Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
1: Kopi dan Para Pemikir
Roman, anak dari seorang yang dituduh “perusak” yang telah diasingkan, atau bahkan telah hilang nyawa karena pro-demonstran. Pada dasarnya mereka anti terhadap orang-orang berbau kiri. Apa yang sebenarnya mereka khawatirkan? Mereka kumpulan pemikir, kumpulan orang-rang tua sampai muda yang minum kopi di rumah-rumah petak, beberapa ada di warung kopi.
Roman masih ingat betapa manisnya kopi di kedai Soe, pahitnya hilang begitu saja, padahal bubuk kopinya lebih dari dua sendok, ia bertanya-tanya berapa banyak gula yang dicampur pada kopi hitam itu.
Kini, tidak ada lagi bapak, tidak ada lagi sosok bersepeda dengan roda besar dan tinggi yang menghantarkan Roman pada kedai Soe untuk menikmati kopi yang-meski kelebihan manis- buatan Soe. Enak, katanya. Meskipun kalau dikecap-kecap lagi, rasanya kopi itu sudah kadaluarsa.
Soe bilang bahwa ini kopi kiriman dari Yaman! Yaman katanya! Padahal roman berkali-kali memergoki bungkus kopinya bergambar kapal. Tapi Roman tidak ambil pusing, selama Soe memberinya akses ke tumpukan buku bredel di belakang kedai, tidak apa.
Di belakang kedainya, beberapa tumpukan buku bredel ada di sana. Tinggal pilih yang mana mau diambil. Kalau kata Soe, yang penting bukan karya Bapak Sastra kita. Dia bilang begini; ... “Kalau kau ambil buku itu,” katanya sambil mencibir, “semua utang bapakmu akan kutagih”. Setelah dihitung-hitung ya hanya tiga cangkir .... Lalu dia menutup matanya dan menghembuskan napas berat, lalu berkata; ‘Sudahlah, tidak usah bayar!’
Dasar gundul yang plin-plan!
Roman sebenarnya penasaran pada buku-buku karya Bapak Sastra, tapi Soe bilang bukunya langka, susah sekali didapat. Sempat sesekali Roman menyelundup ke belakang kedai yang di gembok, ada beberapa dinding kayu yang sudah dimakan rayap, jadilah dia mengintip berapa banyak buku yang Soe simpan. Nyatanya ... mungkin sekitar dua puluh empat. Karena pada satu rak paling bawah terdiri dari sepuluh buku, atasnya juga sama, lalu beberapa buku bredel di meja reyot. Mungkin sebenarnya lebih dari dua puluh empat, Roman menyatakan seperti itu hanya karena dia melihat dari lubang. Lagipula sudah kepergok oleh Soe. Kalian tahu Soe berbuat apa selanjutnya, dia menutup mata dan menghembuskan napas berat, dirasa-rasa Soe ini memang hobinya begitu. Segera dia menarik Roman ke depan untuk membantu membungkus nasi kucing, dia berpesan ....
“Bungkusnya yang rapi! Kalau tidak kau tak akan aku buatkan kopi lagi.”
Nah, pada dasarnya kopi yang dibuat Soe ini bukan racikan sendiri, hanya kopi saset! Kalau begitu Roman juga bisa buat sendiri. tapi karena Roman bukan tipe membangkang, jadiah dia membungkus nasi kucing dengan rapi.
“Mau berapa banyak buat nasi kucing, Soe?” Roman berkecap-kecap mencicipi telur dadar yang tidak ada rasanya, barangkali Soe ini lupa menaruh garam.
“Lima saja, buat mahasiswa itu loh, yang pakai jas coklat kumal. Biasanya mereka mampir kesini buat makan nasi kucing. Paling nanti jam dua belas pada melipir kesini.” Soe yang menaruh lauk-pauk dan menyerahkan bungkusan pada Roman agar diikat pakai karet kuning.
“Telurnya tidak enak Soe! Kau ini tidak sedia garam atau bagaimana?”
