Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
1 Hari Sebelum Lupa
0
Suka
9
Dibaca

Bab 1 – Surat Pertama

Pagi itu, hujan turun tipis di Desa Jatiwangi. Udara masih dingin meskipun matahari sudah naik malu-malu dari balik awan. Yasira duduk di meja makan, menyelesaikan sarapan roti bakar yang sedikit gosong. Aroma mentega hangus bercampur dengan bau tanah basah, mengingatkannya pada pagi-pagi di masa kecil—saat Nenek Hana masih mengingat segalanya.

Ia meneguk teh manis buatan nenek. Terlalu manis, pikirnya. Tapi ia tak mengeluh.

Di sudut meja, di antara tumpukan koran lama dan botol salep kayu putih, matanya menangkap sesuatu yang tak biasa—selembar amplop kertas cokelat, tak tertutup rapat. Yasira menyentuhnya perlahan, seolah takut merusak sesuatu yang rapuh. Amplop itu tidak bertanggal, tanpa nama, dan tak ada tulisan di bagian luarnya.

“Ini surat?” gumamnya pelan.

Ia menoleh ke arah dapur, tempat Bu Hana tengah sibuk mengupas bawang dengan langkah yang sedikit gemetar. Jemarinya sudah tak setangkas dulu, tapi semangatnya tetap menyala. Yasira membuka amplop itu perlahan. Di dalamnya, ada selembar kertas yang dilipat rapi, dengan tulisan tangan yang ia kenal betul: huruf miring yang sedikit menurun, khas tulisan Nenek.

"Yasira sayang,

Jika kamu membaca ini, mungkin nenek sudah lupa pagi hari. Mungkin nenek lupa cara membuat roti, atau nama kucingmu, atau bahkan wajahmu. Maafkan nenek.

Nnek pernah hafal tawa kecilmu saat kau tertidur di pangkuanku. Nenek hafal cara kamu menyebut ‘Nenek’ dengan nada manja yang khas. Tapi waktu mulai mengambil sebagian dariku. Kadang nenek merasa sedang berjalan di koridor panjang dengan lampu-lampu yang padam satu per satu.

Tapi ingat ini: Nenek mencintaimu. Hari ini. Kemarin. Dan mungkin besok, walau nenek lupa kata cinta."

Yasira terdiam. Matanya menyusuri setiap kalimat, setiap lekukan tinta. Dada kirinya terasa sesak, seperti ada sesuatu yang berat tertahan di sana.

Surat itu bukan surat biasa. Ini bukan catatan lupa menyiram tanaman atau daftar belanja. Ini semacam pesan dari dunia lain—dunia tempat Nenek Hana mulai menghilang perlahan-lahan.

Ia membaca ulang baris demi baris, dan perasaannya makin larut.

“Kadang nenek takut. Bukan karena lupa itu sendiri, tapi karena kamu mungkin mengira nenek tidak sayang lagi. Padahal nenek masih di sini, di balik kabut. Menunggumu menyapa nenek, meski kadang nenek tak tahu siapa kamu.

Jangan menangis jika nenek keliru memanggilmu dengan nama ibumu. Jangan marah kalau nenek mengulang cerita yang sama lima kali. Itu karena dalam kepalaku, yang masih terang hanyalah masa lalu.”

Yasira memejamkan mata. Ia teringat kejadian dua hari lalu, saat Nenek memanggilnya dengan nama “Rika”—nama ibu Yasira. Waktu itu, ia hanya tersenyum kaku dan diam-diam pergi ke kamar sambil menahan air mata. Ia tak tahu harus bagaimana.

Kini ia tahu.

Surat itu bukan hanya kenangan, tapi juga panduan. Seperti lentera kecil yang ditinggalkan neneknya sebelum semua benar-benar gelap.

Suara sendok jatuh dari dapur membuat Yasira tersentak. Ia segera melipat surat itu dan menyelipkannya ke dalam buku harian yang selalu ia simpan di rak dekat jendela.

“Nek, roti bakarnya mau aku buatkan lagi?” tanyanya sambil berdiri.

Bu Hana menoleh pelan. Wajahnya teduh meski sedikit kosong. “Kamu tadi udah makan, Sayang?”

“Iya, Nek. Aku buatkan yang baru buat Nenek, ya?” katanya sambil tersenyum, menahan air mata.

Nenek mengangguk pelan. “Jangan lupa pakai mentega yang banyak. Kaya waktu kecil. Kamu suka yang pinggirnya renyah, kan?”

Yasira hanya tersenyum, meski tahu yang suka pinggiran renyah itu sebenarnya nenek sendiri. Tapi ia tidak membetulkan. Tidak hari ini. Ia ingin hari ini berjalan dengan tenang. Dengan hangat. Dengan wangi mentega dan roti yang terbakar.

 

Bab 2 – Nenek yang Berubah

Pagi itu matahari belum sepenuhnya naik ketika Yasira masuk ke dapur. Aroma roti bakar yang biasa menyambutnya setiap hari terasa absen. Biasanya, Bu Hana sudah duduk di kursi rotan dekat kompor, memutar-mutar sendok di atas cangkir tehnya yang mengepul pelan. Tapi pagi ini dapur sunyi, hanya suara ayam dari halaman belakang yang terdengar.

Yasira mengernyitkan dahi, membuka lemari es untuk mengecek. Roti masih utuh dalam plastik. Mentega belum disentuh. Ia menoleh ke arah kamar neneknya dan mendapati pintunya sedikit terbuka.

“Nek?” panggilnya pelan sambil mengetuk pintu. Tak ada jawaban.

Ia mendorong pintu pelan-pelan dan mendapati neneknya duduk di tepi ranjang, menghadap jendela yang terbuka lebar. Sinar pagi menyinari rambut putihnya yang rapi disanggul. Tapi ada sesuatu yang aneh. Bu Hana menatap kosong ke luar jendela, seperti sedang mencari sesuatu yang tak terlihat.

“Nek, Yasira bikin teh ya? Mau sarapan?”

Bu Hana menoleh perlahan. Tatapannya kosong sesaat, lalu berubah bingung. “Kau siapa?” tanyanya, suaranya lirih.

Yasira diam. Nafasnya tercekat. Ada jeda panjang sebelum Bu Hana tiba-tiba tertawa kecil.

“Aduh, kamu mirip sekali sama ibu kamu waktu kecil,” katanya sambil tersenyum, lalu menepuk lututnya sendiri. “Namamu siapa, sayang?”

“Yasira, Nek…” jawabnya perlahan. “Ini Yasira.”

“Oh… tentu saja, Yasira,” kata neneknya pelan, seolah mengulang untuk meyakinkan diri. Lalu ia melanjutkan, “Ibu kamu belum pulang dari pasar, ya?”

