan keadilan, Dygta Pramudya memutuskan turun tangan sendiri. Dari jejak samar yang diikuti, ia pun tiba di Arthanagarapura, kota yang nyaris tak terdengar di peta—tempat di mana tidak ada penegak hukum, tidak ada pengadilan, dan tidak ada larangan tertulis.
===============
Bab 1: Luka Tanpa Pengadilan
Ketika hukum tak memberi penyelesaian, Dygta menyadari ia harus berjuang sendiri. Penipuan investasi telah merampas 1,3 miliar rupiah—tabungan seumur hidup orang tuanya. Tidak ada penyelidikan. Tidak ada penangkapan. Hanya sunyi, dan nasihat untuk “mengikhlaskan” dari mereka yang seharusnya berpihak.
Dygta sebenarnya tak ingin menaruh prasangka. Namun, ada hal ganjil yang membelit pikirannya: siapa yang bermain di balik layar, dan mengapa rasa keadilan seolah tak mampu menjangkaunya.
Berbekal secarik kertas di lembar formulir yang ditandatangani orang tuanya, Dygta bergegas ke terminal. Ia menumpangi bus ke arah selatan Kota Jakarta. Rute yang dilalui membelah kawasan padat di Lenteng Agung, menyusuri jalan-jalan menurun di Jagakarsa, hingga memasuki wilayah perbatasan yang mulai sepi menjelang daerah Ciseeng.
Di luar jendela, lanskap mulai berubah: gedung-gedung mengecil, berganti rumah-rumah berpagar rapat, lalu memudar menjadi persawahan dan semak liar. Semakin jauh dari pusat kota, jalanan terasa asing—tidak ada papan nama, tak satu pun penanda digital.
Dygta tidak tahu pasti ke mana ia menuju. Nama kota yang ia cari bahkan tidak tercantum dalam peta mana pun. Namun, ia hafal betul satu nama jalan yang tertera samar di sudut bawah formulir: Jalan Khatulistiwa Timur—sebuah alamat yang terdengar ganjil, seperti diciptakan dari mimpi buruk birokrasi.
Setelah menempuh dua jam perjalanan, sopir bus menurunkan Dygta di sebuah jalan sepi yang tampak bagaikan ujung peradaban.
“Sampai sini aja, Mas,” ucap sang sopir. “Kalau mau lanjut, bisa naik ojek pangkalan di seberang.”
Dygta terdiam sejenak. Ia amati setiap sudut. Tak ada satu pun ciri yang mengarah pada tempat yang ia cari.
“Kota?” gumam Dygta, alisnya berkerut. “Tapi tak ada kota di sini. Tak ada gapura, tak ada plang nama, bahkan tak ada penanda apa pun.” Ia menoleh ke sekeliling—jalan mulus terbentang sunyi, bangunan berdiri dengan jarak yang berjauhan, seakan sengaja dipisahkan satu sama lain. “Atau mungkin ini hanya kompleks perumahan besar?” lanjutnya pelan. “Tapi kalau begitu…. kenapa terasa seperti tempat yang sengaja disembunyikan?"
Seorang tukang ojek menghampiri Dygta. Tanpa basa-basi ia langsung menawarkan jasa. “Ke Arthanagarapura, ya, Mas? Ayo! Murah aja, cuma lima puluh rebu,” katanya, melemparkan senyum.
Dygta tertegun—tak langsung menjawab. Menimbang, dan heran bagaimana tukang ojek itu bisa membaca pikirannya.
Akan tetapi, semakin lama berdiri, semakin banyak waktu terbuang percuma. Dygta naik ke motor, dan meminta helm. Si tukang ojek tertawa, seolah pemintaan Dygta hal yang konyol.
“Buat apa helm, Mas? Di sini nggak bakalan ada yang nilang,” ujar si tukang ojek, terkekeh. “Kepala Mas juga akan aman-aman aja, kok. Kemampuan berkendara saya sudah se-level dengan Valentino Rossi,” sambungnya.
Dygta menghela napas. Lelucon itu membuatnya tidak nyaman. Padahal, ada tanya yang ingin ia sampaikan. Tanya yang mengetuk benaknya sejak memulai perjalanan ini.
Perlahan, jalan sempit melebar, menyatu dengan aspal yang jauh lebih bagus. Bangunan-bangunan tinggi nan megah tampak menjulang ke langit. Keramaian kian terasa membelalakkan mata serta logika. Terlalu teratur untuk disebut liar, tetapi terlalu bebas untuk disebut tertib. Suatu pemandangan yang sangat kontras dengan yang ada di dalam bayangannya.
“Selamat datang di tempat yang paling menyenangkan di dunia. Semoga betah, ya, Mas,” ucap si tukang ojek, mengembangkan bibir. Kemudian, ia berlalu setelah menerima upah jasanya.
===============
Bab 2: Kota yang Tak Pernah Ada
Dygta tercengang. Ia tak menyangka Arthanagarapura benar-benar hadir sebagai kota—bukan sekadar nama samar di selembar formulir. Awalnya, ia kira itu hanya julukan bagi sebuah kompleks perumahan elit. Ternyata, tidak. Tempat ini melampaui semua dugaannya.
Wilayahnya terbentang luas. Jalanan bersih mengilap, bangunan menjulang rapi dengan arsitektur modern. Teknologi canggih menyapa di berbagai sudut: dari lampu yang menyala mengikuti gerak mata, hingga kendaraan yang berjalan senyap tanpa terlihat ada pengemudinya.
Rasanya sulit memercayai segala yang tersaji di depan mata. Dygta merasa seakan sedang berdiri di tengah mimpi. Mimpi yang terlalu nyata untuk dipercaya, tetapi terlalu ganjil untuk diabaikan.
Dygta mengayunkan kaki beberapa langkah. Ia pun menyadari ada yang hilang. Sesuatu yang absen total dari sebuah tata kota.
“Mengapa tidak ada rambu, tidak ada petugas, ataupun suatu bentuk pengaturan terhadap lalu lalang warga yang melintas di jalanan?” pikirnya.
Namun, alih-alih menemukan arah, Dygta justru terjerumus dalam perenungan yang lebih dalam. Pandangannya terus meneliti, mengikuti derapnya yang makin menjauh dari maksud awal. Ia bak tenggelam dalam ritme Arthanagarapura—nyaris melupakan alasan utama kedatangannya ke tempat ini.
