Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
10% Love Shot
1
Suka
1,403
Dibaca

Apa sih yang membuat lo jatuh cinta?

Apakah ketika lo dengan gabutnya meng-scroll sosial media. Lantas dari hasil pencarian lo nemuin si doi?

Atau ketika lo terdiam sejenak seolah terbius dengan kecantikan si lawan jenis saat nggak sengaja berpapasan di lorong toilet?

Atau saat lo sengaja melirik ke arah adik kelas yang duduk serampangan, menampakkan sepasang kaki ciptaan Tuhan yang begitu elok.

But, say no to me!

Elo pasti bakal ketawa sampai terpelanting jungkar bolak-balik kalau elo dengar cerita gue. By the way, my name is Edward. Keren kan nama gue? Ya iyalah. Bokap gue lahir di Paris dan Nyokap gue lahir di Sumatra.

“Woi kali... Itu nama jalan raya, bukan nama Negara atau Pulau. Jangan tertipu!” (suara teriak alias backsound)

Ini yang barusan teriak, itu adik gue. Adik gue yang merasa paling cantik di rumah ini. Katanya mirip Ariana Grande. Hmm, setelah kupikir-kupikir bagaimana kalau Mbak Ariana sampai dengar kalau adik gue yang namanya Capitra ini ngaku-ngaku mirip beliau? Hmm, gue yakin dia bakal ketawa kayak gue. Dia modal cantik karena make up doang. “Hahahaha....”

“Jangan suka menghina gue deh. Barangkali cewek yang elo suka entar, mirip gue kalau lagi nggak pakai make up,”

“Bising, ganggu aja.”

So, kita mulai aja. Ini cerita gue.

***

Bel berbunyi cukup kuat hari ini. Entah disebabkan oleh kelas sumpek nan sunyi ataukah kami yang sudah lemas terkena asupan mate-mati-ka. Bulan ini adalah bulan Mei. Tandanya musim panas telah datang. Musim yang paling dibenci oleh gue. Ya iyalah, masa enggak. Di saat masa puber kayak begini, di saat keringat gue lagi bau gila-gilanya. Bahkan monyet aja bisa pingsan cium bau ketiak gue. Gue harus menahan itu semua demi eksistensi gue sebagai Mr. Handsome di SMA Arta Harapan. Sudah dua tahun gue mendapatkan gelar lisan tersebut. Ya iyalah, gue cowok paling tampan di sekolah. Bukan sombong sih, tapi ya beginilah jadinya.

“Ed, makan yuk! Mamang bakso mangkal di depan tuh!”

“Ngaco. Lah udah seminggu Mamang nggak nongkrong di depan. Ngawur anak ini,”

“Ini beneran deh, suer. Gue udah pastiin tadi pagi,”

“Elo dapat info dari mana?”

“Biasa lah, paling Petro dapat info dari sekolah cewek sebelah. Ya kan?”

“Ini nimbrung aja kayak burung beo. Udah ah. Jadi, Pak Edward dan Pak Narno ini mau ikut makan bakso nggak? Nanti habis dimakan sama cewek-cewek dari sekolah sebelah loh!”

Gue dan Narno pasang gas menuju warung depan, tinggalin Petro, sang informan sekolah. Dia itu bisa dibilang wartawan lapangan. Semua kejadian bahkan gosip di sekolah pasti dia tahu. Mulai dari Pak Bambang, satpam sekolah yang pernah ketahuan menjalin kasih dengan Bu Andini, penjaga kantin sekolah. Pak Plontos, eh maksudnya Pak Kepala Sekolah yang pernah keinjak kotoran burung di halaman belakang sekolah. Waktu itu baunya memenuhi lantai sekolah. Baunya itu menyebar ke seantero sekolah. Elo pasti nggak bisa bayangin kalau ternyata baunya sampai terbawa ke hidung elo sampai berhari-hari. Apalagi karena hidung gue memang sensitif banget. Terpaksa kami semua dipulangkan dari sekolah lebih awal. Ada baiknya sih Pak Plontos keinjak kotoran. Hahaha ....