Yasira hanya mengangguk, menahan air mata yang mendesak di sudut matanya.

 ###

Hari-hari berikutnya, Yasira mulai mencatat lebih banyak hal. Di buku hariannya, ia menulis tanggal, waktu, dan peristiwa kecil yang terasa seperti retakan-retakan dalam ingatan Bu Hana.

3 Maret. Nenek lupa letak sendok. Menaruhnya di laci kain.

5 Maret. Nenek memanggilku ‘Rika’. Itu nama Ibu.

6 Maret. Roti dibakar dua kali. Nenek lupa sudah menyalakan kompor.

Perubahan itu datang perlahan, tapi pasti. Seperti daun-daun yang satu per satu gugur dari pohon, tak langsung gundul, tapi hilang perlahan.

Bu Hana masih tertawa ketika menonton sinetron sore, masih memarahi ayam-ayam yang masuk ke teras, masih memeluk Yasira setiap malam dan membacakan doa-doa dengan suara lembut. Tapi di sela-sela semua itu, terselip kekacauan kecil yang membuat Yasira gelisah.

Pernah suatu malam, Bu Hana masuk ke kamar Yasira dan duduk di ujung ranjang. Ia menggenggam tangan Yasira dengan erat.

“Jangan bilang ke Ibu ya, kalau aku sering lupa. Dia pasti marah…” bisiknya, seolah mengakui dosa kecil.

Yasira tak tahu harus menjawab apa. Ia hanya mengangguk, dan saat itu juga ia sadar bahwa neneknya pun menyadari apa yang sedang terjadi. Dan itu jauh lebih menyakitkan—ketika seseorang tahu bahwa dirinya sedang perlahan hilang, tapi tetap berusaha tegar demi orang lain.

 ###

Di sekolah, Yasira tampak biasa saja. Ia tetap tertawa saat Ayla membacakan puisi patah hati, dan tetap meminjam pulpen dari Fiza yang selalu membawa tiga pulpen warna-warni. Tapi ketika jam istirahat tiba, ia membuka buku hariannya diam-diam dan menulis:

9 Maret. Nenek bertanya apakah aku sudah makan, padahal kami baru saja selesai sarapan bersama.

10 Maret. Nenek bertanya di mana suaminya. Aku bilang sudah lama tiada. Dia diam, lalu bilang: “Oh ya… benar. Tapi tadi pagi aku lihat dia di beranda.”

Yasira tak ingin menghakimi. Ia hanya takut. Takut suatu hari nenek akan benar-benar tak mengenalinya. Takut kenangan mereka bersama akan lenyap lebih dulu dari ingatan Bu Hana.

Namun di balik semua ketakutan itu, masih ada sesuatu yang hangat. Seperti saat Bu Hana membuatkan teh untuknya—meski tanpa gula, meski airnya terlalu hangat—lalu berkata dengan mata berbinar, “Ini untukmu, Rika... eh, maksudku Yasira.”

Dan Yasira hanya tersenyum, menyesap teh yang pahit dengan dada yang manis-pahit pula.


Bab 3 – Roti Bakar dan Kenangan Lama

Pov Nenek

Pagi ini, aku bangun lebih awal dari biasanya. Masih gelap di luar, dan burung-burung belum mulai berkicau. Tapi tubuhku seolah tahu, ada sesuatu yang harus kulakukan. Sesuatu yang penting.

Aku berjalan perlahan ke dapur. Sendi-sendiku protes, tapi aku abaikan. Dapur ini... tempat ini... begitu akrab. Tanganku meraba permukaan meja kayu yang mulai kusam. Dulu, setiap pagi aku berdiri di sini—memotong roti, mengoleskan mentega, dan memanggangnya perlahan sambil mendengarkan suara kecil itu.

"Jangan gosong, Nek," katanya, dengan suara cemas yang selalu berhasil membuatku tertawa.

Yasira. Ya, itu namanya. Atau... siapa?

Aku mencoba mengingat. Gadis kecil dengan rambut kuncir dua dan mata yang besar. Ia suka duduk di kursi tinggi, menggoyang-goyangkan kakinya sambil bercerita tentang sekolah, tentang teman-temannya, atau tentang hujan yang membuatnya malas mandi.

Tanganku bergerak sendiri ke arah toples mentega. Aku tahu di mana letaknya, walau terkadang aku lupa apa yang harus kulakukan setelah membukanya. Tapi pagi ini, entah mengapa, segalanya terasa lebih jelas.

Aku memotong dua lembar roti, lalu mengoleskannya dengan mentega yang mulai mencair. Aroma khas itu menyelinap di hidungku—aroma pagi, aroma rumah, aroma kenangan. Roti itu kubakar di atas wajan datar, membaliknya pelan seperti biasa.

Di luar, langit mulai berwarna oranye samar. Embun menempel di kaca jendela, dan suara ayam terdengar jauh di belakang rumah. Semua terasa begitu akrab, begitu hangat.

Aku ingat, Yasira pernah menangis saat roti bakarnya gosong. “Aku nggak suka yang hitam-hitam, Nek,” katanya sambil mendorong piring menjauh. Tapi keesokan harinya, ia datang lagi ke dapur dengan mata berbinar, “Tapi aku suka bau menteganya.”

Kami tertawa lama pagi itu.

Sekarang, aku berdiri di dapur yang sama, tapi tidak ada suara tawa kecil. Tidak ada kaki mungil yang bergoyang dari kursi tinggi. Hanya aku dan suara roti yang memanas perlahan di atas wajan.

Aku ingin menulis. Sejak dulu, menulis adalah cara terbaikku mengingat. Di meja dekat jendela, ada buku tua dengan sampul bunga. Di situlah aku menyimpan sebagian kecil dari apa yang masih tersisa di kepalaku.

Kutatap halaman kosong, dan mulai menulis:

“Hari ini aku membuat roti bakar. Rasanya seperti dulu—sedikit gosong di pinggir, tapi harum mentega mengisi udara. Aku ingat tangan kecil yang pernah membantu mengoleskan selai, lalu menjilat jari sendiri. Aku ingat suara tertawanya. Aku ingat cinta. Dan meski wajahnya perlahan memudar dalam benakku, rasa itu tetap tinggal. Aku tak ingin lupa rasanya dicintai oleh cucuku.”

Tanganku bergetar saat menulis. Bukan karena lelah, tapi karena takut. Takut suatu hari nanti aku akan membuka buku ini dan tidak mengerti apa yang kutulis.

Aku tak tahu hari ini hari apa. Mungkin Selasa. Atau Jumat. Tapi pagi ini aku merasa lengkap. Karena aku ingat sesuatu yang benar-benar penting—roti bakar dan anak kecil yang selalu memanggilku Nenek dengan nada manja.