Setelah beberapa ratus meter, lelah membawa Dygta ke sebuah kafe terbuka yang sepi. Bangkunya terbuat dari material transparan yang memantulkan warna langit sore. Di sekelilingnya, tanaman tumbuh rapi dalam pot-pot melayang , seperti diatur oleh gravitasi buatan. Tidak ada pelayan berseragam. Tidak ada pula suara “selamat datang” yang biasanya terdengar menyambut pengunjung.
Semua pesanan dilayani oleh mesin berbentuk manusia—android berwajah datar dengan layar kecil berkedip di bagian pelipis. Mereka bergerak luwes, hampir menyerupai manusia sungguhan. Hanya saja, sorot matanya kosong dan senyum yang ditampilkan tidak memiliki rasa.
Secangkir kopi tiba, ditebus dengan lima puluh ribu rupiah—terlalu mahal untuk rasa yang biasa, terlalu murah untuk pengalaman yang membingungkan. Semua mata uang diterima, kecuali mungkin…. logika.
Dygta menelisik setiap sisi. Matanya awas, memperhatikan raut-raut yang melintas. Sibuk dan tertutup. Tak ada yang menampilkan sinyal bersahabat untuk didekati.
Tak lama, seorang pria tua duduk berselang beberapa meja dari Dygta. Pria itu lalu membuka buku tebal berjudul Kontrak Sosial Tanpa Tinta. Dygta pun menghampiri, berharap menemukan keramahan.
Pria itu tersenyum—mempersilakan Dygta duduk di depannya. “Tak mudah mencari seseorang di sini,” ujarnya.
Dygta terperangah. Dari sopir bus, tukang ojek, hingga pria tua di hadapannya—semuanya bisa mengenali maksud kedatangannya. Padahal, ia belum mengucapkan sepatah kata pun tentang tujuan sebenarnya.
“Saya belum mengatakan apa pun. Bagaimana Bapak bisa tahu?” tanya Dygta.
Pria itu menutup bukunya dengan satu tepukan pelan. Tatapannya mengunci mata Dygta, seolah mengukur keberanian di balik dada pemuda itu.
“Kamu bukan warga sini,” ucapnya dengan nada netral, tetapi menghantui.
“Dan sudah menjadi sebuah pola…. bahwa setiap yang datang ke Arthanagarapura, pasti sedang mencari seseorang.”
Dygta menahan napas. Kalimat itu menghantamnya lebih keras daripada yang ia harapkan.
“Karena kota ini tak pernah memanggil. Ia hanya menerima.” Pria itu menyandarkan tubuhnya ke kursi, memutar cangkir kopinya yang kosong. “Kamu tak mungkin masuk ke sini karena kebetulan. Ada sesuatu yang membawamu, bukan?”
“Ya, penipu itu,” tegas Dygta. “Saya ingin dia mengembalikan apa yang dia curi dari orang tua saya,” imbuhnya dengan tangan mengepal.
===============
Bab 3: Sketsa Tak Berwajah
Pria tua itu mengeluarkan selembar kertas usang dari balik buku yang ia tutup tadi. Di kertas itu, tergambar sketsa wajah seseorang yang samar. Sketsa yang nyaris seperti dirinya sendiri.
“Kamu pikir dengan datang ke sini, pelaku itu akan kamu temukan.” Pria itu tertawa kecil. “Terkadang, dalam kota seperti ini…. yang paling sulit ditemukan adalah…. dirimu sendiri.”
Dygta menegang. “Apa maksud, Bapak?”
Pria itu mencondongkan tubuh ke depan.
“Arthanagarapura memiliki data semua tamu yang akan berkunjung. Tempat ini dibangun bukan sekadar untuk persembunyian,” ungkap si pria tua.
Dygta pun tersadar bahwa sejak awal langkah kakinya menginjak kota ini, bukan dia yang mengarahkan pencarian—melainkan dirinya yang sedang diarahkan.
Dygta akhirnya tak tahan. Ia menatap pria tua itu tajam dan berkata, “Tolong tunjukkan di mana orang itu berada.” Nada suaranya tegas. Ia tak sabar lagi.
Namun, pria tua itu hanya menggeleng pelan.
“Percuma,” ucapnya tenang. “Kamu tidak akan mendapatkan apa-apa. Kota ini tidak memiliki hukum—dan tak terikat oleh aturan mana pun.”
Dygta merenggangkan paru-parunya dengan satu tarikan napas. Ia mundur selangkah, tegakkan badan, lalu mengamati lagi penjuru kota secara saksama—mencoba membaca pola di balik kemegahan dan kecanggihan.
Kota ini tidak memiliki hukum, tetapi pasti memiliki penguasa. Dalam setiap kumpulan manusia—entah dalam bentuk negara, geng jalanan, bahkan meja makan keluarga—selalu ada kecenderungan berulang: yang memimpin dan yang dipimpin. Entah lewat konsensus, karisma, atau ketakutan. Dygta menemukan titik itu.
“Kalau begitu, bawa saya ke tempat orang-orang yang tak punya nama, tapi memegang kekuasaan.”
Pria itu tersenyum tipis. “Dewan? Kamu harus dapat undangan. Atau menciptakan alasan yang cukup untuk dipanggil.”
Darah Dygta mendidih. Matanya menyala. Tangannya bergetar, ingin menggebrak meja di hadapan pria itu.
“Sebenarnya apa yang dimiliki kota ini?” suara Dygta meninggi. “Hukum tidak ada? Penguasa bagaikan dewa yang sulit ditemui. Apakah ini hanya omong kosong—tempat para penjahat menetap dan berpura-pura jadi manusia bebas?”
Sunyi memeram sekitar. Hanya suara mesin kopi otomatis yang sesekali berdengung lirih, seperti makhluk yang bernapas.
Pria tua itu tetap tenang. Bahkan lengkungan bibir halusnya tetap mengambang, seolah amarah Dygta adalah bagian dari dialog yang ia tunggu-tunggu.
Sementara itu, Dygta berdiri kaku, menunggu pria itu bicara—atau mungkin, menunggu dirinya sendiri mereda.
“Kami pernah punya hukum,” ujar pria itu, memecah keheningan. “Terlalu banyak malah. Aturan demi aturan tumbuh tak terhitung. Tapi, akhirnya, kami sadar. Selama ada hukum, akan selalu ada pula peluang untuk melanggarnya. Dan ketika seseorang takut karena hukuman, ia tidak benar-benar ingin menjadi baik. Ia hanya pintar menyembunyikan niat buruknya.”
“Lalu? Apa yang membuat orang-orang di sini bisa hidup berdampingan tanpa ada yang mengatur atau yang menjadi acuan sosial?” tanya Dygta. Alunannya merendah dan meragu. Ada bagian dari dirinya yang mulai goyah. Ia bertanya bukan untuk memenangkan percakapan, melainkan mengerti sebuah kondisi.