Bagaskara makin mengangkasa di kala jarum jam tangan yang telingkar di lengan kanan gue mengarah lurus ke atas. Tertinggal bekas keringat di balik jam tangan, pemberian seseorang sebulan yang lalu.

“Elo masih cari si cewek itu?”

“Ya, iyalah,”

“Ed, emang lo masih ingat wajah cewek itu? Ya, kali.”

“Ingat lah. Satu-satunya cewek dari sekolah sebelah yang mukanya kayak aspal sebelum diratain, mukanya merah kayak kepiting rebus. Apalagi alisnya kayak sayap elang kalau dibentangkan. Pasti gue ingat lah!”

“Eits, muka si Cheryl yang baru nembak elo dua hari aja, lo udah lupa. Lah, ini, jangan-jangan...”

“Bising lo pada.”

Selama sebulan penuh kami bertiga rutin menyantap santapan sore di kedai kopi Pak Kausar. Lebih tepatnya hanya gue yang rela duduk di kursi dekat jendela yang panasnya membelah benak. Maklum posisi kedai ini berada tepat di seberang bengkel mobil. Ditambah abang-abang montir kaus bersinglet itu tanpa tampang bersalah meminta sopir bus sampai taksi memarkir kendaraan yang hendak diperbaiki secara serampangan. Akibatnya, tentu saja Jalan Paris ini tak terhindar dari yang namanya kemacetan. Tak ada pohon rindang satu pun di sekitaran sini. Bahkan dulunya gue putarin Jalan Paris hampir belasan kali untuk nemuin kedai kopi ini. Tak tampak kentara karena terapit di antara dua gedung perkantoran dengan jendela kacanya yang menyilaukan mata. Menambah efek panas luar biasa di dalam kedai kopi. Walau gue dan konsumen lain meminta barista untuk menurunkan suhu pendingin ruangan, aura panas tetap membumbung tinggi mengangkasa. Kesal, namun hanya kedai kopi Pak Kausar yang menyajikan makanan dan minuman dengan harga super miring dan you know lah ... nongkrong di kedai kopi adalah kenikmatan hakiki bagi cowok di usia remaja. Menikmati secangkir kopi sembari mencuci mata. Asik bukan?

Lonceng pintu masuk kedai berbunyi sekali, mengingatkanku pada memori dua bulan yang lalu. Tepatnya di awal bulan Maret. Tak seperti biasa awan keabu-abuan mulai menghiasi langit biru cerah hanya dalam hitungan beberapa menit. Gue berteduh di halte angkot setelah badan gue dan seisi ransel gue basah semua. Halte dipenuhi dengan orang-orang, tak cukup jika gue harus duduk di sana. Apalagi ditambah dengan cewek-cewek berseragam putih abu-abu mulai melirik-lirik ke arah gue. Memang gue cukup terkenal di sekolah gue dan sekolah khusus cewek di sebelah sekolah gue ini. Yah, maklum lah gue kan cowok yang selalu menjadi angan-angan para wanita.

“Eh, gue denger elo udah punya gandengan ya?”

“Eh, yang benar! Kasih tahu ke gue dong!”

Tak banyak hal yang gue bisa dengar dari obrolan ketiga cewek yang kurang lebih jaraknya semeter dari tempat gue berdiri. Namun, gue akhirnya bergabung dengan mereka karena satu hal bodoh. Satu kesalahan paling bodoh adalah gue mengiyakan perkataan salah seorang dari mereka. Cewek yang dengan lancangnya mengaku gue sebagai cowoknya. “Ini hadiah untukmu ya! Jam couple!” ujarnya setelah kurang lebih dua pekan pacaran alias settingan. Anehnya, gue biarin jam tangan itu terlingkar di lengan kanan gue sampai saat ini.

“Cie, Edward pacaran sama si Jennie, cewek kodok di sekolah sebelah woi!”

Trending!

Seantero sekolah tahu hubungan kami berdua. Hancur sudah. Gelar Mr Handsome gue terancam karena ulah si buruk rupa Jennie itu. Mending cantik kayak Jennie, anggota girlgroup asal Korea Selatan. Tapi ini, astaga. Joroknya minta ampun. Pernah suatu kali saat gue memintanya mengerjakan tugas pekerjaan rumah mate-mati-ka, terpaksa gue mentraktirnya bakso. Yang dia lakukan adalah menunjukkan kehebatannya dalam mengeluarkan mi kuning dari lubang hidungnya. What!?

