Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Kamar kecil di lantai dua asrama perempuan, Celia merapikan tasnya dengan gerakan yang tenang, seolah ia sudah tahu dengan pasti ke mana ia akan pergi hari ini. Tidak ada kebingungan dalam gerakannya, tidak ada keraguan dalam pikirannya.
Ketika dia bercermin, pantulan dirinya menatapnya kembali. Rambut cokelat tua yang dibiarkan tergerai sebahu, mata keemasan yang tenang, terlalu tenang untuk seorang siswi seusianya. Ia tidak terlihat lelah, tetapi juga tidak terlihat bersemangat. Sangat terlihat baik, untuk dirinya tetapi, di mata orang lain sama sekali tidak baik. Dia baru saja selesai memakai pakaian dengan terburu.
Di belakangnya, Elen—teman sekamarnya—sedang sibuk menyisir rambutnya, mengikatnya dengan pita biru yang senada dengan seragam akademi. Dia memulai hari dengan lebih tenang daripada Celia.
"Kau berangkat lebih awal lagi? Emang, perpustakaan sudah buka? Atau ke lapangan?" suara Elen terdengar, ringan, tetapi sudah terlalu sering bertanya hal yang sama.
“Biasa,” jawabnya.
Celia memasukkan sebuah buku kecil ke dalam tasnya sebelum menutupnya rapat. Ia tidak langsung menjawab, seakan pertanyaan itu bukan sesuatu yang perlu dijawab.
"Aku duluan," katanya akhirnya, tanpa menjelaskan lebih lanjut.
Elen menoleh sebentar. Mengetahui Celia sudah tidak ada, dia tersenyum kecil. "Hey! Argh..., dasar."
Celia hanya mengangkat alisnya, “Lapangan? Aku punya kuncinya, Sekarang aku ke perpustakaan hari ini, lagi.”
Teman sekamarnya itu memaklumi tingkahnya. Kadang dia juga menggerutu, iri. Iri karena kepintaran Celia hampir di segala bidang. Kali ini dia hanya mengangguk mengerti sebelum kembali sibuk dengan rambutnya.
Elen sebenarnya ingin bicara lebih banyak dan mengenal satu sama lain. Namun, kepribadian Celia sudah tampak tanpa bicara. Melihat Celia terlihat senang itu sudah cukup. Mereka tidak pernah berbasa-basi terlalu lama. Ada kalanya mereka saling bicara ketika salah satunya tidak nyaman.
Dari kejauhan, suara lonceng akademi terdengar nyaring, menandakan pagi telah dimulai. Ini tidak berarti pelajaran akan dimulai. Tetapi, para guru sudah berkeliaran di sekolah. Ada banyak hal yang bisa dilakukan sebelum dimulainya pelajaran semisalnya, olahraga, latihan, membaca, menanyakan pembahasan kelas nanti, dan lain sebagainya. Ini tidaklah wajib tetapi para guru akan sangat memperhatikan hal ini. Bagi murid yang tidak bisa menjawab apa yang dilakukannya pada pagi hari ini, dia bisa saja mendapatkan tugas yang lebih berat.
Koridor sekolah terasa dingin di bawah langkahnya. Beberapa murid lain terlihat sudah ada di sekolah. Beberapa mulai keluar dari asrama menyusulnya, beberapa berjalan berkelompok, berbicara dengan suara pelan yang masih mengandung sisa kantuk.
Tidak ada yang bicara padanya hari ini. Dia terpandang sebagai murid terpintar di sekolah. Ada banyak murid lain yang ingin dekat dengannya. Namun, tidak ada yang benar-benar melakukannya. Celia berjalan sendirian. Ia sudah terbiasa.
Di sisi lain lapangan, ia bisa melihat murid-murid yang menuju kelas lebih awal, beberapa menuju kantin untuk sarapan, beberapa menuju lapangan untuk berlatih lebih awal. Para guru memerhatikan dan mencatat. Setiap orang memiliki jalannya sendiri. Celia juga. Namun, tidak seperti mereka yang tampak mengikuti arus dengan wajar, jalannya terasa “berbeda”.
Sekolah ini, sistem ini, tidak memberinya apa-apa. Mungkin ini bagus, memulai hari dengan aktivitas positif. Tetapi, para guru tidak mungkin mengontrol semuanya.