Pria itu pun berdiri. Ia lalu berjalan dengan mengukur langkah menuju area pembatas kafe—membelakangi Dygta. Pandangannya melambung ke angkasa Arthanagarapura yang mulai bertukar warna.
“Kami menggantinya dengan kesadaran. Kami dididik sejak kecil bukan untuk takut pada akibat, tapi untuk mengerti sebab. Kejujuran, empati, tanggung jawab—itu bukan kata-kata di buku peraturan, melainkan bagian dari kami. Kami tak menyembah hukum, kami membangun kebajikan,” tandas pria tua itu.
Ia menatap Dygta untuk terakhir kalinya—tatapan dalam yang tidak menuntut apa pun, hanya menyampaikan pemahaman. Dalam sekejap, Dygta merasa sedang menatap ulang raut ayahnya—lelah, tetapi tak sepenuhnya padam.
Pria itu lantas bergerak menuju tepi jalan raya. Sebuah mobil hitam tanpa pelat nomor berhenti tepat di depannya. Pintunya terbuka otomatis, seakan sudah tahu siapa yang akan masuk.
Sang teman bicara telah pergi, sementara Dygta masih terpaku—terhenyak oleh kata-kata yang mengguncang keyakinan terdalamnya. Ia merasa seperti seseorang yang dibangunkan dari mimpi panjang—di tempat yang tak dikenali. Ironi pun berjejak di kepalanya, membandingkan kehidupan di mana ia lahir dan menjadii dewasa.
Dygta mengeratkan ransel di punggung. Arthanagarapura menyapanya dengan salam perkenalan yang mengusik nalar, tetapi tujuan utamanya tetap satu: menemukan pelaku penipuan yang mencuri uang orang tuanya.
===============
Bab 4: Perempuan di Bawah Lampu
Dygta memacu langkahnya kembali, mencari seseorang yang bisa memberinya informasi. Sayangnya, setiap wajah yang dilihatnya masih tak ada yang menoleh dua kali. Mereka acuh dan tampak tak tertarik pada keberadaan Dygta.
Sampai akhirnya, Dygta melihat seorang perempuan duduk sendirian di bangku logam di bawah pohon lampu. Tak seperti yang lain, perempuan itu tidak sibuk, tidak cemberut, dan tidak menunduk ke layar apa pun. Ia hanya duduk tenang, menatap lurus ke depan, seolah sedang menunggu sesuatu.
Dygta tersentuh ragu. Namun, motivasi dalam diri menyundut keberaniannya.
“Maaf,” ujarnya dengan suara sedikit bergetar. “Aku mau tanya sesuatu….”
Perempuan itu memutar kepalanya pelan. Matanya tajam, tetapi tidak menghakimi. Bibirnya melengkung sedikit.
“Siapa yang kamu cari?” tanyanya, lugas. “Pembunuh, pemerkosa, perampok… atau penipu?”
Dygta terdiam. Lagi, isi kepalanya mampu terbaca orang lain.
Perempuan itu menyilangkan kaki dan menatap Dygta lekat-lekat. “Arthanagarapura bukan tempat orang datang tanpa maksud. Dan yang datang ke sini, biasanya sedang mengejar bayangan.”
Dygta menghela napas berat. “Orang tua saya telah kehilangan uang. Nilainya tidak sedikit. Saya ingin menemukan orang itu dan meminta dia mengembalikan yang bukan haknya.”
Perempuan itu mengangguk. Ekspresinya datar—tidak terkejut, tidak pula menunjukkan rasa iba.
“Oke…. oke. Aku paham,” ucap si perempuan sambil menepuk lututnya. “Kamu bukan orang pertama yang datang ke sini karena hal seperti itu. Terlalu banyak manusia yang gampang diimingi kemewahan, padahal sudah hidup dalam kemewahan itu.”
Dygta sedikit tersinggung, tetapi ia berusaha menahan diri. Perempuan itu tidak mengenalnya—dan mungkin memang tidak berniat menyakiti siapa pun dengan ucapannya. Hanya menyampaikan sesuatu yang telah terlalu sering ia lihat dan dengar.
Perempuan itu lalu berdiri, menyandang tas kecil di bahunya. “Jika kamu ingin mencari orang itu…. atau siapa pun, kamu bisa ke perpustakaan. Semua database warga kota tersimpan di sana. Di Arthanagarapura tidak ada yang kami sembunyikan. Kami cukup saling mengetahui…. dan saling menjaga.”
Dygta memiringkan kepala, tampak bingung. “Emmm…. Perpustakaan? Aku bahkan tidak tahu harus letaknya di mana.”
Perempuan itu menarik tangan Dygta. “Baiklah. Karena hari ini aku sedang bahagia, aku akan mengantarmu ke sana.”
“Terima kasih!” ucap Dygta.
“Jangan terlalu cepat berterima kasih! Perpustakaan menyimpan banyak hal, tapi tak semua orang siap dengan apa yang akan mereka temukan,” ungkapnya si perempuan dengan suara ringan.
Dygta mengikuti perempuan itu. Untuk sesaat, kota ini terasa sedikit lebih akrab. Kehadiran sosok yang membantunya, walau tak sepenuhnya ramah, membuat langkah-langkahnya tak seberat tadi. Akan tetapi, jauh di dalam pikirannya, Dygta tetap menyalakan alarm. Ia sadar bahwa kebaikan bisa jadi penjara yang dipoles manis. Ia belajar dari kasus orang tuanya: penipuan tidak selalu datang dalam bentuk ancaman, kadang justru hadir dengan senyum dan uluran tangan.
===============
Bab 5: Data yang Luar Biasa
Sekitar 10 menit berjalan kaki, Dygta dan perempuan itu tiba di perpustakaan. Riuh menyambut Dygta, membuat telinganya terkejut.
Orang-orang dari berbagai usia memadati setiap sudut. Ada yang bermain, berolahraga, bahkan berpiknik di area taman di sekeliling bangunan.
Tempat membaca di kota ini bukanlah ruang senyap yang penuh larangan, melainkan tempat paling ramah bagi tawa dan kebebasan—seolah ilmu pengetahuan justru tumbuh subur di tengah keriangan, bukan kesunyian.
Perempuan itu melangkah cepat, membawa Dygta menembus keramaian tanpa sepatah kata. Ia menekan tombol lift, lalu berdiri diam.