***

Gue muak dengan semua ini. Dihina, dikucilkan, dibentak, sampai dilempari sampah. Emang lo bisa ngerti dengan itu semua? Ha? Ok. Gue memang salah ngaku-ngaku elo sebagai cowok gue. Gue cewek aneh yang buat hidup lo kacau. Gue emang sampah dan itu semua belum cukup? Gue tahu, gue harus nurutin semua keinginan elo. Kerjakan PR, bersihin rumah lo, sampai bersihin rumah anjing lo. Tetapi, apa lo nggak keterlaluan? Gue juga manusia. Apa tolak ukur kodrat manusia terletak pada paras dan bentuk tubuhnya? Jika iya? Mengapa para pemangku jabatan yang perutnya layaknya balon kebanyakan gas dan kepala plontos seperti bulan purnama bisa punya jabatan yang tinggi, hidupnya enak, banyak dipuja dan disanjung orang walaupun memiliki wajah pas-pasan?

“Gue mau mati aja!”

Benar-benar kalimat itu membuat gue bertanya-tanya. Jujur, dia cewek satu-satunya yang pernah bilang ke gue kayak gitu. Satu-satunya orang yang berani ngebentak gue setelah adik gue. Seharusnya, gue juga berhak marah. Tentu saja gue nggak terima kalau dia dengan serampangan ngaku-ngaku gue sebagai cowoknya. Tapi, dia juga yang membuat gue berpikir dua kali. Apa iya? Gue sudah keterlaluan padanya? Kami yang selalu mengejeknya karena memiliki wajah buruk rupa?

Hal bodoh kedua yang gue pernah lakuin adalah gue nggak ngejar dia waktu itu. Lebih tepatnya sebulan yang lalu. Di sini. Tepat di meja secangkir cappucino kini berada. Gue hanya menatapnya pergi. Apa lagi kalau bukan gengsi? Waktu itu terlalu banyak anak sekolah gue dan sekolahnya yang berkumpul di kedai kopi Pak Kausar. Habiskan penat setelah ujian akhir semester kelas sepuluh telah usai. Dia nangis waktu itu. Gue pernah taruhan, gue bisa buat dia nangis dalam sepuluh hari. Tentu saja gue menang.

Namun, ini yang kudapatkan. Tak dapat kutemui dirinya setelah kejadian itu. Padahal, dia sering duduk sendirian di sini. Di kursi dekat jendela. Membiarkan kulit hitam gosongnya terpapar sinar bagaskara dari jendela. “Biarkan ia membakar kulitku dan isi otakku sampai hangus. Aku nggak peduli lagi.” ujarnya. Walau akhir-akhir ini gue mulai menyadari, dia memiliki tone kulit yang menurut gue manis, sawo matang.

Kuangkat lengan kananku. Menatap dua buah jarum jam di balik layar bundarnya. Sesekali memantulkan bayanganku di sana. Jarum pendek di angka tujuh. Jarum panjang di angka empat.

“Ed, elo yakin masih mau tungguin dia di sini?”

Kuanggukkan kepala tanda jawaban, iya. Gue tetap menatap ke luar jendela. Kebiasaan yang gue lakukan selama sebulan terakhir. Malam makin dingin. Suasana kedai kopi Pak Kausar makin sepi setelah Narno dan Petro beranjak pergi. Di kala siang terlalu panas dan pusing, malam hari terasa lebih sejuk dan sunyi. Tak ada yang bisa gue lakukan hari ini selain menunggu. Dua hari yang lalu, gue baru mendapatkan kabar dari Petro, ia pindah. Kata orang ia pulang kampung. Tapi benarkah ia pulang kampung? Rasanya masih nggak bisa memercayai bahwa gue seperti dicampakkan namun sebenarnya bukan dicampakkan. Selama ini gue yang mencampakkan mereka yang tergila-gila dengan gue. Sekarang gue yang malah dicampakkan?

