Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
#CHI_Official_Event 2023
***************
Pernahkah kamu mengalami hari dimana kamu tidak mengingat segalanya? Aku selalu mengalaminya. Setiap bulan, tepatnya pada tanggal 16.
Hanya di tanggal itu, aku tidak bisa mengingat apa saja yang aku lakukan seharian. Siapa saja yang aku temui hari itu? Bagaimana cara aku bersosialisasi? Bagaimana caraku kembali dengan selamat ke rumah?
Sehari sebelum tanggal terkutuk itu semua baik-baik saja. Namun setelah hari berikutnya itu menjadi sebuah bencana. Dalam sehari itu banyak peristiwa yang terjadi.
Dalam sehari aku sering kehilangan sesuatu. Bahkan dalam sehari itu pula, aku putus dengan pacarku tanpa tahu masalahnya dan pria itu sampai sekarang membenciku.
Kenapa setiap kali memikirkan itu tengkuk leherku menjadi sangat panas dan gatal.
"Belin?"
Semakin dipikirkan juga semakin membuatku khawatir.
"Belin, hei!"
Semakin aku mencoba mengingat masalahnya, semakin aku menjadi sangat frustasi.
"Belinda!!"
Aku terhenyak. Langsung menengok ke sumber suara. Nita dengan wajah cemas memandangku.
"Y-ya?" Aku sedikit linglung.
"Kamu Berdarah." Tunjuknya.
Aku melihat jari tangan kananku sudah berlumuran darah. Aku menepuk leher kiri memastikan sumber darah itu. Bekas luka jahitan yang kudapat waktu bayi menjadi sangat tidak nyaman setiap mendekati tanggalnya.
"Pakai ini." Nita memberikan sebungkus tisu yang diambil dari tasnya.
"Makasih." ucapku seraya mengambilnya. Menutupi luka yang ada di leher. "Aku ke toilet dulu." Nita mengangguk.
Di toilet, aku membersihkan luka itu dengan air mengalir, mengusapnya perlahan. Sedikit Perih.
"Aku menggaruknya terlalu keras." desisku.
Tempat luka itu kini penuh bekas cakaran dari jariku sendiri. Kulitku mengelupas hingga mengeluarkan darah.
Luka sudah bersih begitu juga tanganku. Aku mengambil plester berukuran sedang yang selalu aku bawa dikantong, kemudian memakainya untuk menutupi luka itu. Plester itu cukup membantu agar aku tidak menggaruknya langsung ke kulit.
"Sudah selesai?"
Nita menyusulku ke toilet.
"Iya." Aku memberikan tisunya kembali, "Ini. Makasih ya, sudah selalu siap sedia." ucapku sangat berterimakasih.
"Iya iya." Nita tersenyum. "Seperti sudah menjadi kebiasan di tiap bulannya."
"Aku tidak ingat." Jawabku dengan senyum simpul menghias dibibir.
"Aku akan memaklum. Kamu banyak lupanya. Umur masih muda tapi ingatan sudah tua."
"Kamu benar. Maafkan ingatanku yang sudah tua ini ya. Haha."
"Dasar!"
Kami tertawa bersama. Untunglah ada Nita disampingku sekarang. Karena berkat dia, aku jadi bisa tahu sedikit tentang kegiatanku di tanggal 16.
Katanya, aku menjadi orang yang sangat berbeda. Bahkan gaya pakaianku sangat kuno. Sikapku juga sangat kasar, mudah marah dan sensitif. Sering meneriaki orang yang berpapasan, selalu memprovokasi.
"Kalau dipikir lagi, kamu sangat jahat di tanggal 16. Selalu begitu. Sudah seperti karakter villain dalam sebuah novel." Nita menatapku tajam. "Apa kamu punya semacam penyakit jiwa? Atau jangan-jangan kamu berkepribadian ganda?"
Ahh. Leherku terasa berdenyut. Aku menggaruknya pelan. "Tidak ada yang seperti itu."
"Kalau begitu.... Coba kamu tanyakan pada mamamu. Bukankah kamu merasa aneh? Kenapa itu terjadi padamu?" Nita memberi saran.
Aku juga sangat penasaran dengan apa yang terjadi sebenarnya. Namun, aku tidak berani bertanya pada mama. Mama adalah orang yang sangat tegas, berprinsip dan keras. Aku selalu menerima hukuman ketika membuat satu kesalahan kecil. Contohnya saja saat makan bersamanya, aku tidak menghabiskan makananku. Padahal perutku sedang sakit saat itu. Tetapi dia sama sekali tidak memaafkannya.
Jam sekolah pun telah selesai tepat pukul 4 sore. Aku berjalan menuju gerbang bersama Nita. Semilir angin sejuk mengusap tengkukku perlahan.