Ia telah membaca banyak buku, melihat berbagai pemikiran tentang cara terbaik untuk belajar, dan kesimpulannya tetap sama, “Ini bukan tempat terbaik untuk belajar terlebih lagi tentang memahami sihir.” Bukan karena sekolah tidak memiliki guru yang berbakat. Bukan karena materinya tidak cukup luas. Tetapi karena “metodenya salah”.
Bagaimana bisa seorang guru berdiri di depan, menjelaskan satu konsep yang sama kepada puluhan murid yang memiliki cara berpikir yang berbeda, dan berharap semuanya memahami dengan tingkat yang sama?
Celia sering melihatnya di kelas—murid-murid yang duduk diam, mendengarkan dengan tekun, tetapi pada akhirnya tetap tidak mengerti. Bukan karena guru mereka tidak menjelaskan dengan baik. Tetapi karena “cara belajar mereka tidak cocok dengan cara mengajar akademi ini”. Seperti burung yang diberi makanan yang salah. Seperti api yang yang membakar besi. Sistem ini membuat banyak orang merasa mereka tidak cukup pintar, padahal sebenarnya, “mereka hanya belum menemukan cara belajar yang tepat”.
Dan, Celia?
Ia sudah menemukannya sejak lama. Ia tidak butuh seseorang menjelaskan teori yang bisa ia baca sendiri. Ia tidak butuh mengulang latihan yang bisa ia pahami dalam satu kali percobaan. Ia hanya butuh “pengetahuan yang belum ia miliki.” Itulah kenapa ia tidak mengikuti arus. Itulah kenapa setiap hari, ia memilih ke mana ia akan pergi. Dan hari ini, seperti kebanyakan hari lainnya, ia memilih perpustakaan.
Itu adalah tempat yang baginya cocok. Rak-rak kayu tua berdiri tinggi, mengelilingi ruangan seperti tembok pelindung. Cahaya lilin dari lampu gantung memberikan sinar keemasan yang lembut, menerangi barisan buku-buku yang berjajar rapi. Dia menyukai tempat ini. Di sinilah, kata-kata memiliki nyawa. Di sinilah, jawaban atas pertanyaan yang belum ditanyakan bisa ditemukan.
Di balik meja kayu panjang, seorang pria tua—Penjaga Perpustakaan—sedang menyusun kembali buku-buku yang baru dikembalikan. Ia hanya melirik sekilas saat Celia masuk, sebelum kembali ke pekerjaannya. Mereka sudah terbiasa satu sama lain. Kepribadian keduanya sama. Tidak ada basa-basi, tidak ada pertanyaan. Ia berjalan melewati lorong-lorong rak buku, jari-jarinya menyusuri punggung buku yang berjajar.
Matanya membaca judul-judul yang familiar, beberapa sudah ia baca, beberapa menarik, beberapa tidak lebih dari pengulangan teori yang telah ia pahami. Tangannya berhenti pada satu buku tebal dengan sampul berwarna gelap. Pada punggung buku itu tertulis judulnya, “Air Suci Bukan Satu-Satunya Sumber”.
“Oh, ini ditulis oleh orang lain. Mari lihat pendapatnya.”
Akademi Veritas mengajarkan banyak pelajaran tentang hubungan manusia, filsafat, matematika, ekonomi, dan banyak hal lain selain sihir. Namun, sebagian besar murid di sekolah berfokus pada sihir mereka. Ini membuat Celia juga kesal. Di atas langit biru yang membentang luas mengapa matahari yang menjadi fokus? Mengapa awan-awan yang menjadi fokus? Bukannya, langit berlapis-lapis? Ada apa dibaliknya?
Sihir memang mungkin membuat seseorang lepas dari penuaan, lepas dari rasa lapar, tetapi bukan berarti hal lainnya menjadi tidak penting. Di depan kelas, Profesor Aldric mengatakan, “Jika semua orang tidak butuh makanan, ini akan sangat buruk. Mungkin, orang tidak akan peduli satu sama lain.”
Ketika semua orang mendapatkan apa yang mereka inginkan, masa depan tidak akan sama seperti pikiran semua orang. Sihir akan membawa dampak positif dan negatif. Pelajaran di sekolah adalah dasar untuk mempelajari dan menjauhkan dampak negatif.