Aku menyentuh halaman itu pelan, mencoba menahan agar huruf-hurufnya tak kabur oleh air mata. Bukan air mata sedih. Ini semacam perasaan syukur, karena untuk sesaat, aku bisa mengingat dengan jernih. Meski hanya sebentar.

Kemudian aku mendengar suara langkah kaki di lorong. Lembut, ragu-ragu. Yasira muncul di ambang pintu, rambutnya masih berantakan, matanya setengah terbuka.

“Nenek udah bangun?” katanya sambil menguap.

Aku tersenyum. “Sudah, Sayang. Roti bakarnya masih hangat.”

Matanya langsung berbinar. Ia duduk di kursi tinggi yang sudah lama tak dipakainya, lalu menatapku dengan mata yang penuh cinta.

“Nenek ingat caranya?” tanyanya pelan, seperti tak ingin berharap terlalu banyak.

Aku mengangguk perlahan. “Hari ini, iya. Hari ini aku ingat.”

Ia tersenyum, dan untuk sesaat dunia terasa utuh kembali. Seolah tak ada yang hilang. Seolah semua kenangan itu akan tetap tinggal.

Dan aku pun tahu, walau suatu hari nanti aku tak lagi mengenalnya, rasa cinta ini tak akan pernah benar-benar hilang.

 

Bab 4 – Foto di Dinding

Sore itu, langit berwarna keemasan. Sinar matahari menembus sela-sela jendela besar di ruang tamu, menciptakan bayangan panjang dari perabotan tua. Yasira duduk di lantai, bersandar pada dinding yang penuh bingkai foto. Di pangkuannya, sebuah buku catatan terbuka, pena di tangan kanan, dan sepotong ingatan yang hendak dia selami.

Sudah sejak kecil Yasira tahu dinding itu istimewa. Bukan sekadar hiasan rumah, tapi seperti galeri pribadi yang menyimpan riwayat hidup neneknya. Ada foto pernikahan hitam putih, foto nenek dan kakek saat muda di kebun teh, foto ibunya waktu SD, dan beberapa lembar yang warnanya mulai pudar karena usia.

Namun hari ini, dinding itu tak hanya menjadi saksi kenangan. Ia menjadi jembatan—antara yang masih bisa dikenang, dan yang mulai mengabur dalam benak Bu Hana.

“Nek,” panggil Yasira pelan. Bu Hana tengah duduk di kursi rotan, menatap kosong ke luar jendela. “Boleh aku tanya soal foto-foto ini?”

Nenek menoleh pelan, matanya tampak lelah tapi tetap hangat.

“Foto yang mana, Sayang?”

Yasira berdiri, menunjuk ke sebuah foto tua: dua perempuan kecil berdiri berjejer, salah satunya mengenakan seragam sekolah, yang lain memeluk boneka lusuh.

“Ini siapa, Nek?”

Bu Hana menyipitkan mata, menatap lama. “Itu... hmm. Yang kanan itu ibumu, waktu TK. Yang di kiri... itu sepupunya. Lili, kalau aku tidak salah.”

Yasira mencatatnya di bukunya, kemudian bergeser ke bingkai berikutnya. Kali ini, foto Bu Hana muda berdiri di depan rumah panggung dengan kain batik menutup bahu.

“Ini di mana?”

Nenek tersenyum kecil. “Itu rumah orang tua nenek, di kampung sebelah. Waktu itu nenek baru pulang dari pasar, habis belanja untuk lebaran.”

Yasira mengangguk, terus menulis. Ia merasa seperti peneliti yang sedang mengumpulkan artefak terakhir dari sebuah peradaban yang hampir lenyap.

“Kenapa Nenek simpan semua foto ini?”

Butuh waktu sebelum Bu Hana menjawab. Tatapannya mengarah pada bingkai paling atas—foto dirinya bersama almarhum suaminya, Pak Amir, yang tersenyum dengan mata menyipit karena matahari.

“Karena kadang kita butuh pengingat,” katanya pelan. “Bukan hanya tentang siapa kita dulu, tapi tentang siapa saja yang pernah kita cintai.”

Yasira terdiam. Kata-kata itu sederhana, tapi terasa begitu dalam. Ia kembali duduk, kali ini menatap foto dirinya sendiri waktu kecil—berdiri di samping Bu Hana dengan roti bakar di tangan, keduanya tertawa ke arah kamera.

“Nenek masih ingat hari ini?” tanyanya, menunjuk foto itu.

Bu Hana menggeleng pelan. “Tidak semuanya, Sayang. Tapi aku tahu aku bahagia hari itu. Lihat senyum kita.”

Yasira tersenyum, menahan rasa perih yang menyesap diam-diam. Bukan karena neneknya lupa, tapi karena ia menyadari—meski kenangan bisa pudar, rasa bahagia yang tercipta darinya akan tetap tinggal di dalam hati.

Mereka menghabiskan sore itu dengan duduk berdampingan, Yasira membaca catatan kecilnya sambil sesekali meminta nenek mengisi bagian-bagian kosong. Kadang jawabannya jelas, kadang samar. Kadang Bu Hana mengingat dengan yakin, kadang hanya menatap dan tersenyum, lalu berkata, “Mungkin begitu.”

Namun Yasira tetap menulis.

Ia tahu, ada hal-hal yang tidak bisa dilawan—waktu, ingatan, dan pelupa yang datang seperti embun pagi. Tapi ia juga tahu, ada yang bisa dilestarikan: kasih sayang, kedekatan, dan usaha kecil untuk tetap mengingat bersama.

Menjelang magrib, Yasira berdiri dan merapikan bukunya. Ia mencium tangan Bu Hana lalu berkata, “Besok kita lanjut lagi, ya. Masih banyak foto yang belum dikisahkan.”

Bu Hana mengangguk. “Besok... kalau nenek masih ingat.”

Yasira menggenggam tangannya. “Kalau Nenek lupa, aku yang ingatkan.”

Dan di tengah ruang tamu yang diterangi cahaya jingga, di antara bayangan dan kenangan, mereka duduk berdua—seorang cucu dan seorang nenek—menyusun kembali kepingan ingatan, satu bingkai demi satu bingkai.


Bab 5 – Surat yang Disembunyikan

Hari itu Yasira sedang mencari buku lamanya di lemari kayu tua milik Bu Hana. Laci-lacinya penuh dengan kain tenun, kantong plastik, dan majalah lawas. Tapi ketika ia menarik laci paling bawah yang selama ini selalu macet, sesuatu yang tak biasa menyambutnya.

Ada sebuah kotak sepatu tua berwarna cokelat kusam. Diikat pita lusuh yang warnanya sudah pudar. Yasira sempat ragu, tapi rasa penasarannya lebih kuat dari kekhawatiran akan melanggar privasi.