"Kau penasaran?"
Aku terhenyak mendengar bisikan samar tepat di telingaku. Suara serak yang membuatku merinding.
"Kamu bilang sesuatu?" bertanya pada Nita, aku mencoba mengusir kegelisahan.
"Tidak." Nita menggeleng.
Siapa? Siapa yang berbisik padaku tadi? Batinku berkecamuk.
"Coba tebak."
Suara itu terdengar lagi. Tubuhku reflek berbalik mencari seseorang yang sedang menjahiliku. "Siapa sih?!" Aku sangat kesal.
Nita menepuk-nepuk pundakku. "Belinda! Mamamu jemput."
Mataku sedikit melotot melihat mama tersenyum cerah sambil melambaikan tangan ke arahku.
"Aku duluan ya." Pamitku.
"Ya! Hati-hati."
Berlari kecil aku segera menghampirinya.
"Mama, Tumben sekali jemput Belin di sekolah?"
"Mama lagi senggang. Ayo cepat masuk! Mama punya hadiah buat kamu di rumah." Katanya sumringah.
Masih banyak yang ingin aku katakan namun aku mengurungkan niatku dan langsung mengikutinya masuk ke dalam mobil. Hanya ada Keheningan di dalam mobil selama perjalanan menuju rumah.
Sesampainya di rumah. Mama menarik tanganku lembut menuju kamar. Sebuah kotak hadiah berwarna putih dengan pita hitam tergeletak di atas tempat tidurku.
"Mama tadi ke toko baju. Saat melihat baju ini tiba-tiba mama kepikiran kamu."
Aku melihat isi kotak tersebut. Baju dress sederhana berwarna cream dengan motif bunga bergaya kuno.
"Makasih Ma."
"Nanti dipakai ya. Mama mau lihat."
"Iya." Aku tersenyum masam sembari menatap dress itu.
Baju ini bukan seleraku, tapi aku tidak bisa menolaknya. Bagaimana bisa Mama kepikiran tentangku ketika melihatnya?
Baju yang diberikan mama kini sudah melekat ditubuhku dengan pas.
"Hm... not bad." ucapku sambil menatap pantulan diriku di cermin.
Berputar ke kanan, berputar ke kiri. Aku melihat seberapa cocoknya baju ini menempel di tubuhku.
"Aduh!" Tiba-tiba saja leherku kembali gatal dan berdenyut. Berbeda dari yang tadi, kali ini benar-benar sangat gatal.
Aku mencoba menggaruknya, namun tidak juga berkurang gatalnya. Plester yang menempel di leherku sangat menyulitkanku untuk menggaruk ditempat yang tepat.
Aku tidak tahan. Aku melepas plester itu dengan kasar. Lalu menggaruk dengan satu tangan. Gatal sekali. Tidak terasa aku menggunakan kedua tanganku. Setelah beberapa menit aku merasa mulai baikkan, rasa gatal itu sudah mereda.
Kini Kedua tanganku berlumuran darah. Aku kembali meraba leherku. Aneh. Aku merasakan ada benjolan kecil. Aku menatap cermin kembali melihat ada apa disana? Ahh.... Sepertinya luka ini menjadi terinfeksi sehingga muncul benjolan-benjolan kecil.
"Uhh sakit!" Aku menyentuhnya perlahan masih ingin menggaruknya. Tidak peduli akan sebesar apa lukanya nanti.
"Lakukan terus."
Suara bisikan itu kembali terdengar. Kini suaranya menjadi sangat jelas. Aku menatap lekat pantulanku dalam cermin.
Aku membatu melihat sosok yang menempel pada leher kiriku. Matanya melotot dengan lidah menjulur pada lenganku.
"Khihihihii...."
"Ahhkk!"
Aku menjerit keras mencoba menyingkirkannya. Tanganku kembali mendarat pada leher kiriku, menggaruk garuknya.
"Pergi! Pergi!"
Air mataku keluar saking takutnya. Kedua tanganku sudah penuh dengan darah. Suara langkah kaki cepat memasuki kamarku. Mama datang lalu segera memelukku.
"Mama! Ada hantu." Aku mengadu dengan isak tangis tergugu. Sosok itu sangat menyeramkan.
"Bukan sayang bukan." Mama mencoba menenangkanku.
"Mama.... Di-dia menempel disini! dia disini."
Aku menunjukan leherku pada mama. Jelas luka itu sangat menggangguku hingga sekarang. Mama mengusapnya dengan lembut, membersihkan darah yang masih keluar.
"Kamu tenang ya, sayang. Tidak apa-apa."
"Mama...." Aku menangis dipelukannya.
Setelah beberapa saat kemudian tangisanku mulai mereda. Mama sudah membersihkan lukaku, memberiku air minum agar lebih tenang.