Begitu pintu terbuka, mereka masuk. Selama beberapa detik, hanya suara halus mesin yang terdengar—tanpa musik latar, tanpa cermin di dinding.
Lantai 5.
Pintu terbuka dengan desis pelan. Dygta segera merasakan perubahan atmosfer. Teduh, tenang, steril, dan nyaris suci. Tidak ada suara. Bahkan langkah kaki pun seperti diredam oleh lantai empuk yang menyerap kebisingan.
Para pengunjung sibuk dalam kesenyapan. Layar-layar transparan mengambang di depan wajah masing-masing, tak terhubung dengan monitor fisik. Mereka menggulir, mengetik, mencari tanpa menekan apa pun.
Dygta menelan ludah pelan. Semua yang dia lihat bagaikan gambaran kehidupan masa depan.
Perempuan itu menadahkan tangan ke arah Dygta, telapak menghadap ke atas. Gerakannya tenang, tanpa ekspresi yang bisa dibaca.
Dygta menangkap maksud perempuan itu. Ia merogoh saku jaket dan menyerahkan secarik kertas. Di atasnya, tertulis dengan tulisan tangan: “R.A. Wicaksana, investasi, 1,3 miliar.”
Perempuan itu menggerakkan jemarinya di udara. Sebuah antarmuka transparan muncul, melayang. Ia bentangkan kertas dari Dygta di depan sistem. Sorotan kilat melintasi permukaan, menandai pemindaian tengah berlangsung.
Puluhan file virtual pun bermunculan. Mereka tersebar, berputar, menyusun, dan menyaring data secara otomatis hingga berhenti di satu tampilan utama yang menyorot satu nama: Dr. Rayendra Adi Wicaksana.
Nama itu terpampang lengkap disertai foto diri—pria paruh baya berjas hitam dan berkemeja biru. Datanya pun terbaca jelas: koordinat tempat tinggal, riwayat aktivitas, dan daftar kejahatan yang dilakukan.
Dygta mendekat. Jantungnya berdetak lebih cepat. Ia ingat pernah melihat pria itu secara langsung.
Waktu itu, Dygta mengira dia hanya tamu biasa. Ibunya menyambutnya hangat, dengan mata berbinar, sibuk membicarakan proyek masa depan yang menjanjikan. Ia tak tahu siapa pria itu sebenarnya.
Barulah setelah semuanya hancur, orang tuanya mengaku: uang mereka lenyap, dan si penipu tak terlacak jejaknya.
Dygta meminta perempuan yang membantunya membuka daftar kejahatan pria itu. Matanya lekas menyusuri nama-nama korban—dan di urutan teratas, ia menemukan nama ayah dan ibunya.
“Itu dia! Benar,” gumam Dygta. “Brengsek!” vokalnya mengeras.
Perpustakaan yang tadi tenang sontak menegang. Para pengunjung menghentikan aktivitas secara bersamaan. Mata mereka mengarah kepada Dygta.
Dengan tatapan datar, perempuan itu menginjak kaki Dygta.
“Aduh!” Dygta meringis.
Perempuan itu mendekat, dan berbisk tajam di telinga Dygta, “Jangan seperti orang asing! Belajarlah untuk tidak menarik perhatian.”
Dygta segera mengeluarkan pulpen dan buku catatan dari saku celananya. Ia menyalin petunjuk yang akan mempertemukannya dengan si penipu alias Rayendra.
“Cepatlah,” desis si perempuan. Matanya begitu waspada, mengamati situasi “Beberapa orang mungkin sudah curiga. Kalau kamu tertangkap, bukan hanya informasimu yang hilang—kamu bisa dikurung di kota ini selamanya.”
Dygta mengangguk. Ia sudah mendapatkan informasi yang dibutuhkan.
Mereka lekas meninggalkan ruang perpustakaan dengan langkah setengah berlari menuruni tangga darurat, dan lalu menyusuri koridor sepi. Beberapa orang sempat memandangi curiga, tetapi tak satu pun bergerak untuk menjegal.
Begitu tiba di luar, mereka terus berjalan hingga mencapai sebuah taman yang sedikit tersembunyi di antara gedung-gedung tinggi. Di sana, mereka berhenti sejenak, duduk di bangku panjang dari beton yang dingin.
Perempuan itu menunduk, menarik napas. “Aku tidak bisa ikut lebih jauh. Aku ada urusan lain. Ini semua yang bisa kulakukan.”
Dygta mengangguk lagi. “Terima kasih!” ucapnya, terasa lebih lega. Ia sempat berpikir akan menghadapi semuanya sendirian.
Perempuan itu melangkah pergi tanpa menoleh. Dygta tersenyum sesaat. Tak ada perkenalan, tetapi meninggalkan kesan yang menetap lebih lama dari kebanyakan nama.
Namun, saat hendak kembali berdiri, Dygta menyadari ada sesuatu yang ganjil. Ia menoleh ke belakang, memeriksa tempatnya bersandar. Tangannya meraba punggung, matanya melebar.
“Tasku.... Ranselku....?”
Panik. Ia berputar mencari, melongok ke bawah bangku, menyisir rerumputan. Kosong. Tidak ada. Semua barang miliknya—pakaian, dompet, ponsel—raib.
Ia menatap ke arah perempuan itu menghilang, “Sial,” gerutunya. “Negeri ini memang jahanam. Tak semegah tampilannya. Untuk sebuah pertolongan pun ternyata tidak gratis.”
===============
Bab 6: Rumah Kebenaran yang Palsu
Dygta duduk termenung. Dunia, di mana pun, kadang memiliki banyak kesamaan karakteristik. Tak ada yang benar-benar menolong tanpa sesuatu yang disembunyikan.
Setelah memiliki tenaga yang cukup, Dygta berdiri perlahan. Napasnya telah kembali teratur, dan pikirannya sedikit lebih jernih, meski bayangan ranselnya yang hilang masih menghantui. Ia mengepalkan tangan, menggenggam erat catatan kecil yang berisi denah menuju rumah si penipu—satu-satunya petunjuk yang tersisa.
Malam menjelma dengan dingin yang menusuk. Lampu-lampu kota Arthanagarapura menyala sempurna, menggantikan cahaya senja yang meredup perlahan. Bangunan-bangunan tinggi memantulkan cahaya artifisial ke langit kelabu. Jalanan tetap ramai, tetapi semua orang tampak tahu ke mana harus melangkah, tidak ada yang terlihat tersesat—kecuali, mungkin, Dygta.