Soe tersenyum malu-malu, “Memang habis garam di kedai, aku malas membeli, lagi pula harganya agak mahal. mereka menaikkan harga lagi.” Soe nampak melamun barang kali memang kenaikan harga ini merepotkan.
“Berarti tempe ini juga tidak asin?” Roman mengambil secuil rontokan tempe, “Benar-benar keterlaluan pelitnya!”
“Kau ini jangan terlalu idealis! Mahasiswa itu tidak akan keberatan, yang penting perut sudah diganjal,” ucapnya sambil membersihkan tangan. “Orang kalau lapar tidak akan mementingkan rasa, yang terpenting perut terisi supaya otak bisa jalan lagi. Bapakmu juga sama, idealis seperti kau! Jangan jadi seperti dia ... makan kalau tidak ada garam tidak mau makan. Bayangkan kita ini hidup serba mahal, paling sebentar lagi harga pangan makin naik. Mulutmu itu harus terbiasa makan seadanya.” Soe ini gemar sekali mencibir.
Roman hanya mengangguk, diam-diam mengejek Soe yang berbicara terus sambil mengaruk pantatnya, mungkin gatal karena tidak pernah ganti celana dalam.
“Mahasiswa itu masih sering datang kemari, Soe?"
“Iya, lumayan juga hasilnya, daganganku habis dan aku dapat dengar pembahasan mereka. kau tahu dua hari yang lalu mereka mengobrol apa? Soe menata nasi kucing di rak merah, “Satu dari mereka dihajar orang-orang kaus putih ... eh bukan kaus tapi kemeja, ya ... kemeja pendek. Kalau kata Dirman, mereka mata-mata.” Soe berhenti sejenak dan menoleh pada Roman, “Kau cuci gelasnya ya, aku malas terkena air. Aku jaga kedai dulu.”
Dia berhenti lagi dan menambahkan, “Sekarang orang kalau mau kritik sudah susah, mungkin juga dianggap tidak wajar bahkan gila.”
Bunyi sepatu beramai-ramai makin dekat dengan kedai, itulah mahasiswa jas coklat kumal, Roman tidak jadi mencuci gelas, dia lari ke depan untuk melihat siapa saja yang datang.
Dan benar ada lima orang, laki-laki semua. Si Dirman memakai kaus hitam, Jasnya sudah dilepas, satunya lagi kalau tidak salah ... Hardi yang masih pakai jas, yang lain hanya berkemeja, ada yang pendek dan panjang, Ali, Wicak, dan Darmono.
Roman hanya memunculkan kepalanya di jendela, berniat menguping saja. Lima orang tadi memesan kopi hitam, Dirman tidak pakai gula, yang lain pakai sedikit. Roman terkikik, tahu dengan pasti kalau tidak memesan begitu Soe akan menaruh gula terlalu banyak. Biasanya orang yang tidak berpesan begitu akan bilang saat pertama kami mencicip, “Bisa diabetes ini!”
Roman memperhatikan dengan seksama wajah para mahasiswa ... mereka ini terlalu banyak berpikir, sudah ada kerutan di dahinya, mungkin juga kurang tidur, lihat betapa hitam kantung mata Hardi. Roman berangan kalau saja dia bakal masuk ke perguruan tinggi dia juga akan berpenampilan seperti mereka. Kalau dipikir-pikir keren juga.
“Dengan dia bilang bahwa kita harus memperkuat rasa nasionalisme aku makin tidak sudi mendengar si kumis itu bicara. Dosen tua tak berguna itu sama sekali tidak pro-demokrasi.” Ali yang duduk di kursi kecil itu bergumam dengan muka kesal. Dan dia menambahkan, “Kita ini mau baca dan nulis saja kok ya dilarang.”
