Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
099
0
Suka
859
Dibaca

“Kenapa, Yah?” Aku heran, dengan kelakuannya, setiap kali teman-teman kuajak datang ke rumah untuk kumpul.

Pasti, kelakuan salah satu orang tuaku aneh, paling utama itu ayah. Terlebih, aku berkali-kali memergoki ayahku, melirik satu dari teman tongkrongan.

Melirik dalam arti ada sesuatu hal yang ingin ayahku temukan, anehnya tidak pernah mau bercerita. Mungkin saja, aku bisa bantu ‘kan?

Sayangnya, ini tidak.

“Bukan apa-apa.”

Tuh kan! Lagi-lagi jawaban yang sama. “Kalo ayah begitu terus, yang ada temanku risih!”

Pada akhirnya, aku tak mendapat jawaban lagi. “Ibu nggak ngeri atau was-was, kali aja ayah menyimpang?”

“Heh!”

“Ih lagian ayah nggak mau jelasin! Sama nggak sadar diri kalo lirikan ayah tuh kaya ada sesuatunya!” Aku kesal bukan berarti menyumpahi ada hal menyimpang begitu.

“Yang menolongmu.”

“Hah?” Kali ini aku bingung, padahal ayah memberitahu. Anehnya, membuatku roaming.

Ayah hanya mendengkus, seeprtinya kesal denganku. Sedangkan ibu, menggelengkan kepala, walau penasaran juga dengan kelakuan aneh berkesan menyimpang yang ayah lakukan.

“Ingat, yang dulu ayah cerita?”

“Tunggu! Maksudnya ….”

Ayah malah pergi, tanpa melanjutkan penjelasan lagi. Kulirik ibu, seolah memahami sesuatu, tetapi ikutan pergi juga. Sedangkan, diriku.

Ya, aku tahu tentang cerita yang ayah maksud. Hanya saja, aku tak mengerti kenapa ayah bisa menghubungkannya dengan salah satu temanku.

“Ikatan batin kah?” Aku percaya hal itu, bukan juga bermaksud tak bisa menerima. Justru aku senang.

Hanya saja, kalau misalnya temanku—ah bukan teman dekat, justru akulah yang mendekat dan sering memaksanya untuk gabung, karena sendirian mulu.

Anehnya, dia diam seperti kesal. Akhirnya, menurut. Bukan hal itu, maksudku kalau misalnya dia lebih dulu tahu hal yang ayah maksud.

Kenapa tidak berkata apapun padaku, atau melakukan hal seharusnya sebagai bentuk untuk menyelesaikan masalah? Pertanggung jawaban?

Aku pusing, hingga akhirnya memutuskan berkeliaran. Seperti yang kujelaskan sebelumnya, dia bukan teman dekat, justru aku yang mendekat.

“Magnet ikatan?” Aku tak mengerti, yang pasti aku senang, cuma kenapa dia tak mengatakan apapun.

Apa mungkin, takut menjadi perusak?

“Kak.” Dari awal mendekat, sebelum menyadari hal aneh hingga saat melihat kelakuan ayah yang aneh, aku menyadarinya. Aku sudah memanggilnya dengan sebutan kakak.

Awalnya refleks, efek aku anak tunggal. Dari semua teman dekat, entah kenapa aku malah berani asal menyebut kakak, terus mendekati, mengusik, dan memaksa untuk ikut denganku.

Yang kupanggil seperti biasa diam, asyik duduk di pinggir jalan. Ya, ini satu alasan aku sering mendekat duluan, karena heran diajak gabung tidak mau, anehnya malah nongkrong sendirian sudah gitu di pinggir jalan.

Wajar bukan? Aku memaksa gabung, dan nongkrong di tongkrongan yang tepat?

“Kakak!” panggilku lagi.

Bukan balasan, malah lirikan singkat. Bahkan, sembari asyik menyeruput sekaleng kopi.

“Ada sesuatu kah?” Aku sengaja spontan.

“Ada atau nggaknya, aku nggak terlalu peduli.”

Aku diam mendengar jawabannya, walau berkesan plin-plan enggan menjawab, yang pasti aku merasa itu kejujuran dan berhubungan erat dengan maksud ayah.

“Jadi, sungguhan kakak ya?” ucapku, berhasil menghentikan langkah kakinya.