"Belinda, apa yang kamu lihat barusan?"
"Aku melihat hantu Ma! Ke-kepalanya menempel pada leherku." Nadaku gemetar. Aku masih sangat ketakutan. Sekujur tubuhku merinding tak karuan.
"Bagaimana wujudnya?"
Mama bertanya dengan mata yang sendu. Aku menatapnya bingung. "Dia perempuan dan sangat menyeramkan."
Mama menggelengkan kepalanya lalu mengusap wajahku lembut.
"Ada apa Ma?" tanyaku khawatir.
"Kamu sekarang sudah berumur 17 tahun. Mama akan memberitahu kamu sesuatu."
Aku menatapnya lekat dengan penuh rasa penasaran.
"Dia adalah saudaramu."
"A-apa maksud Mama?"
Tolong bilang kalau aku salah mendengar perkataan Mama.
"Mama seharusnya melahirkan bayi kembar, namun sayangnya ada kelainan genetik pada kelahiran kalian. Antara kamu dan dia. Mama...." ucapannya terbata. "... Mama harus memutuskan siapa yang hidup dan siapa yang harus mati...." Seketika tangis Mama tumpah.
Aku ikut menangis mendengarnya. Mama mengusap wajahnya, mencoba menghilangkan jejak air mata.
"Pasti banyak yang ingin kamu ketahui. Kamu boleh tanya semuanya sekarang." Mama tersenyum simpul menunggu pertanyaanku.
"Ma, kenapa Mama sangat tegas padaku? Tetapi ketika mendekati tanggal 16 sikap Mama berubah. Mama menjadi lebih lembut. Apa yang salah?"
"Tidak ada yang salah, sayang. Sewaktu kamu kecil, mama sudah memberikan kasih sayang yang cukup untuk kamu. Ketika kamu beranjak dewasa mama ingin kamu menjadi lebih kuat. Sedangkan saudaramu...."
"Lalu, kenapa setiap tanggal 16 aku tidak ingat apa-apa?"
Mama memelukku erat.
"Kamu tahu, sayang. Papamu meninggal ketika kamu baru berumur 3 tahun. Sulit bagi Mama untuk tetap bertahan. Tapi berkat kalian, Mama mampu bertahan sampai saat ini. Hanya kalian yang Mama punya. Mama tidak mau kehilangan kalian berdua."
"Berdua? Apa maksud mama?"
Mama melepas pelukannya lalu menatapku dalam.
"Mama membiarkan Melinda hidup di tubuhmu." ucapnya pelan.
"Apa?! Jadi selama ini setiap tanggal 16 aku dirasuki?"
"Iya."
Aku masih tidak percaya dengan apa yang aku dengar. Dirasuki? Yang benar saja.
"Tapi ini tubuhku Ma!"
"Iya, mama tahu. Mama hanya ingin kamu mengerti bagaimana perasaan mama selama ini. Mama tidak bisa kehilangan Melinda."
"Lalu aku bagaimana? Bagaimana perasaaanku? Apa Mama tidak memikirkanku? Dalam sehari saja ... Dia mampu menghancurkan hidupku Ma!" Nadaku penuh penekanan.
"Sayang tenang ya. Tolong kamu pahami Mama ya."
"Tidak mah! Ini tidak benar."
Amarahku meluap. Bayangan kejadian lampau bermunculan diingatanku. Bagaimana perlakuan Mama terhadapku. Hukumannya yang selalu membayangiku. Masalah yang selalu muncul setelah tanggal 16.
"Apa lebih baik mama mati saja?"
Deg.
Aku terdiam. Amarah yang tadi menggebu berubah menjadi ketakutan. Netra Mama menggelap.
"Ma, jangan bicara seperti itu." Suaraku memelan.
"Kalau kamu mau Mama tetap hidup biarkan Melinda berada di tubuhmu. Mama pastikan tidak akan terjadi apa-apa. Mama akan selalu mengawasinya." Ucapnya dengan wajah serius.
Aku mengangguk lemah. Mama lalu tersenyum senang. Tangannya menarikku kedalam pelukannya.
"Makasih, sayang."Tak apa. Lebih baik aku mengalah daripada harus kehilangan Mama.
....
Ruangan gelap yang entah aku sedang berada dimana kini. "Kamu menerimaku sekarang?"
suara ini, "Melinda?"
"Ya saudaraku. Jadi... apa kamu menerimaku?"
Aku mencoba mencari keberadaannya. Tapi mataku tak bisa melihat apapun. Kegelapan di ruangan ini sangat pekat dan terasa lembab.
"Demi mama, aku akan meminjamkan tubuhku setiap tanggal 16."
"Hihihihiiii.... Bagus."
Sepertinya aku membuat keputusan yang salah. Seandainya saat itu aku menolaknya....