Ia duduk di atas lantai, membuka kotak itu perlahan. Di dalamnya, tumpukan surat. Puluhan. Mungkin lebih dari tiga puluh, semuanya dilipat rapi. Sebagian tertulis dengan tinta hitam, sebagian biru. Dan semua... tertuju padanya.

Yasira tercinta...

Yasira tertegun. Ia membuka satu surat paling atas. Tangannya gemetar saat membaca:

“Yasira, maaf kalau suatu hari nanti aku memanggilmu dengan nama lain. Mungkin aku akan terlihat seperti orang asing bagimu. Tapi ingatlah, tidak ada satu pun bagian dari diriku yang ingin melupakanmu. Aku hanya tidak punya pilihan.”

Ia menarik napas panjang. Kata-kata itu menusuk lembut tapi dalam, seperti pelukan yang lama tertunda. Surat itu ditulis dengan tulisan tangan Bu Hana yang khas—miring, sedikit bergelombang, tapi rapi.

Ia membaca surat berikutnya. Dan berikutnya. Isinya berbeda-beda: tentang hari-hari mereka membuat kue, tentang cerita lucu sewaktu Yasira kecil, tentang kesedihan kehilangan kakek, tentang ketakutan akan hari ketika Bu Hana tak lagi mengenali siapa pun.

Yasira tak sadar air matanya jatuh. Bukan karena sedih semata, tapi karena setiap surat itu terasa seperti jaring yang menahan kenangan agar tak jatuh ke dasar lupa.

Salah satu surat, ditulis di atas kertas bergaris sobekan buku harian:

“Aku menyembunyikan surat-surat ini karena aku takut. Bukan takut mati, tapi takut pergi tanpa meninggalkan apa pun untukmu. Aku takut dunia akan menjadi terlalu asing buatmu saat aku tak lagi bisa menjadi tempat pulang.”

Yasira menggenggam kertas itu erat. Dunia memang berubah. Sekolah semakin menuntut, teman-teman bicara soal kuliah, soal cita-cita, soal masa depan. Tapi di rumah ini, bersama nenek, waktu berjalan lebih lambat—seperti ingin memberi ruang untuk mengingat, dan mengucapkan selamat tinggal dengan perlahan.

Suara langkah kaki membuatnya mendongak. Bu Hana berdiri di ambang pintu, tampak sedikit bingung.

“Kamu lagi apa, Sayang?”

Yasira buru-buru menyeka wajahnya. “Maaf, Nek. Aku nemu ini... di dalam lemari.”

Bu Hana menatap kotak sepatu itu. Lalu, pelan-pelan wajahnya berubah. Bukan marah. Bukan juga kaget. Tapi seperti seseorang yang tiba-tiba menyadari bahwa ia pernah meninggalkan sesuatu yang sangat penting.

“Itu... surat-suratku, ya?” katanya lirih.

Yasira mengangguk. “Untuk aku semua?”

Bu Hana mendekat, duduk perlahan di samping Yasira. Ia mengambil satu surat, membacanya sekilas, lalu tersenyum kecil.

“Waktu menulis surat-surat itu, nenek belum terlalu sering lupa. Tapi nenek sudah bisa merasakannya... seperti kabut yang mulai menutup jalan.”

Yasira menggenggam tangan neneknya.

“Aku senang Nenek tulis semua ini. Sekarang aku tahu... bahwa bahkan saat Nenek lupa, cinta Nenek nggak pernah pergi.”

Bu Hana mengangguk pelan. “Nenek mungkin tak bisa menjanjikan ingatan. Tapi nenek bisa meninggalkan kata-kata. Semoga itu cukup.”

Mereka duduk berdua di lantai, membaca beberapa surat bersama. Kadang tertawa, kadang terdiam lama. Yasira tahu, surat-surat itu adalah warisan yang paling jujur—bukan harta, bukan foto, tapi sepucuk demi sepucuk cinta yang ditulis dengan kesadaran bahwa waktu bisa merenggut segalanya, kecuali ketulusan.

Menjelang malam, Yasira mengembalikan surat-surat itu ke dalam kotak. Tapi kali ini, ia tidak menyembunyikannya lagi.

Kotak itu ia letakkan di rak kecil dekat tempat tidur Bu Hana—tempat yang mudah dijangkau, seandainya suatu hari nanti nenek ingin membaca kembali bagian dari dirinya yang mungkin telah ia lupakan.

Dan malam itu, Yasira menulis di buku hariannya:

“Hari ini aku membaca surat-surat dari masa lalu. Surat dari seseorang yang mungkin besok tak lagi ingat namaku. Tapi aku tahu, namaku pernah jadi rumah di dalam hatinya. Dan itu... sudah lebih dari cukup.”

 

Bab 6 – Hujan dan Bau Tanah

Pov Nenek

Hari itu hujan turun sejak subuh. Rintiknya deras, membasuh atap seng rumah dan menimbulkan suara yang menenangkan. Aku duduk di kursi rotan menghadap jendela, secangkir teh melati di tangan, tubuhku dibungkus selimut tipis pemberian Yasira.

Aku menyukai hujan. Ada sesuatu yang diam-diam menenangkan dalam bau tanah basah, seperti mengingatkan pada sesuatu yang dulu pernah kukenal, entah kapan. Entah apa.

Hari ini... entah hari apa.

Aku sudah tidak terlalu yakin tentang waktu. Kalender di dinding seperti hiasan saja—aku tahu harusnya berguna, tapi tetap tak bisa membantuku mengingat. Kadang, angka-angka dan nama hari seperti kabur, seolah dicuci pelan-pelan oleh hujan di dalam kepalaku sendiri.

Tapi ada satu hal yang aku ingat dengan jelas: Yasira.

Anak itu selalu membuatku ingin bertahan. Senyumnya, suaranya, caranya menatapku dengan sabar—semua itu membuat jiwaku merasa utuh, walau pikiranku seringkali tak bisa mengikutinya.

Aku memikirkan satu hari tertentu, bertahun-tahun lalu, saat Yasira masih kecil. Ia sakit demam tinggi. Tubuhnya panas seperti bara, matanya nyaris tak terbuka. Aku panik—sangat panik. Rumah sedang sepi. Tak ada ambulans, tak ada tetangga yang bisa diminta tolong. Aku hanya punya tubuh renta ini dan tekad untuk tidak membiarkannya sendiri.

Kupeluk tubuh kecilnya dengan kain basah. Kubacakan doa, kugendong ia meski kakiku gemetar. Dan saat hujan turun di luar, aku berdiri di depan pintu sambil menatap langit, berharap Tuhan mendengar harapanku: jangan ambil dia. Jangan sekarang. Jangan pernah.