Lonceng bel terdengar berbunyi kesekian kalinya. Gue sudah nggak minat dengan suara itu. Kalau bukan cowok yang masuk, pasti cewek-cewek yang berpakaian minim masuk ke dalam kedai. Baru kali ini, gue nggak minat sama sekali dengan keelokan tubuh lawan jenis makhluk hidup sang ciptaan Tuhan, walau sesekali ada yang mengajakku mengobrol. Jawaban yang terlontar di gue hanya dua. Tidak. Gue sudah punya pacar. Gue mesti ketemu si cewek kodok itu untuk pastiin semua hal.

“Lo masih pakai jam tangan itu?” Seorang cewek tiba-tiba berjalan mendekati. Ia memiliki paras bagai bidadari. Alisnya yang dicabut tipis dengan lengkungan sempurna dalam bentuk wajahnya yang oval. Tatkala bibir merona merah muda layaknya buah jambu menambah keindahan lekuk tebuhnya. Ia tinggi semampai dengan tone kulit sawo matang. Mengenakan mini dress hijau selutut, menampakkan kakinya yang jenjang. Dengan lancang duduk di kursi persis di depan meja gue. Komputer di otak gue seperti membuka Data D, mencari folder cewek cantik di sekolah SMA Arta Harapan dan SMA Dwi Harapan. No idea.

“Elo siapa? Elo tahu apa tentang jam tangan ini?” Tentu saja gue acuh sama cewek di depan gue ini. Jangan-jangan dia itu teman yang suka menghina si cewek kodok. Cantik parah soalnya dan plus gue sedang lagi nggak mood untuk menggodanya. Baru kali ini gue nggak suka memandangi baju minim mereka dan kadang berpikir apakah mereka nggak risi dengan semua itu hanya karena ingin menarik perhatian cowok?

“Gue mencintai orang yang pakai jam tangan itu."

Suara gemuruh di luar kedai kopi terdengar begitu sangar sesaat ia melontarkan pernyataan atas pertanyaan gue. Setitik demi setitik langit meneteskan air, lantas memuntahkannya tatkala secangkir hot cappucino extra 10% shot pesanan gue telah mampir. Kedai kopi ini cukup unik. Mereka mendefinisikan one shot dengan 10% shot.

“Elo sebenarnya siapa sih? Elo kenal gue?” Amarah gue meninggi. Gue sama sekali nggak bisa membaca isi pikirannya. Ia adalah cewek ketiga setelah adik gue dan si cewek kodok yang sama sekali gue nggak bisa baca jalan pikirannya.

“Dek, jam tangan adek tadi ketinggalan di meja kasir,” Seorang barista berpakaian kemeja putih, celemek cokelat tua polos kontras dengan dasi kupu-kupu cokelat datang menghampiri. Lantas menaruh dengan sangat hati-hati sebuah jam tangan kulit berwarna hitam dan secangkir hot americano . “Hot americano extra 10%  telah siap!”

“Elo Jennie?”

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Drama
Novel
Bronze
Thongngin Fanngin Jitjong
Megumi
Novel
Bronze
Gedith Woman
Anglint
Skrip Film
Kembali Ke Masa Muda
Eva yunita
Cerpen
10% Love Shot
Veron Fang
Novel
Serendipity's Paradox
nandini s
Novel
Bronze
Odik Teros
Yesno S
Novel
Rectify
Cloverbean
Cerpen
Lidah Jujur
Mahalawan
Novel
Bronze
Pelangi Senja dalam Renjana
Noura N
Skrip Film
Darah Daging
Eko Hartono
Flash
Motivasi
Nurai Husnayah
Novel
Gold
Call Me Miss J
Noura Publishing
Novel
Enigmatic Soul
Nanas-imnida
Novel
Bronze
Mirror
Lolita Alvianti susintaningrum
Novel
Lembah Para Mafia
Yulistya Yoo
Rekomendasi
Cerpen
10% Love Shot
Veron Fang
Novel
Kisah Seorang Putri Rusa
Veron Fang
Cerpen
99.99% Headshot
Veron Fang
Flash
Serba Pertama Kali
Veron Fang
Novel
Bumbu Pecel Terakhir Nenek
Veron Fang