Namun, Dygta menolak tunduk pada rasa putus asa. Masih ada harapan di sela kehilangan. Tekadnya justru makin menyala—dan itu cukup. Cukup untuk membawanya berjalan kembali, menyusuri lorong-lorong kota yang mulai ia pahami arsitekturnya.
Setelah hampir satu jam berputar, Dygta sampai di rumah megah di tengah kompleks hunian yang sepi nan bersih. Pagar tinggi dari besi hitam berdiri kokoh, bersama sistem keamanan yang mutakhir.
Dygta mendekat, menatap ke dalam sambil menggenggam catatannya erat. Ia tahu bahwa mustahil untuk menyelinap masuk. Maka dari itu, ia memilih menarik udara melalui hidung kuat-kuat.
“Penipu! Keluar kamu! Bangsat!” laungnya.
Beberapa kepala muncul dari pos keamanan di balik pagar. Mereka, para penjaga berbaju seragam gelap, menatap Dygta penuh amarah.
Dygta mengumpulkan semua keberaniannya. Ia sudah kadung memasuki medan perang, tak mungkin mundur begitu saja.
Para penjaga mengancam, memaki, dan meminta Dygta untuk segera pergi. Dua dari mereka melangkah maju, bersiap dengan tindakan represif. Sementara, yang lain tetap berjaga di sisi pagar, menekan alat kecil di pergelangan tangan mereka—mungkin untuk memberi peringatan internal.
Dygta tetap berdiri tegak. Tak gentar di mata, walau hatinya kalang kabut. Para penjaga mulai menodongkan senjata—moncong hitam mengarah tanpa ragu, dan hanya perlu menarik pelatuk.
Aku tak mau mati konyol, Dygta membatin. Tapi kalau pulang tanpa membawa apa pun, rasanya itu lebih buruk daripada kematian.
Dalam ketegangan, derap langkah terdengar mendekat, membuat para penjaga menepi secara serempak—membuka jalan. Seorang pria muncul, menyibak barisan dengan raut tenang dan sangat percaya diri.
Api berkobar di dada Dygta. Seluruh organ seakan mendidih. “Rayendra Adi Wicaksana,” semburnya, tak tertahan.
“Mari kita bicara di dalam. Udara dingin di luar…. bisa saja membunuhmu,” ucap Rayendra tersenyum, disertai seringai.
Rayendra memutar badan, menuntun Dygta untuk mengikuti tapaknya. Hanya dengan menjentikkan jari, pintu rumah terbuka.
Mata Dygta menyapu ruangan megah di sekelilingnya—lantai marmer berkilau, lampu gantung yang menjuntai seperti tetesan cahaya, lukisan-lukisan besar bergaya klasik yang menggantung angkuh di dinding. Semua kemewahan, pikirnya, dibangun dari hasil menguras kehidupan orang lain.
Dygta meredam amarahnya untuk sementara. Ia merasakan suatu pola—Rayendra tak bisa dilawan dengan kemarahan. Pria itu hidup dari tipu daya, dan hanya bisa dijatuhkan dengan akal yang lebih tertata.
“Sepertinya Anda bukan orang biasa di sini,” ucap Dygta, nada suaranya datar dan sarat sindiran. “Gelar Anda pun seorang doktor. Sayangnya, semua yang Anda miliki—gelar, kekayaan, rasa hormat—bukan hasil dari kebijaksanaan, melainkan dari satu hal yang paling kasar dan kejam: seni menipu orang-orang di luar sana.”
Rayendra hanya tersenyum. Bukan senyum bahagia, tetapi lebih seperti senyum yang sudah terlalu lelah untuk membela diri. Ia berjalan perlahan ke arah meja, menuangkan air ke dalam dua gelas. Setelah itu, ia menyodorkan salah satunya kepada Dygta.
Dygta menolak dengan gestur tangan yang sopan, tetapi tegas.
“Aku tidak menipu siapa pun,” ucap Rayendra, merapat ke arah Dygta. “Justru aku yang tertipu…. oleh sistem…. oleh ilusi bernama kemajuan. Padahal, aku hanya menawarkan proyek masa depan yang indah karena yakin bisa mengubah hidup banyak orang. Tapi tahukah kamu apa yang terjadi ketika kamu menjanjikan perubahan kepada manusia yang rakus? Mereka tak ingin perubahan. Mereka ingin hasil instan.”
Dygta mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. Amarah yang tadi ditahan kini menguasainya kembali. Ia masih terlalu muda untuk sepenuhnya mengendalikan emosi—dan luka itu terlalu dalam untuk diredam. “Tapi uang orang tua saya lenyap. Uang itu untuk hari tua mereka. Untuk bertahan hidup. Dan Anda—”
“—dan aku,” potong Rayendra, “kehilangan segalanya. Termasuk anakku. Termasuk diriku sendiri.” Ia meneguk air dalam gelas, lalu menatap langit-langit sejenak, seolah mencoba berbicara dengan sesuatu yang tak terlihat.
“Manusia modern tidak benar-benar ingin keadilan, Dygta. Mereka ingin keuntungan yang berpihak. Mereka ingin sistem yang menguntungkan mereka, dan ketika sistem itu hancur, mereka menyalahkan siapa pun yang paling mudah disalahkan,” tandasnya.
===============
Bab 7: Kesabaran Dygta
Dygta masih berdiri, tetapi tubuhnya sedikit melemas. Kata-kata Rayendra, meski terdengar seperti pembelaan diri, mengandung sesuatu yang lebih dalam. Sesuatu yang membuatnya berpikir keras.
“Lalu, mengapa Anda lari ke kota ini?”
Rayendra mengangkat bahu dan membuka kedua telapak tangan. “Karena di sini, aku bisa menjadi manusia biasa. Tak ada hukum tertulis, tak ada pengadilan palsu. Hanya ada nurani…. dan keberanian untuk hidup tanpa topeng.”
Ia menatap wajah Dygta dengan sengit. “Menurutmu,” ucapnya pelan, tetapi penuh tekanan, “apakah kota ini tampak sebagai tempat untuk mencari, membalas, atau…. memahami?”
Ruangan itu mendadak terasa lebih sempit. Bukan karena dindingnya mengecil, melainkan karena kebenaran kadang lebih berat dari hukuman itu sendiri.
Dygta menunduk. Untuk pertama kalinya, ia tidak tahu mana yang benar, mana yang salah. Ia hanya tahu satu hal: apa pun yang ia putuskan setelah ini, tidak akan mengembalikan apa pun seperti semula.