Yasira sembuh. Perlahan. Dan hari itu menjadi salah satu hari paling membekas dalam hidupku.

Hari ini, hujan turun dengan bau tanah yang sama. Bau itu—bau tanah basah yang menembus jendela—seperti membawa kembali kenangan tentang suamiku juga. Amir.

Ia suka hujan. Suka menanam setelah hujan turun. “Tanah jadi lembut,” katanya waktu itu. “Lebih mudah tumbuh, lebih mudah hidup.”

Aku merindukannya. Tapi aku tak ingin terlalu lama tenggelam dalam rindu, karena Yasira masih ada. Ia seperti tunas kecil yang tumbuh di dalam hatiku, memberi harapan, memberi makna di hari-hari yang perlahan berubah bentuk.

Kadang aku ingin menulis surat untuk Amir. Tapi entah untuk apa. Ia sudah pergi. Dan aku... sedang menuju kepergian yang berbeda. Bukan kematian—belum. Tapi pelupaan.

Dan melupakan itu menyakitkan dengan cara yang tak bisa dijelaskan. Seperti menonton pasir jatuh satu per satu dari tanganmu, tahu bahwa kau pernah memilikinya, tapi tak bisa lagi mengingat bentuknya.

Maka aku menulis saja surat untuk Yasira. Menuliskan kenangan-kenangan kecil yang bisa aku ingat, sebelum kabut itu datang lagi.

“Yasira sayang, pernahkah kau tahu bahwa waktu kau sakit dan hujan turun deras, aku berdoa sampai tubuhku menggigil? Aku takut kehilanganmu lebih dari apa pun di dunia ini. Waktu itu aku merasa sangat sendiri, tapi juga sangat yakin bahwa kau akan sembuh. Dan kau sembuh. Kau tumbuh. Kau menjadi anak yang baik, penuh cinta. Terima kasih sudah tinggal bersamaku. Terima kasih tidak pergi.”

Aku melipat surat itu, menyelipkannya ke dalam kotak yang kini sudah tak lagi kusimpan rapat-rapat. Aku ingin Yasira tahu. Semua.

Hujan masih turun saat Yasira pulang sekolah. Seragamnya basah sebagian, rambutnya lengket karena keringat dan hujan.

“Nenek nulis lagi, ya?” tanyanya sambil menatapku.

Aku mengangguk. “Tentang hujan. Tentang kamu.”

Ia tersenyum, dan di senyumnya itu ada cahaya yang menghalau segala kabut dalam pikiranku. Untuk sesaat, aku merasa semuanya baik-baik saja.

Aku tahu aku tak akan selalu bisa mengingat. Mungkin suatu hari aku akan benar-benar lupa siapa dia, siapa aku, siapa kami. Tapi aku percaya, selama hatiku masih bisa merasakan kasih, maka cinta itu tidak benar-benar pergi.

Dan hujan hari ini, dengan bau tanah yang familiar, menjadi pengingat bahwa hidup itu memang terus basah oleh kenangan. Meski samar, meski kabur, ia tetap meninggalkan jejak.


Bab 7 – Hari Tanpa Nama

Pov Yasira

Pagi itu tidak seperti biasanya.

Biasanya, suara langkah nenek yang pelan dan suara air dari teko di dapur menjadi alarm lembutku. Tapi pagi ini, rumah terlalu sunyi. Tak ada aroma roti bakar, tak ada suara air mendidih, tak ada suara nenek yang bersenandung lagu lama kesukaannya.

Aku turun dari kamar dengan langkah ragu, menyusuri lorong menuju dapur. Nenek duduk di meja makan, sendirian. Tatapannya kosong. Di tangannya, cangkir teh yang tak tersentuh. Aku langsung tahu—ada sesuatu yang salah.

“Nek?” sapaku pelan, mencoba tak mengejutkannya.

Ia menoleh. Matanya menatapku. Tapi tak ada pengakuan di sana. Tak ada cahaya yang biasanya bersinar setiap kali ia melihatku.

“Kamu... siapa?” tanyanya pelan, suaranya serak.

Aku terpaku. Dunia berhenti sejenak. Kalimat itu menamparku lebih keras dari apa pun yang pernah kudengar.

“Nek, ini aku... Yasira.”

Ia menyipitkan mata, seolah memaksakan ingatan muncul dari kabut yang menelannya. Tapi ia hanya menggeleng pelan.

“Maaf ya... saya tidak ingat.”

Aku menarik napas panjang, mencoba menahan air mata yang sudah berkumpul di pelupuk. Ini bukan kali pertama nenek lupa hal-hal kecil—nama teman lama, tempat meletakkan kacamata, bahkan tanggal. Tapi ini pertama kalinya ia lupa... aku.

Dan meski aku sudah mempersiapkan diri, membaca semua suratnya, mengulang semua kenangan dalam kepala, nyatanya rasa sakit itu nyata. Lebih nyata dari apa pun.

Aku duduk di sampingnya, pelan. “Nek, nggak apa-apa. Aku di sini.”

Ia menatapku lagi. Lama. Lalu melihat ke tangannya sendiri, ke jari-jarinya yang mulai keriput, seolah mencari petunjuk siapa dirinya sendiri.

“Aku... sudah tua, ya?” katanya lirih.

Aku mengangguk, tersenyum samar. “Tapi masih cantik.”

Ia terkekeh kecil, lalu menghela napas. “Kalau kamu kenal aku... mungkin kamu bisa bantu kasih tahu... siapa namaku?”

Hatiku mencelos. Tapi aku jawab dengan suara lembut, “Nama Nenek Hana. Bu Hana.”

Ia mengangguk pelan, seperti mencicipi nama itu di lidahnya. “Bu Hana... ya. Itu terdengar... familiar.”

Aku berdiri, mengambil satu surat dari kotak di dekat tempat tidur. Surat yang terakhir ia tulis beberapa hari lalu, tentang hujan dan kenangan. Kusodorkan kertas itu padanya.

“Nenek yang nulis ini. Mungkin bisa bantu mengingat.”

Ia menerima kertas itu, membaca perlahan. Wajahnya masih terlihat bingung, tapi sesekali alisnya bergerak, seolah ada sesuatu yang mencoba menembus kabut.

“Ini tentang anak kecil yang... sakit?” gumamnya.

“Ya. Itu aku.”

Ia menatapku. Kali ini lebih lama. Matanya berkaca-kaca.

“Aku benar-benar tidak tahu siapa kamu. Tapi... rasanya aku sayang padamu.”

Aku tidak bisa lagi menahan air mata. Kutarik tubuhnya ke pelukanku. “Itu cukup, Nek. Itu lebih dari cukup.”