Saat perjalanannya ke perpustakaan, dia juga melihat, tempat paling ramai selalu lapangan latihan. Suara mantra terdengar berulang-ulang di udara. Murid-murid berlatih dengan serius, mengulang teknik yang sama berusaha agar tubuh mereka hafal dengan gerakan itu.
Tapi, Celia?
Dia tidak percaya pada latihan tanpa pemahaman. Jika seseorang tidak mengerti inti dari apa yang mereka lakukan, mengulanginya ribuan kali pun tidak akan membuat mereka lebih baik. Ia tidak butuh mencoba sesuatu berkali-kali hanya untuk mempelajarinya. Ia hanya butuh memahami cara kerjanya sekali saja.
Angin berhembus pelan, membawa debu halus dari tanah. Celia mengangkat tangannya, membiarkan energi mengalir dengan lembut. Satu hembusan napas, dan percik api muncul di udara—stabil, sempurna. Tidak ada sorak-sorai. Tidak ada tepuk tangan. Tidak ada yang melihat Itu tidak masalah karena Celia tidak butuh pengakuan. Ia hanya butuh “pemahaman”.
Meskipun begitu, melihat mereka latihan dengan giat menjadi hiburan tersendiri bagi Celia dan banyak orang yang melihatnya. Sambil melahap sarapannya Celia berdiri diam, memperhatikan mereka dari kejauhan. Mereka mencoba, gagal, mencoba lagi. Setiap kali mereka gagal, mereka mengulanginya, percaya bahwa latihan akan membawa kesempurnaan.
Pikirannya kembali ke perpustakaan.
Tangannya akhirnya menarik buku itu dari rak, ditumpuknya diatas buku lain dan membawanya di udara. Meja dekat jendela adalah favoritnya. Di luar, dunia akademi masih berputar. Kelas mungkin saja sudah berjalan. Murid-murid masih mencatat. Guru-guru masih berbicara.
Celia sudah ada di tempat yang seharusnya. Dan untuk saat ini, itu sudah cukup. Baginya ruang kelas adalah penjara. Jika pelajarannya berlanjut mungkin saja bagus. Jika guru malah bercerita tentang masa lalunya, itu bagus juga kalau cerita tidak mengulang. “Aneh, rasanya kalau para murid malah menyukai cerita tersebut alih-alih mata pelajaran yang gurunya bawa.”
Perpustakaan itu dipenuhi suara gesekan kertas dari buku yang dibukanya sendiri. Cahaya matahari masuk melalui jendela, menerangi papan tulis yang penuh dengan rumus sihir. Celia duduk di barisan tengah, matanya terarah ke depan. Ketenangannya saat membaca menghapus waktu. Matahari perlahan meninggikan diri. Buku yang dia baca selesai satu persatu. Tidak mungkin dilakukan oleh orang lain. Tapi, dia Celia.
Sampai setengah tumpukkan buku itu habis. Ketenangannya berubah bingung. Dia tidak mengenali satu buku dalam tumpukan itu. Dia bahkan bingung mengapa buku seperti itu ada. Tidak ada apapun di permukaan jilidnya, hanya putih.
Karena penasaran, ia membuka halaman pertama perlahan. Matanya menyapu kata-kata yang tertulis di sana. Lalu, ia terdiam. “Buku ini… tampaknya novel.”
Buku itu mengisahkan seseorang yang lebih memilih menyusuri lorong-lorong rak buku daripada berbicara dengan orang-orang di sekitarnya. Tentang seseorang yang persis seperti dirinya. Celia mengernyit. Apakah ini kebetulan? Tangannya membalik halaman berikutnya.
Kisah itu berulang.
Halaman kedua, ketiga, keempat—semuanya mengulang cerita yang sama. Seorang gadis yang setiap pagi pergi ke perpustakaan. Yang memilih membaca buku daripada mendengarkan guru. Yang berjalan sendiri di antara rak buku.
Meskipun pikirannya mengganggap ini aneh, dia sama sekali tidak meninggalkan buku itu. Malah Celia penasaran siapa yang menulis buku itu. Dibaliknya buku tersebut. Di bukanya halaman terakhir yang ternyata masih kosong.
Celia menatapnya lama.
Hening.
Kemudian, muncul lah kata-kata pada halaman kosong itu, yang awalnya membuat Celia takjub.
Pada kertas itu tertulis, “Gadis itu menatap buku dalam heningnya perpustakaan. Dirinya bertanya-tanya, mengapa buku ini ada di mejanya?”