Setelah beberapa saat menekuri diri, Dygta menegakkan tubuhnya lagi. Sorot matanya menggebu. “Saya tidak peduli seberapa rumit masa lalu Anda. Saya ke sini bukan untuk mendengar dongeng tentang dunia Anda. Jadi, cepat kembalikan uang orang tuanya saya.”
Rayendra menepuk pundak Dygta pelan.
“Itu hal yang mudah,” katanya, santai. “Saya tidak akan menyangkal—uang itu masih ada. Tapi saya tidak akan memberikannya begitu saja. Ada syarat.”
Ia berjalan perlahan menyamping, langkahnya menggeser posisi, seolah ingin bicara dari sudut yang berbeda sembari mengatur suasana. “Karena apa pun yang sudah berada dalam genggaman saya… adalah milik saya. Sah. Setidaknya, di tempat ini.”
Dygta menarik napas dan menahan lidahnya.
“Saya butuh asisten,” lanjut Rayendra. “Seseorang yang cerdas, tangguh, dan berani. Kamu bisa sampai di kota ini. Bisa menembus ke dalam dan bahkan menemukanku. Itu tidak mudah. Kamu.... punya kemampuan yang bahkan orang-orang sini tidak sadari mereka butuhkan.”
Sebuah tawa kecil lolos dari bibir Dygta. Pahit dan getir.
“Jadi Anda ingin membeli saya? Dengan uang yang Anda ambil dari orang tua saya?” tanyanya, sinis. “Dan apakah saya harus tersanjung karena Anda mengagumi saya? Hah! Anda seperti pencuri yang memuji anjing penjaga, lalu berharap disebut murah hati karena tidak langsung membunuhnya.”
Rayendra membisu. Guratan senyum di wajahnya memudar seketika. Ia memandang Dygta dengan ekspresi yang sulit ditebak—antara kekaguman, kegelisahan, atau mungkin rasa bersalah yang tak mau diakui.
“Lucu sekali,” lanjut Dygta. “Anda bicara soal kesadaran, soal membuang topeng, dan soal sistem kehidupan. Tapi nyatanya, Anda tetap ingin saya tunduk kepada Anda. Anda hanya mengganti paksaan dengan tawaran, mengganti ancaman dengan pujian. Intinya tetaplah sama: kekuasaan.”
Untuk sesaat, keheningan menggantung. Hanya suara detik jam dinding yang terdengar, seakan tengah mempermalukan kedua pria itu dengan keterusterangannya.
Rayendra berjalan menuju jendela besar di belakangnya. Cahaya lampu dari kota Arthanagarapura memantul di kaca, memperlihatkan bayangan samar dua sosok manusia: satu yang menuntut, satu yang terdesak oleh pilihan hidupnya.
“Aku tidak pernah ingin jadi seperti ini,” gumam Rayendra. “Tapi mungkin kamu benar. Bahkan dalam dunia tanpa hukum pun, kita masih membuat hukum-hukum kecil untuk mempertahankan kekuasaan kita sendiri.”
Dygta tidak menanggapi. Ia tak butuh pengakuan atau penyesalan. Lagi pula, baginya, ini bukan arena debat. Ia datang demi mengambil kembali uang orang tuanya, dan ingin segera pulang dengan membawanya.
Sementara itu, Rayendra tidak berhenti membujuk. “Pikirkan baik-baik, Dygta! Aku tidak menawarkan ini pada sembarang orang. Percayalah, tidak ada tempat seperti kota ini di mana pun.”
Ia menekan tombol di jam pintarnya. Beberapa detik kemudian, terdengar derap langkah berirama.
“Di sini kamu aman dan bebas. Kamu bisa hidup tanpa batasan, tanpa pengawasan… dan tanpa konsekuensi. Dan aku sudah menyiapkan kamar terbaik untukmu di rumah ini,” ungkapnya.
Dygta memalingkan wajah. Pembicaraan kian meliar. “Cukup. Kembalikan uang itu secepatnya. Saya tidak suka menunggu dan tawar-menawar.”
===============
Bab 8: Dunia yang Menyamar
Seorang perempuan keluar dari balik lorong rumah. Cantik. Modis. Dingin. Auranya nyaris menutupi semua yang ada di sekeliling.
“Ternyata kamu datang lebih cepat dari perkiraanku,” ujarnya, mengembangkan senyum kepada Dygta.
Dygta menegang. Perempuan itu. Perempuan yang membantunya di perpustakaan, yang menuntunnya seolah tanpa pamrih, tetapi kemudian malah mencuri ranselnya.
Ia tatap wajah perempuan itu lekat-lekat. Berbagai kalimat tanya siap untuk diledakkan.
Rayendra tertawa kecil, lalu melangkah mendekat ke arah mereka berdua. “Kamu belum tahu namanya, kan?” katanya sambil melirik ke arah Dygta. “Dia Nadira. Tangan kananku. Dan kamu, Dygta… akan menjadi kaki kananku.”
Dygta turut tertawa. Satir. Mengejek dua sosok yang bermain-main dengan harinya.
“Ini pengkhianatan,” ucapnya, kesal. “Seperti ditikam dari balik senyum. Sakit sekali.”
“Bukan,” sahut Rayendra, mengencangkan tawa bak tengah menikmati paradoksnya. “Ini perkenalan. Dunia kami memang penuh ilusi. Makanya, tak mudah mencari seseorang untuk dijadikan kepercayaan.”
Dygta melangkah maju, menghampiri Rayendra. “Brengsek!” desisnya. “Memang, penjahat tak pernah menyadari dirinya jahat. Mereka hanya mengganti namanya menjadi peluang, sistem, atau visi,” pungkasnya seraya menatap Nadira.
Rayendra melangkah menjauh. Suara sepatunya bergema pelan di lantai marmer. Ia tak bicara, tak merespon lagi pernyataan Dygta.
Namun, sebelum menaiki tangga ke lantai 2, ia berhenti. Ia mengangkat satu telunjuk ke udara, lalu matanya tertuju kepada Dygta.
“Sekarang lebih baik kamu beristirahat. Nadira akan menunjukkan kamarmu. Satu lagi, Dygta…” Rayendra mengangkat kedua alisnya. “Kamu sudah masuk ke kandang sirkus. Jangan harap bisa keluar dengan selamat tanpa jadi bagian dari pertunjukannya!”
Dygta berlari, hendak menghadang langkah terakhir pria itu. Akan tetapi, Nadira dan para penjaga lebih sigap—mereka mencengkeramnya, menahannya dengan paksa, saat tubuhnya nyaris lepas kendali.
“Jangan terburu-buru pulang! Ingat, ini Arthanagarapura,” bisik Nadira.