Hari itu kami lalui dengan tenang. Aku membacakan beberapa surat untuknya, bercerita tentang kenangan kami. Kadang ia tertawa, kadang ia menangis, kadang ia hanya diam. Tapi pelukan kami tak pernah lepas.

Menjelang sore, saat cahaya matahari mulai menguning, ia memanggilku dari kursi di beranda.

“Yasira,” katanya tiba-tiba.

Aku terdiam. Napasku tertahan. Itu pertama kalinya ia menyebut namaku sejak pagi.

Kujawab dengan suara tercekat, “Ya, Nek?”

Ia tersenyum lembut. Senyum yang penuh kasih dan kehangatan. Senyum yang selama ini jadi rumah bagiku.

“Terima kasih sudah tetap di sini... meskipun aku lupa.”

Aku menunduk, mencium tangannya. “Aku nggak ke mana-mana, Nek. Aku akan tetap di sini, meskipun Nenek lupa setiap hari.”

Hari itu tidak punya nama. Tak ada kepastian waktu. Tapi bagiku, itu adalah hari paling penting. Hari ketika aku tahu bahwa cinta sejati tak harus datang dari ingatan yang utuh. Ia bisa hidup bahkan saat nama tak diingat, bahkan saat wajah tak dikenali.

Karena cinta... tak pernah benar-benar lupa.


Bab 8 – Warisan Tak Tertulis

Pov Yasira

Hari-hari berlalu tanpa banyak perubahan. Nenek masih sering melupakan nama-nama dan tempat-tempat. Tetapi ada satu hal yang selalu ia ingat: aku. Setiap kali ia melihatku, ada senyum lembut di wajahnya, meskipun kadang ia tak bisa memanggilku dengan nama yang tepat. Ia menyebutku dengan berbagai panggilan—kadang "Sayang," kadang "Anakku," dan kadang hanya "Kamu."

Tapi aku tidak keberatan. Tidak ada nama yang lebih indah dari itu.

Di tengah-tengah semua ini, aku sering merenung tentang apa yang sebenarnya nenek wariskan padaku. Jika bukan ingatan, jika bukan benda-benda berharga yang bisa kupegang, lalu apa yang bisa kuterima dari dirinya? Apa yang akan tetap hidup setelah ia tak ada lagi? Apa yang bisa kupelajari dari kehidupan sederhana yang telah ia jalani selama puluhan tahun?

Kadang aku merasa seperti tidak memiliki cukup waktu untuk mengungkapkan semua pertanyaan itu kepadanya. Tapi dalam diam, dalam setiap kata yang ia ucapkan meskipun bingung, aku merasa ada sesuatu yang lebih dalam—sesuatu yang tidak bisa ditulis di atas kertas, tapi selalu ada dalam setiap tindakan.

Hari itu, aku duduk di meja makan, menatap rak-rak buku tua di sudut ruangan. Beberapa buku milik nenek masih ada, buku masakan, novel-novel lama, dan jurnal kecil yang ia tulis di masa muda. Ada juga album foto yang sudah mulai pudar warnanya. Aku menarik satu album foto itu, membuka lembar demi lembar, dan mulai mengingat kembali setiap cerita yang tersimpan di sana.

Foto-foto itu, meskipun usang, tidak pernah gagal membawa kembali kenangan tentang kehidupan yang pernah aku nikmati bersama nenek dan kakek. Tertawa bersama di dapur, bermain di halaman belakang, bahkan sekadar duduk di bawah pohon mangga sambil menikmati sore yang damai.

Aku menemukan foto kami bertiga, nenek, kakek, dan aku. Aku masih sangat kecil, mungkin sekitar lima atau enam tahun. Kakek memegang sebuah kamera tua, dan nenek tersenyum lebar di sampingku. Itu adalah salah satu foto kesukaan kakek. Aku tak pernah tahu alasan pastinya, tapi aku tahu bahwa ada rasa cinta yang besar di balik setiap senyuman mereka.

Kakek telah tiada sejak lama, meninggalkan nenek dengan kenangan-kenangan yang sulit terhapus. Aku sering mendengar nenek bercerita tentangnya, tentang bagaimana mereka dulu bekerja keras untuk membesarkan anak-anak dan menjaga rumah ini. Ada keteguhan dalam setiap kata yang ia ucapkan, meskipun ingatannya semakin pudar.

Ketika aku memandang foto itu, aku teringat akan pesan yang selalu ia ulang-ulang padaku: "Jaga rumah ini, Yasira. Ini bukan hanya tempat tinggal, ini tempat cinta dan kerja keras."

Aku menutup album foto itu, lalu memandang sekitar rumah. Rumah tua ini memang tak banyak berubah. Dindingnya mungkin mulai retak di sana-sini, tetapi setiap sudutnya dipenuhi dengan kenangan yang tak bisa dilenyapkan oleh waktu. Aku tahu, meskipun nenek lupa banyak hal, ia tidak pernah lupa akan rumah ini. Ia tidak pernah lupa bagaimana ia merawatnya, bagaimana ia merawatku.

"Yasira, kemarilah!" suara nenek terdengar dari ruang tamu. Aku bergegas berdiri dan berjalan ke arahnya.

Ia duduk di kursi panjang dekat jendela, menatap ke luar dengan mata yang kosong, tapi aku tahu ia sedang memikirkan sesuatu yang jauh.

"Apa yang kamu lakukan, Sayang?" tanyanya, masih dengan suara lembutnya.

"Aku hanya melihat foto-foto lama, Nek," jawabku sambil duduk di sampingnya.

Ia tersenyum dan mengangkat tangannya, seolah ingin meraih sesuatu yang tak ada di dekatnya. "Aku dulu sering menulis, kan? Apa yang aku tulis, ya? Kenapa aku lupa?"

Aku menggenggam tangannya. "Nenek menulis banyak hal. Tapi yang paling penting adalah yang Nenek ajarkan: kesabaran, cinta, dan kerja keras. Itu yang paling berharga buat aku."

Ia menatapku dengan tatapan kosong, tetapi seakan ada sesuatu yang bisa ia pahami dari kata-kataku. "Jadi... itu yang akan kamu ingat?" tanyanya pelan.

"Ya," jawabku tegas. "Itu yang akan aku ingat."

Aku mengangguk, dan meskipun ia mungkin tidak sepenuhnya paham, aku merasa kata-kata itu sudah cukup. Aku tahu, tanpa disadari, nenek telah meninggalkan banyak warisan dalam bentuk nilai-nilai hidup yang tak tertulis, yang jauh lebih berharga daripada segala materi yang bisa diwariskan. Dan meskipun ia mungkin tak bisa mengingat semuanya, aku akan memastikan bahwa warisan itu terus hidup dalam hidupku.