Sayangnya, dia hanya bergeming tanpa menoleh dan memberi penjelasan.

“Ayah ingin bertemu, apa ….”

“Katakan padanya, nggak perlu anggap atau melakukan sesuatu hal untuk penebusan, karena cukup mengetahui wajahnya, bagiku sudah cukup.”

Aku agak tersentak, saat dia melirik dengan sorot mata biasa, anehnya kenapa terasa lebih aneh dari biasanya.

“Karena aku lebih suka menjadi bayangan dan asing.”

“Tapi, kalo bertemu?”

“Bukannya sudah sering bertemu?

Aku geram sendiri. “Bukan itu maksudku! Maksudnya bertemu buat berbicara serius empat mata gitu!”

Dia hanya bergeming, sepertinya memang aku harus selalu memaksa. Buktinya, walau kesal dia menurut, tak pernah ada niatan menepis dan melakukan hal kasar untuk melepaskan diri dari gangguanku.

Aku tak mengira, kalau ayah sudah menyuruh semua berkumpul. Kulirik dia—selalu kupanggil kakak, ternyata kakak sungguhan, walau berbeda ibu.

Ya, ternyata ayah dulu melakukan kesalahan. Itu bukan karena keinginannya, tetapi terjebak. Itu terjadi, seminggu sebelum menikah dengan ibuku.

Walau benar, memicu konflik, yang pasti ayahku tak bermaksud melukai ibu. Hanya, untuk melakukan tanggung jawab, akhirnya masalah reda.

Ditambah, tidak pernah ada tanda dari wanita yang tak mengetahui masalah apapun, menjadi korban jebakan itu. Untuk muncul meminta tanggung jawab.

Membuat ayah bingung, bahkan keluarga ibuku mulai paham dan merasa memang harus berhenti menyalahkan, karena memang bukan keinginan ayah.

“Kau ….”

Aku sengaja terus menahannya, agar tak pergi. Membiarkan ayah memulai pembicaraan duluan. Namun, seperti biasa dia—kakak, selalu tak menjawab.

Untung saja, tadi aku sudah duluan menginterogasi, karena kakak itu kalau sudah ditanya, tidak akan menjawab pertanyaan sama persis sebelumnya.

Ayahku berdeham, kebingungan sekaligus memperlihatkan rasa bersalah, walau belum ada pembuktian yang jelas seperti tes DNA, tetapi efek ikatan batin ayah dengan anak. Langsung membuktikan.

Mungkin saja, wajah kakak begitu mirip dengan ibunya? Yang dulu menjadi korban tak tahu masalah apapun?

“Maksudku, kau anak ….”

“Ya.”

Kulihat ayahku mematung.

“Ini milikmu?”

Aku kini percaya, tanpa DNA dan hanya perlu ikatan, sekaligus barang bukti dulu. Ada dalam genggaman kakak. Kalung bertuliskan nama ayah.

“Ibuku sengaja menghilang, karena hanya korban, dan tak mau jadi perusak. Juga, mengingatkanku untuk biasa dan jadi asing, bila bertemu denganmu.”

Ayahku hanya diam, walau begitu lega, tetap saja rasa bersalah masih menyelimutinya.

“Kau mau bertemu dengannya juga sudah nggak bisa, karena beda alam.”

“Dia telah meninggal?”

“Ya, dan aku yang membunuhnya perlahan.”

“Hah? Apa?” Aku dari tadi diam, kini terkejut. Begitu pula dengan ayah ah semua keluargaku.

“Itu permintaan ibu, ya aku menurut. Merasa bersalah, ya. Tapi, aku merasa lega.”

Aku bingung maksud ucapan kakak, ditambah lirikan matanya menjadi aneh.

“Lega, tak perlu panik dan khawatir meninggalkannya sendirian. Setiap kali aku pergi, ibu dalam bahaya. Daripada mati dengan kelakuan bejat orang egois, padahal aku sudah menurut dan menggantikan posisi, tetap saja orang bejat itu ingkar. Demi keselamatan ibu, ya aku menuruti keinginannya untuk membunuh secara perlahan.”

Aku baru sadar, genggaman eratku terlepas. Buktinya, kakak bisa leluasa pergi.