Dygta meronta, menepis tangan-tangan yang mencengkeramnya. “Lepaskan!” suaranya meledak, meradang, diseret oleh napas yang tersengal.
Ia masih mencoba melawan, meski yang tersisa hanya amarah dan keteguhan.
****
Pagi menyapa. Cahaya matahari yang pucat menyelinap masuk melalui jendela berteralis. Dygta terbangun dengan kepala berat, seolah semalam ia tertidur di bawah beban keputusan yang tak ia buat sendiri. Kamar itu megah, ranjang empuk, wangi kayu mahal—tetapi hatinya tak bisa melelapkannya dalam ketennagan.
Dygta berdiri, menatap ke luar. Dari balik jendela lantai dua rumah Rayendra, Arthanagarapura terlihat lebih damai dibanding semalam. Hanya saja, semua yang tersaji tampak semu sebab sulit menemukan kejujuran di kota ini.
Gedung-gedung tinggi, teknologi yang bekerja dengan presisi, kendaraan yang memahami penumpang tanpa perlu arahan, sorot lampu yang benderang dan hidup—semuanya terasa seperti koreografi raksasa: terencana, diawasi, dikurasi. Dygta larut dalam renungan.
Tak berapa lama, seorang penjaga datang mengantarkan sarapan. Dygta memperhatikannya dalam diam, lalu menunggu hingga langkah menjauh dan pintu tertutup kembali.
Ia menyelinap keluar kamar, gerakannya ditekan sehalus mungkin. Ia bergerak cepat dan hati-hati menyusuri lorong rumah yang sangat luas. Matanya meneliti setiap sudut, mencari pintu belakang, jendela terbuka, apa pun yang bisa mengantarnya keluar dari tempat yang tak lagi ingin ditinggalinya.
Namun, setiap pintu yang ia coba terkunci rapat. Setiap jendela memiliki sistem pengaman digital yang menyatu dengan dinding. Bahkan, ventilasi udara pun dilengkapi sensor gerak. Ia menyadari, rumah itu dibuat layaknya labirin digital.
Dygta menuruni tangga, mencoba mendekati pintu utama. Namun, belum menyentuh gagangnya, suara metalik menyambut lebih dulu: “Akses ditolak. Otorisasi tidak terdaftar.”
Kebuntuan memayungi Dygta. Tidak ada celah sedikit pun yang bisa ia tembus.
Nadira melintas bersama seorang penjaga. Dari kejauhan, ia melihat Dygta berdiri sambil memegangi kepala. Pandangan mereka bertemu.
Dygta dilanda cemas. Nadira hanya tersenyum simpul—dan lalu memberikan kode halus dengan gerakan tangan, meminta Dygta kembali ke kamar.
Mau tak mau, Dygta naik ke kamar.
Di dalam, ia duduk termangu, memikirkan cara lain untuk melarikan diri. Upayanya tadi mungkin sudah sampai ke telinga Rayendra.
Setelah semua yang terjadi, ada satu hal yang mulai mengendap dalam pikirannya—bahwa ia telah masuk ke sebuah dunia yang tidak tunduk pada hukum, melainkan pada kekuasaan yang menyamar sebagai kebebasan.
Arthanagarapura bukan sekadar kota. Ia adalah panggung yang dibangun dengan presisi, di mana nalar dan naluri saling menipu.
Dan Rayendra? Ia bukan sekadar tokoh utama—ia penulis naskahnya, yang tahu bagaimana mengatur cahaya, suara, bahkan ilusi moral di dalamnya.
===============
Bab 9: Tak Ada Jalan Keluar
Udara di kamar terasa bersih dan hampa—seperti ruang yang diciptakan bukan untuk dihuni, melainkan untuk diamati. Tak ada suara, tak ada gangguan, hanya keheningan yang menggantung dalam kebingungan.
Dygta duduk di sisi ranjang, punggungnya bersandar pada dinding. Kota ini mungkin tidak di rancang untuk ditinggalkan, tetapi ia belum selesai. Belum menyerah.
Nadira muncul di ambang pintu kamar. Tanpa berkata apa-apa, ia mengulurkan sesuatu ke arah Dygta.
Sebuah ponsel. Ponsel milik Dygta.
“Orang tuamu sangat mengkhawatirkanmu,” ucapnya pelan, nyaris seperti gumaman yang ditelan dinginnya pagi.
Dygta menatap layar ponselnya, lalu mengalihkan pandangan ke wajah Nadira. Banyak pertanyaan bergejolak. Hanya saja, semuanya mengendap di tenggorokan. Ia hanya menerima benda itu dan menggenggamnya erat.
“Ayo,” kata Nadira. “Aku bisa mengantarmu keluar dari sini.”
Dygta ragu, lalu menggeleng pelan. “Tidak. Aku belum selesai di sini.”
Nadira memejamkan mata sejenak. “Aku tidak akan menawarkannya dua kali.”
Dygta merasakan keseriusan dan ketulusan mengalir dari raut Nadira. Ia juga tahu risikonya. Mungkin ini akan menjatuhkannya lagi, mungkin ia sedang melangkah ke dalam kebohongan yang baru. Namun, ia tetap melangkah. Karena kadang, yang paling berbahaya bukan kebohongan, melainkan keyakinan bahwa tak ada lagi yang bisa dipercaya.
Mereka melangkah cepat menyusuri lorong-lorong rumah Rayendra. Gerak Nadira terarah—ia tahu persis setiap celah keamanan: kapan sensor aktif, kapan penjaga berganti shift, dan di mana saja titik-titik buta kamera tersembunyi.
Sayangnya, keberuntungan tak bertahan lama memayungi mereka.
Sebuah alarm meraung, memecah kesunyian. Nadira terhuyung mundur, dan melihat dua penjaga berlari mendekat. “Cepat!” perintahnya lirih, menggenggam lengan Dygta.
Rayendra tahu tawanannya tengah melarikan diri. Belasan penjaga telah bersiaga, menanti arahan yang tak kunjung datang.
Rayendra hanya berdiri diam di balik kaca, menyaksikan kepergian Dygta bersama Nadira. Tidak mencegah, tetapi juga belum benar-benar melepaskan.
“Di luar sana, semuanya tampak terang dan memberi kepastian jalan,” ujarnya, tenang. “Tapi kadang, tempat paling terang pun tak sanggup menampakkan bayanganmu sendiri. Di kota ini, setidaknya, kamu bisa melihat bentuk tergelapmu.”