Setiap kali aku melakukan sesuatu dengan penuh perhatian, setiap kali aku merawat rumah ini dengan kasih sayang yang sama seperti yang nenek tunjukkan padaku, aku tahu aku sedang melanjutkan apa yang telah dia ajarkan—walau dengan cara yang tak terlihat.

Aku memandang wajah nenek, senyum tipis di bibirnya, meskipun matanya mulai redup. Tapi aku tahu, cinta yang ia berikan—meskipun tak tercatat dalam buku atau foto—akan terus hidup. Itu adalah warisan tak tertulis yang akan selalu aku jaga.


Bab 9 – Satu Hari Sebelum Lupa

Pov Nenek

Hari itu, aku merasa ada yang berbeda. Meskipun hujan tak turun lagi, meskipun sinar matahari tetap masuk melalui jendela, ada perasaan kosong yang mengisi ruang di dalam diriku. Semakin hari, ingatanku semakin sulit dipahami, seperti aku terperangkap dalam kabut tebal yang tak kunjung hilang. Nama-nama, tempat-tempat, bahkan suara-suara, semuanya mengabur. Tapi ada satu hal yang tetap jelas dalam pikiranku: Yasira.

Aku menatapnya sekarang, duduk di sampingku dengan wajah yang penuh kasih, seolah ia tahu bahwa hari ini adalah salah satu hari yang paling berat. Mata Yasira terlihat lebih dalam dari biasanya, seolah ia melihat lebih jauh daripada sekadar tubuhku yang kini menua, atau rambutku yang telah memutih.

Aku ingin menulis lagi. Untuk Yasira. Aku ingin memastikan bahwa sebelum aku benar-benar lupa, aku sudah meninggalkan sesuatu untuknya—sesuatu yang bisa ia pegang, yang bisa ia kenang meskipun tak lagi ada ingatan yang mengikatku padanya.

Aku mencari selembar kertas dan pena. Tangan-tanganku gemetar, tetapi aku tahu ini adalah satu-satunya kesempatan untuk menulis surat ini.

“Yasira, sayangku,

Jika kamu membaca surat ini, aku ingin kamu tahu bahwa aku bangga padamu. Bangga telah melihatmu tumbuh menjadi seorang gadis yang penuh kasih, yang selalu menempatkan orang lain di hatimu, yang tidak pernah lelah memberikan cinta meskipun dunia tidak selalu membalasnya dengan cara yang sama.

Aku tahu aku tidak selalu bisa mengingat hari-hari bersama kita, dan itu membuat hatiku sangat berat. Aku tidak bisa mengingat nama-nama, tidak bisa mengingat tempat-tempat, tidak bisa mengingat waktu. Tapi ada satu hal yang tidak pernah bisa aku lupakan—dan itu adalah perasaan bahwa aku mencintaimu. Itu adalah perasaan yang lebih dalam dari segala sesuatu yang bisa aku pahami. Aku tidak tahu mengapa, tetapi aku merasa kamu adalah bagian dari diriku yang tak terpisahkan.”

Aku berhenti menulis sebentar, mataku terasa kabur, tetapi aku terus mencoba menulis. Aku harus menyelesaikan surat ini.

“Aku tidak bisa memastikan berapa lama lagi aku akan berada di sini, Yasira. Aku merasa hari-hari semakin pendek, dan aku takut waktu yang tersisa tidak cukup untuk mengatakan semuanya. Tapi jika ada satu hal yang bisa aku titipkan padamu, itu adalah pesan ini: Jangan pernah takut untuk mencintai, untuk merawat, dan untuk selalu memberi. Cinta adalah kekuatan yang lebih kuat daripada ingatan. Cinta adalah apa yang akan tetap hidup meskipun kita lupa segala hal lainnya.

Jaga dirimu dengan baik. Jaga rumah ini, yang sudah lama penuh kenangan dan cinta. Jadikan setiap hari sebagai kesempatan untuk merayakan hidup, seperti yang aku dan kakek lakukan. Jangan biarkan waktu atau ingatan menghalangimu dari merasakan keindahan setiap momen yang ada.

Aku mungkin tidak akan ingat semuanya, Yasira. Tapi aku akan selalu ingat kamu, dan itu cukup untuk membuatku merasa damai.”

Aku berhenti menulis. Tetesan air mataku jatuh di atas surat itu, membasahi kertas yang mulai terlipat. Aku merasa ada beban yang sangat besar di dalam dada, tetapi juga ada kedamaian. Setidaknya, aku tahu aku telah menulisnya. Setidaknya, aku tahu bahwa meskipun aku akan melupakan banyak hal, cinta ini tidak akan pernah hilang.

Aku melipat surat itu dengan hati-hati, lalu meletakkannya di atas meja samping tempat tidurku. Saat aku menatap Yasira, ia sedang berdiri di dekat jendela, melihat ke luar. Wajahnya terlihat khawatir, tetapi saat ia menoleh dan melihatku, ada senyum lembut di bibirnya. Senyum yang mengingatkanku pada kakek, pada hari-hari yang telah lewat, pada semua yang pernah kita bagi bersama.

Aku merasa tenang. Meskipun ingatanku mulai menghilang, ada hal-hal yang tidak bisa dilupakan—ada cinta yang akan tetap ada, meskipun waktu terus bergerak.

Dan ketika saat itu datang—saat di mana aku akan melupakan semuanya—aku tahu Yasira akan ada di sana, membawa semua kenangan itu dalam hatinya, dengan cara yang lebih indah daripada yang pernah aku bayangkan.

Aku memejamkan mata, merasa seolah aku sudah memberi semuanya, meskipun aku tahu itu tidak akan pernah cukup.

Tapi cinta... selalu cukup.


Bab 10 – Surat Terakhir

Pov Yasira

Aku duduk di samping nenek, yang kini terbaring lemah di tempat tidur. Wajahnya pucat, pernapasannya pelan, dan matanya tertutup rapat. Sebuah kesunyian yang dalam mengisi ruang di sekeliling kami, seperti waktu yang berhenti sejenak, memberi kesempatan bagi kenangan untuk mengalir kembali.

Di tanganku ada selembar surat yang telah ia tulis beberapa hari lalu. Surat yang baru saja kutemukan di atas meja kecil di samping tempat tidur. Surat yang seharusnya tidak aku temukan begitu cepat, tetapi aku tahu inilah saatnya—saat di mana kata-kata terakhir yang ia tulis untukku bisa menyentuh hati yang semakin lemah dan rapuh.

Aku membuka lipatan surat itu dengan hati-hati, berusaha agar tak ada satu pun kata yang terlewat.

“Yasira, sayangku,

Jika kamu membaca surat ini, aku ingin kamu tahu bahwa aku bangga padamu. Bangga telah melihatmu tumbuh menjadi seorang gadis yang penuh kasih, yang selalu menempatkan orang lain di hatimu, yang tidak pernah lelah memberikan cinta meskipun dunia tidak selalu membalasnya dengan cara yang sama.”

