Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Udara di dalam gedung Serikat Kemasyarakatan selalu dipenuhi suara orang-orang yang sibuk. Beberapa tentara bayaran berdiri di depan papan misi, menunjuk-nunjuk kertas yang tertempel di sana sambil berdebat. Beberapa lainnya sedang duduk di meja panjang, menikmati makanan dan minuman setelah menyelesaikan tugas mereka.
Di sudut ruangan, seorang gadis mungil berambut pendek duduk sambil mengayunkan kakinya. Nia, ahli sihir pertahanan dan penyembuhan dalam tim Raesha, sedang menikmati minuman hangatnya dengan tenang. Namun, ketenangan itu segera terusik ketika Raesha muncul di hadapannya, membawa beberapa lembar kertas misi dengan wajah penuh antusiasme.
BRAK!
Beberapa lembar kertas misi dijatuhkan ke meja, hampir mengenai cangkir Nia.
Ayo, kita ambil yang ini!” kata Raesha, langsung menjatuhkan tumpukan kertas ke meja di depan Nia.
Nia menatap tumpukan itu dengan ekspresi malas. “Berapa banyak yang kau ambil kali ini?” tanyanya, menghela napas.
“Hanya beberapa,” jawab Raesha dengan senyum penuh semangat. Tangannya melambai mengatakan bahwa ini jangan terlalu banyak dipikirkan.
Nia mengambil salah satu kertas dan membacanya sekilas. “Pencarian harta karun di gua berbahaya? Melacak monster liar di perbatasan? Menjaga pedagang dari perampok?” Dia menatap Raesha dengan tatapan datar. “Seperti biasa, kau hanya memilih yang sulit.”
Raesha mengangkat bahu. “Hei, kita butuh tantangan. Lagipula, bayarannya juga besar.”
Nia mendesah. “Kita butuh misi untuk hidup, bukan untuk mati muda.”
Sebelum perdebatan semakin panjang, Raesha menarik tangan Nia. “Ayo cari yang lain. Lutz dan Levard pasti sudah datang.”
Mereka berjalan melewati kerumunan tentara bayaran lain, menuju meja di mana Lutz dan Levard biasanya duduk. Seperti yang diduga, Lutz sedang sibuk berbicara dengan seseorang, sementara Levard duduk diam di sampingnya, tampak tertarik dengan pembicaraan itu tetapi, dia perlu waktu untuk ikut dalam pembicaraan.
“Lutz! Levard! Kumpul!” seru Raesha.
Lutz menoleh dengan malas. “Sudah dapat misi lagi, ya?”
“Tentu saja!” Raesha menyodorkan kertas-kertas misinya. “Lihat, banyak yang menarik!”
Lutz mengambil salah satu kertas dan mengernyit. “Raesha, kau sadar kalau ini bukan ‘menarik’, tapi ‘berbahaya’?”
“Tapi bayarannya bagus,” tambah Raesha dengan percaya diri.
Levard mengambil salah satu kertas tanpa bicara, lalu membaca isinya sebentar. “Yang ini terlalu merepotkan,” katanya akhirnya.
“Setuju,” sahut Nia. “Mungkin kita bisa cari yang lebih masuk akal.”
“Apa ada yang lebih masuk akal?” tanya Nia.
Raesha berpikir sebentar, lalu menarik satu kertas dari tumpukan. “Kalau begitu... bagaimana dengan ini?”
Misi itu terlihat lebih sederhana dibandingkan yang lain: Penyelidikan reruntuhan gereja tua di luar kota.
Lutz mengambil kertas itu, membaca isinya, lalu menatap Raesha curiga. “Dari semua pilihan, kenapa tiba-tiba kau menyodorkan ini?”
Raesha berusaha terlihat santai. “Ini lebih mudah dibandingkan yang lain, kan?”
Lutz menyipitkan mata, tapi sebelum dia bisa berkata lebih jauh, suara lain terdengar dari belakang mereka.
“Kalian sebaiknya menerimanya.”
Mereka menoleh. Ketua Serikat, pria tua berambut abu-abu dengan tubuh tegap, berdiri di dekat mereka dengan ekspresi serius.
“Ini bukan sekadar misi biasa. Kami mengasumsikan ada aktivitas mencurigakan di dalam sana,” jelasnya.
Lutz menatap Raesha lagi, semakin curiga. “Jadi ini misi yang ditunjuk langsung?”