Begitu berhasil menembus pagar tinggi, Dygta dan Nadira menyusuri jalanan kota dengan napas tertahan. Tak ada kata, hanya ayunan kaki yang beradu dengan detak jantung mereka.
Di seberang jalan, sebuah mobil tampak menepi—mesinnya masih menyala, dan orang di dalamnya sibuk membenahi sesuatu di dasbor. Nadira langsung melirik ke arah itu, lalu tanpa ragu melangkah cepat, membuka pintu pengemudi, dan menarik pria itu keluar tanpa memberi penjelasan.
“Maaf!” seru Nadira singkat, sebelum menutup pintu.
Dygta duduk di samping Nadira. Ia lemparkan tatapan penuh tanya kepada perempuan itu—yang sibuk memasang sabuk pengaman.
“Tenang. Aku mahir mengemudi,” katanya.
“Em… Aku kira semua kendaraan di sini bisa bergerak sendiri,” ucap Dygta, sembari memperhatikan panel sentuh yang menggantikan setir.
Nadira tersenyum tipis. Kemudian, ia berkata supaya mobil lekas berjalan.
Setelah beberapa menit bergelut dengan ketegangan, mereka akhirnya berhenti di pinggir jalan kecil, jauh dari hiruk pikuk pusat kota.
Nadira keluar dari mobil dan mengitari bodinya, menuju sisi tempat Dygta duduk. Di tangannya, koper hitam kecil masih tergenggam—yang melekat erat sejak keluar dari rumah Rayendra. Dengan satu gerakan mantap, ia meletakkannya di pangkuan Dygta.
“Ini. Uang orang tuamu,” ucapnya, disertai helaan napas yang berat, seperti tengah menenangkan sesuatu di dalam dirinya.
Dygta memandangi koper itu. Masih ada yang mengganjal dalam benaknya.
“Aku tahu,” ujar Nadira, mendahului pikiran Dygta. “Sulit percaya padaku. Tapi koper ini bukan hasil rampasan. Aku ambil dari ruang penyimpanan Rayendra secara diam-diam. Sayangnya, aku lupa tentang ranselmu. Mungkin jika kita bertemu lagi, aku akan mengembalikannya sebagai hadiah.”
Tawa renyah Nadira mengangkasa, mencoba menjalin keakraban dengan kesalahan yang masih hangat dalam ingatannya.
Dygta menunduk. Rasa syukur dan kecewa berkecamuk dalam jiwa.
“Aku juga datang ke kota ini karena alasan yang sama sepertimu,” lanjut Nadira. “Orang tuaku ditipu, hancur, dan meninggal karena tak kuat menghadapi kebangkrutan. Aku datang untuk mencari Rayendra. Tapi malah.... terjebak.”
Matanya kosong sejenak. “Lambat laun, aku menyatu dengan kota ini. Ya, mau tidak mau. Karena di luar sana, aku sudah tak punya siapa-siapa lagi.”
Hening. Hanya suara angin pagi yang menyuruk di antara mereka.
“Tak ada manusia yang benar-benar baik. Kita semua saling memanfaatkan. Tapi ini.... mungkin satu-satunya kebaikan yang bisa kulakukan sebelum semuanya terlambat. Pulanglah!”
Dygta mengangkat kepala. Matanya berkaca-kaca. “Ikut denganku. Kamu bisa tinggal bersama aku dan orang tuaku..”
Senyum lembut merekah di wajah Nadira. Bukan senyum bahagia, melainkan keharuan menjelang perpisahan.
“Takdirku berada di sini,” gemanya. “Cepat pergi. Selama kamu masih di sini, kamu dalam bahaya. Jangan tunggu lebih lama lagi!”
Ia membuka pintu Dygta dan menariknya keluar. Sekejap kemudian, Nadira kembali ke masuk ke dalam mobil, dan melaju tanpa menoleh.
Dygta meniti arah pulang.
Di belakangnya, Arthanagarapura masih merayu—dengan janji tentang keadilan, kemajuan, dan kebebasan menjadi diri sendiri. Sebuah kehidupan yang tampak masuk akal, bahkan meyakinkan.
Akan tetapi, di depannya, ada jalan. Ada rumah, dan ada orang-orang yang menunggunya kembali.
===============
Bab 10: Pulang dalam Dekap Asa
Dygta tiba di persimpangan menuju rumahnya. Ia berjalan menyusuri gang sempit
Atap masih bocor, dinding penuh jamur, dan aroma tanah basah menyambut kepulangannya. Di depan pintu, sang ibu duduk termenung dengan secangkir teh di tangan. Teh itu sudah dingin. Namun, kehangatan ada pada cara memandangnya.
Malam harinya, Dygta duduk di kamarnya. Di atas meja, koper yang diberikan Nadira terbuka. Di dalamnya, tumpukan uang tersusun rapi bersama catatan-catatan penting yang ia bawa dari Arthanagarapura—tentang Rayendra, Nadira, dan kebohongan-kebohongan yang menyusun kota itu.
Ia membuka catatannya. Sejenak, ia menatapnya—seperti ingin memastikan bahwa semua itu memang nyata. Lalu, ia mengambil korek api dari laci kecil. Kertas itu ia bakar. Api memakan perlahan, menyisakan abu dan bau hangus.
Bukan karena ia ingin melupakan, tetapi karena ia sadar: tak semua kebenaran harus dipertahankan untuk bisa dipercaya. Beberapa cukup dikenang. Beberapa harus dilepas supaya tidak terus melukai.
Di negeri yang tidak memiliki hukum, seseorang bisa menciptakan surga. Meskipun begitu, surga yang dibangun bisa berubah menjadi neraka saat manusia mulai merasa pantas menjadi Tuhan. Tentu, itu lebih mengerikan dari kejahatan biasa.
Keesokan paginya, Dygta duduk di tepi jalan. Seorang anak kecil melintas, menggandeng tangan nenek tua, membantu menyeberang tanpa aba-aba. Tak ada peluit. Tak ada rambu. Namun, ada kepedulian.
Dygta menyipitkan mata, dan melebarkan garis bibir.
Mungkin hukum bukan soal pasal-pasal atau sanksi. Mungkin, hukum terbaik adalah ketika manusia cukup sadar akan luka, dan memilih untuk tidak menambahkan luka baru ke dunia yang sudah penuh dengan keperihan.
Dygta lantas menulis sesuatu di buku catatannya yang baru. Jemarinya sedikit gemetar menggenggam pulpen.
“Aku kira, memahami kebenaran akan membebaskan. Tapi ternyata, yang lebih sulit adalah memutuskan ke mana kaki harus melangkah setelahnya.”