Aku berhenti sejenak. Aku bisa merasakan setiap kata itu, meskipun hatiku terasa berat. Kata-kata itu datang dari seorang nenek yang mungkin telah kehilangan sebagian besar ingatannya, tapi cinta yang ia tulis tidak pernah pudar. Cinta itu tetap hidup, terjaga dalam setiap huruf yang ia susun.

Aku melanjutkan membaca:

“Aku tahu aku tidak selalu bisa mengingat hari-hari bersama kita, dan itu membuat hatiku sangat berat. Aku tidak bisa mengingat nama-nama, tidak bisa mengingat tempat-tempat, tidak bisa mengingat waktu. Tapi ada satu hal yang tidak pernah bisa aku lupakan—dan itu adalah perasaan bahwa aku mencintaimu. Itu adalah perasaan yang lebih dalam dari segala sesuatu yang bisa aku pahami. Aku tidak tahu mengapa, tetapi aku merasa kamu adalah bagian dari diriku yang tak terpisahkan.”

Aku bisa merasakan hangatnya air mata yang menggenang di pelupuk mataku. Betapa dalamnya perasaan nenek, betapa besar cintanya padaku, meskipun dia sudah tak lagi bisa mengingat wajahku dengan jelas. Aku tahu ia tak akan pernah melupakan betapa aku selalu berada di sisinya, merawatnya, dan mendampinginya dalam setiap langkahnya yang semakin goyah.

Lanjutnya:

“Aku tidak bisa memastikan berapa lama lagi aku akan berada di sini, Yasira. Aku merasa hari-hari semakin pendek, dan aku takut waktu yang tersisa tidak cukup untuk mengatakan semuanya. Tapi jika ada satu hal yang bisa aku titipkan padamu, itu adalah pesan ini: Jangan pernah takut untuk mencintai, untuk merawat, dan untuk selalu memberi. Cinta adalah kekuatan yang lebih kuat daripada ingatan. Cinta adalah apa yang akan tetap hidup meskipun kita lupa segala hal lainnya.”

Aku terisak. Cinta itu lebih kuat dari ingatan. Cinta itu yang akan tetap hidup, bahkan ketika memori terhapus oleh waktu. Bahkan ketika nama tak lagi dikenali, cinta tetap menjadi pengikat yang mengikat hati. Aku merasa begitu diberkati karena bisa merasakan cinta nenek yang tulus ini, bahkan saat ia sudah berada di ujung waktu.

Jaga dirimu dengan baik. Jaga rumah ini, yang sudah lama penuh kenangan dan cinta. Jadikan setiap hari sebagai kesempatan untuk merayakan hidup, seperti yang aku dan kakek lakukan. Jangan biarkan waktu atau ingatan menghalangimu dari merasakan keindahan setiap momen yang ada.

Aku mungkin tidak akan ingat semuanya, Yasira. Tapi aku akan selalu ingat kamu, dan itu cukup untuk membuatku merasa damai.

Aku selesai membaca surat itu, dan rasa haru yang mendalam mengisi hatiku. Nenek yang telah menjadi sumber cinta dan kekuatan dalam hidupku, sekarang tak lagi bisa mengingat banyak hal. Tetapi melalui surat ini, ia telah memberikan warisan yang lebih besar dari apa pun yang bisa kubayangkan—sebuah warisan cinta yang tak akan pernah hilang.

Aku meletakkan surat itu di samping tangan nenek, lalu menggenggam tangannya dengan lembut. Ada perasaan yang begitu mendalam dalam diriku—campuran antara kesedihan dan rasa syukur yang tak terungkapkan dengan kata-kata. Aku tahu bahwa walaupun ia tidak lagi bisa mengingat banyak hal, aku akan selalu mengingatnya. Aku akan mengingatnya dengan cara yang lebih indah daripada sekadar ingatan.

Aku menundukkan kepala dan berbisik pelan, meskipun ia tak bisa mendengar lagi, "Terima kasih, Nek. Terima kasih untuk semuanya. Cintamu akan selalu hidup dalam hatiku."

Saat itu, aku merasa seolah dunia berhenti berputar sejenak. Tangan nenek terasa semakin dingin, dan suara napasnya semakin pelan. Tapi aku tahu, meskipun ia tak lagi sadar, ia telah memberikan segalanya yang paling berharga untukku—cinta yang tak pernah benar-benar hilang.

Dan dalam hati, aku berjanji untuk menjaga cinta itu. Tidak hanya dengan ingatan, tetapi dengan setiap tindakan, setiap kasih sayang, setiap momen yang akan datang.

Karena cinta itu adalah warisan yang tak tertulis. Dan itu, tidak akan pernah terlupakan.


“Meski ingatan perlahan menghilang, cinta yang tulus akan tetap abadi, terukir dalam setiap tindakan, kenangan, dan ikatan yang tercipta. Cinta sejati adalah warisan yang lebih berharga dari harta, karena meskipun waktu membuat kita lupa banyak hal, kasih sayang yang kita beri akan terus hidup, mengisi ruang di hati orang yang kita cintai, tak terhapus oleh apapun.”-Ayara

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Novel
Our Ending
Ria Lian
Novel
Harta, Tahta, Onty Desya
Tiara Elsabila
Novel
merpati pengantar surat
Helmy thaher
Cerpen
1 Hari Sebelum Lupa
Ainul Hidayah
Novel
Bronze
BUMI Ajari Aku Kematian
Nofi Yendri Sudiar
Novel
Bronze
Rembulan di Celah Satu Jam
I am Queen"tii
Novel
You Are My Remedy
Wardatul Jannah
Novel
PETRICHOR
Ratna Arifian
Novel
Borgol Membawa Petaka
Baiq Desi Rindrawati
Komik
Kilogram
Dwirns
Flash
Karisma Seniman
Berkat Studio
Cerpen
Bronze
Jangan Lupa Bahagia
Vitri Dwi Mantik
Flash
Bronze
Gaza Feminine Energy
Silvarani
Cerpen
Bronze
Sang Penjaga Marwah
Dialogika Setiawan
Novel
Gold
Story of Volley Club
Mizan Publishing
Rekomendasi
Cerpen
1 Hari Sebelum Lupa
Ainul Hidayah
Cerpen
Ayah di Bawah Pohon Mangga
Ainul Hidayah
Cerpen
Langit Kita Berbeda
Ainul Hidayah
Cerpen
Bronze
Ayah di Bawah Pohon Mangga II
Ainul Hidayah
Cerpen
Bronze
Langit Kita Berbeda
Ainul Hidayah