Raesha mengangkat bahu. “Mungkin? Tapi kau tahu bagaimana orang-orang memandang misi? Kalau aku langsung menyodorkan ini, kalian pasti akan curiga. Jadi, kupikir lebih baik aku membawa beberapa misi sulit lainnya agar ini terlihat lebih masuk akal.”
Nia menatapnya tak percaya. “Jadi kau sengaja membuat kami berpikir ini lebih baik?”
Raesha hanya tersenyum. “Dan berhasil, kan? Ini misi yang dari serikat khusus untuk kita.”
Levard membaca ulang kertas misi itu. “Hanya investigasi, kan? Kita hanya perlu membawa informasi dengan selamat,”
Lutz menghela napas panjang. “Baiklah, kalau ini perintah langsung dari Ketua Serikat, kita tidak punya banyak pilihan.”
Nia hanya mengangguk.
Pada akhirnya mereka setuju untuk mengambil misi itu.
***
Langkah kaki Raesha bergema di sepanjang koridor sempit yang diterangi oleh cahaya redup dari lentera sihir di dinding. Bau lembab dan apek memenuhi udara, bercampur dengan aroma samar logam yang mengingatkannya pada darah kering.
“Ini lebih dari sekadar reruntuhan,” gumam Levard, matanya menyipit saat memeriksa relief di dinding batu. Ukiran-ukiran yang telah aus oleh waktu masih menunjukkan gambaran seorang sosok bersayap yang dikelilingi oleh cahaya. “Ini adalah tempat yang dulu disucikan.”
“Dan sekarang jadi sarang monster,” timpal Lutz, tangannya tetap waspada di gagang belatinya. “Kau lihat tanda-tanda cakar ini? Mereka sudah tinggal di sini cukup lama.”
Nia berjongkok, menyentuh lantai dengan ujung jarinya. Dia menutup mata sejenak sebelum berbisik, “Ada banyak jejak sihir yang bertumpuk di sini. Sebagian besar terasa seperti sisa-sisa kekuatan suci… tapi bercampur dengan sesuatu yang lain. Dan, genangan di bagian lantai gereja, ternyata ini air suci.”
“Air suci?” tanya semuanya. Begitu lah wajah mereka.
Lutz berjongkok juga memastikan kebenarannya. “kenapa air suci masih aktif?”
Air suci milik gereja sangat langka dan hanya diproduksi oleh gereja. Pihak gereja juga merahasiakan proses pembuatannya dengan alasan perintah dari kitab. Air suci hanya bisa diminum dalam sehari yaitu saat upacara kenaikan. Jika air suci tersisa maka sisa air tersebut akan menguap hilang.
Namun, yang terjadi di sini. Air suci masih dalam bentuk cairnya dan menggenang di lantai. Itu artinya air suci masih bisa diminum. Tapi, siapa yang mau minum?
Fakta air suci yang menggenang kemudian disimpulkan mereka berempat bahwa musibah besar terjadi memang pada saat gereja melakukan upacara kenaikan.
Raesha mengepalkan tangannya. “Kalau ini memang gereja yang dulu mengadakan upacara kenaikan seperti geraja pada umumnya, kenapa dibiarkan runtuh begini?”
Tak ada yang menjawab. Mereka tahu bahwa mencari jawaban di tempat seperti ini bukanlah hal yang mudah.
“Sudah cukup merenungnya,” Raesha akhirnya berkata, mengangkat pedangnya. “Misi kita adalah menyelidiki reruntuhan ini. Jika ada iblis Keturunan Lilist di sini, kita harus bersiap dan jika itu adalah variasi bersiaplah untuk mengukur apa yang bisa dilakukan mereka.”
Mereka melangkah lebih dalam ke dalam reruntuhan. Karena Raesha menyuruh timnya untuk bersiap hasilnya, ketiga anggota timnya itu tidak ada yang bicara.
Raesha menyandarkan punggungnya ke dinding batu yang dingin, menatap ke arah rekannya. “Jadi, mari kita bicarakan lagi. Apa yang kita tahu dari laporan Serikat?”
Levard, yang sejak tadi mengamati ukiran dinding, akhirnya berbicara. “Gereja ini dulunya adalah salah satu tempat utama untuk upacara kenaikan. Namun, sekitar satu abad yang lalu, di tengah prosesi, tanah tiba-tiba amblas dan menelan gereja serta semua orang di dalamnya.”