“Sekarang, tinggal memikirkan cara membebaskan diriku sendiri, tapi mana mungkin aku ikutan mati, sedangkan sebelum kematiannya, ibu memintaku tetap hidup untuk memantau dirimu.”

“Kak ….”

“Memantau. Bukan ikut masuk ke keluargamu, atau merusak. Melainkan, memantau dan terus berada didekatmu tanpa perlu dianggap. Aku menurut, karena dasarnya kemunculanku di sekitarmu, karena aku hanya ingin tau wajahmu saja, setelahnya nggak ada lagi yang kuharapkan.”

Berbeda dari yang diucapkan kakak sebelumnya, padaku. Tetapi, artinya sama.

“Nak ….”

Kulihat, kakak hanya melirik tanpa merespon lagi.

“Bila aku yang mengajak, apa kau mau?”

“Tetap nggak.”

Kulihat ayah kembali dilanda kebingungan dan bersalah.

“Apa kau menolak karena, perjanjian dengan ibumu?”

“Keinginanku sendiri.”

“Kau di sini rupanya.”

Aku menoleh, saat ada orang asing menyelinap masuk.

“099.”

“Kak?” Aku bingung, maksud ucapan orang asing.

“Eh? Ada yang memanggilmu dengan sebutan kakak? Ah, jadi kau menemukan ayahmu?”

Kulihat, kakak hanya bergeming.

“Berhasil menemukan, berarti bisa melakukannya lagi kan?”

“Ayah!” Aku beteriak histeris, ketika ada yang menembak kepala ayah. Tetapi—

“Haha, seperti biasa kau terus melindungi.”

Ayahku selamat, berhasil menghindar, lebih tepat kakak yang mendorong ayah dan mengganti posisi.

Aku tak mengira, hal senang mengetahui memiliki saudara, walau berbeda ibu, akan berakhir secepatnya, karena kakak rela tertembak mati demi menyelamatkan ayah.

“Kakak ….”

“Lucu, melihat kalian sedih, padahal nggak perlu ditangisi.”

“Kau sialan!” Aku muak.

“Ais, kau nggak percaya, liat sendiri tuh!”

Anehnya, aku menurut untuk melihat. Ini di luar akal, kepala kakak yang tadinya hancur efek tembakan beruntun, hingga terpisah dari badan.

“Nggak perlu ditangisi.”

“Kak ….”

Aku semakin terkejut, dalam kondisi buntung, tangan kakak bergerak masuk ke leher, seolah mengambil sesuatu untuk ditarik, dan kepala kakak muncul—tumbuh!

Lalu yang berceceran dan hancur, menghilang seperti debu.

“Aku suka melihat hal seperti ini, yang membuatku muak, karena kau kabur terus dariku! Ingat! Kau bebas berkeliaran dan hidup normal bukan berarti bebas sungguhan!”

Orang asing tadi pergi, aku, ayahku, ah semuanya terkejut dengan apa yang baru saja terjadi.

“Bunuh diri juga, akhirnya hidup lagi. Atau, dasarnya emang aku harus terus nurut dengan permintaan ibu, hm?”

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Novel
Bronze
Thin Is My Love
Diena Mzr
Skrip Film
Tunggal, Ika, dan Ikan-Ikan di Kedung Mayit
Dewanto Amin Sadono
Flash
Bronze
Tiket Mahal Say!
Emma Kulzum
Cerpen
099
Azazil Lucifer
Novel
TWIN BUT NOT TWINS
Lirin Kartini
Flash
I Love You, but You're Not My Boyfriend.
Syifa Maulida Hajiri
Cerpen
Sang "Dermawan"
Alwi Hamida
Novel
Namaku Pingku
Gita Sri Margiani
Komik
Komikecil Series Life
edokomikecil
Flash
Kesempatan Kedua
Hans Wysiwyg
Cerpen
Menampung Air Hujan
Kiara Hanifa Anindya
Skrip Film
Miranda Advertising (Script)
qiararose
Flash
Bronze
BELAJAR IKHLAS
Rahmayanti
Novel
Ruam Pilu
Vika Arifina Auliya Rokhmani
Komik
Kembang Sepasang
Enthung
Rekomendasi
Cerpen
099
Azazil Lucifer
Cerpen
Love Story
Azazil Lucifer
Novel
Illusions?
Azazil Lucifer
Cerpen
Melodies of Memories
Azazil Lucifer