Kurasa semua termasuk Soe mendengarkan keluhan Ali, tapi Wicak malah membuka beberapa kerupuk dan nasi kucing, “Makan saja sudah, biarkan orang bicara apa.” Dia menikmati suapan pertama dan langsung mengomel, “Ga asin! Kamu tidak kasih garam, Soe?”
“Tidak usah lah! Telur dan tempe masih enak tanpa garam,” Soe menanggapi sambil menyerahkan kopi satu-satu kepada mereka.
“Cita rasa itu perlu, aku tidak mau lagi ah jajan di sini. Garam saja tidak ada, ini sih benar-benar makanan kucing, bukan nasi kucing.” Wicak kalau sedang kesal terlihat sekali dari mimik wajahnya.
“Masih mending, kalau kau jadi Rahardjo, bayangkan dia sedang apa sekarang di Jakarta.” Dirman menanggapi, “Diculik, lagi apa dia sekarang, emangnya bisa makan? Palingan meringis kesakitan. Kalau tidak ditaruh di rutan Salemba ya Cipinang.”
“Loh sejak kapan Rahardjo ke Jakarta?” Soe ikut nimbrung di meja bundar sambil menyalakan kreteknya.
Hardi menjawab dengan lesu, “Saat pulang kampung ke rumah neneknya, kita hanya menduga dia diculik karena tidak ada kabar setelah satu bulan lebih! Bayangkan bagaimana perasaan abangnya waktu Rahardjo tidak balik ke Yogyakarta.” Dia merebut kretek dari Soe, “Lagipula anak itu berani sekali, kritik langsung, apa-apa langsung terucap, apapun yang terlintas di pikiran langsung ditulis. Bocah gila!” Hardi mengernyit, “Ga enak kretekmu.”
“Biasalah, kretek murah.” Soe bergumam menerima kretek bekas isapan Hardi. “Uangku ga akan cukup untuk beli yang mahal.”
“Setelah pembredelan majalah T, aku tidak banyak menulis. Buat apa ... kalau-kalau hanya dicap pembangkang, tidak nasionalis. Tidak ada guna juga menulis pamflet terlalu sering, orang-orang itu jarang membaca.” Darmono berucap, membolak-balik salinan buku. “Ali juga tidak, ya ‘kan?”
“Memang, memang perlawanan bawah tanah ini juga membosankan. Kalau mahasiswa jas kuning itu ... mereka terjun ke jalan, nah aku maunya seperti itu. tapi di sini cocoknya begini sajalah.” Ali menyeruput kopinya, dan mendengus, “Aku sudah bilang gulanya dikit saja, Soe. Garam kau pelit tapi gula tidak kira-kira jumlahnya.”
“Ya mana enak kopi tidak manis. Dirman itu yang aneh, kopi kok milih yang pahit sekali.”
“Loh itu cita rasa kopi, Soe! Lidahku ini tidak biasa terpapar gula, nanti diabetes seperti bapakku.”
“Ngomong-ngomong soal bapak,” Ali memulai. “Bocah itu”, dia menunjuk pada Roman yang asyik menguping terang terangan, “Bapaknya mungkin satu-satunya dosen yang paling aku suka, naasnya mungkin anak itu tak bakal ketemu lagi dengan bapaknya. Sekarat dalam artian lain, soalnya ... orang-orang itu memang “tidak baik”.”
Pada saat itu Roman menghembuskan napas berat, menggenggam bajunya, kalau memang bapak sudah pada ambang kematian ... biakan begitu ... rasa-rasanya hendak menangis tapi apa guna, tidak akan orang-orang yang mengambil itu menggembalikan bapak. Dia berbalik, menjauh dari pembahasan mahasiswa jas coklat kumal. Tapi sebelum bisa berlari ke belakang, roman melihat dua pria berbaju putih dari jendela dapur, pada saat itu Roman mantapkan diri untuk lari, lari sejauh mungkin. Untuk Soe, Dirman, Hardi, Ali, Wicak dan Darmono, biarkan merka disana. Roman sama sekali tidak mau terlibat.
TAMAT