Nia menggigit bibirnya, mencoba mengingat detail yang mereka terima. “Dikatakan tidak ada yang selamat. Semuanya hilang begitu saja. Setelah itu, gereja pusat hanya menyebut insiden ini sebagai ‘musibah besar’ tanpa penjelasan lebih lanjut. Banyak yang mengajukan misi penyelidikan tetapi, tidak ada yang kembali setelahnya.”
Lutz mendengus. “Musibah besar, ya? Itu alasan yang terlalu mudah. Masalahnya, kita baru saja melihat sendiri bahwa tempat ini masih mengandung jejak sihir suci yang cukup kuat. Tidak mungkin gereja ini benar-benar ditinggalkan tanpa ada yang mencoba mengambil kembali wilayah ini.”
Raesha mengangguk, berpikir dalam-dalam. “Serikat memberi kita beberapa petunjuk lain: reruntuhan ini dipenuhi dengan iblis Keturunan Lilist, dan ada kemungkinan bahwa sesuatu yang penting masih tersembunyi di dalamnya.” Dia menghela napas, lalu mengayunkan pedangnya ringan di udara. “Tapi sampai saat ini, kita tidak melihat satu pun iblis.”
Levard menatap sekeliling dengan ekspresi waspada. “Itulah yang membuatku merasa lebih khawatir.”
Semua terdiam sesaat. Mereka sudah cukup sering menghadapi misi berbahaya, tetapi kali ini ada sesuatu yang tidak wajar. Fakta di lapangan terlalu berlainan dari informasi yang diberikan oleh Serikat.
“Ada satu hal yang bisa kita percayai,” kata Nia pelan. “Gereja ini memang benar-benar tenggelam ke dalam tanah saat upacara kenaikan. Itu bukan kebohongan.”
Raesha menyilangkan tangan. “Kalau begitu, pertanyaannya adalah… kenapa? Apa yang sebenarnya terjadi di upacara itu?”
Nia mengangkat bahu. “Mungkin kita akan menemukannya di dalam.”
Mereka saling bertukar pandang. Lutz tidak menyetujui perkataan Nia. Lalu, dia mulai bicara panjang. “Itu bukan fokus kita. Fokus kita adalah investigasi. Jika kita bertemu monster seperti biasa kita bisa lanjutkan. Tetapi jika itu adalah monster baru kita harus mengukurnya lalu kabur. Dan, tidak perlu mengalahkan monsternya.”
“Iya, itu perkataanku tadi,” balas Raesha.
“Baik, itu adalah situasi kita. Aku paham,” jawab Nia paham.
Mereka tahu, semakin dalam mereka melangkah, semakin besar kemungkinan mereka menemukan sesuatu yang tidak seharusnya diketahui.
Reruntuhan ini adalah gereja besar. Namun, bentuknya sudah benar-benar berbeda dari bentuk aslinya. Reruntuhan ini terlihat seperti labirin dari pada gereja. Tidak diketahui mengapa hal ini terjadi. Tapi bagi Raesha, itu adalah satu-satunya alasan mereka ada di sini.
Udara di dalam reruntuhan mulai terasa berat. Raesha bisa merasakan hawa dingin yang tidak wajar, seolah-olah sesuatu mengawasi mereka dari kegelapan.
Lutz segera merapat ke dinding, segera setelah dia merasakan bahaya dari kemampuan sihirnya. Belatinya sudah di tangan. “Ada yang datang,” bisiknya.
Ketiganya langsung mengaktifkan sihirnya masing-masing siap untuk menyerang. Tiba-tiba, suara langkah bergema tidak lama. Bukan langkah hewan atau monster biasa—terlalu teratur, terlalu manusiawi.
Dari balik bayangan, sosok itu muncul. Tidak satu, tapi tiga. Mereka tampak seperti manusia biasa, mengenakan jubah pendeta yang sudah compang-camping. Mereka berpakaian layaknya seorang Priest. Namun, mata mereka kosong, kehitaman seperti lubang tanpa dasar. Kulit mereka pucat dan terlihat retakan samar berwarna hitam pekat yang menyebar dari leher hingga tangan.
Raesha mencengkeram pedangnya lebih erat. “Monster, kah?”
Levard mundur setengah langkah, tangannya bersiap melepaskan sihirnya. “Ini pertama kalinya aku melihat yang seperti ini.”
Salah satu iblis itu tersenyum tipis—senyum sinis yang terasa mengerikan. Lalu, tanpa peringatan, ia menerjang dengan kecepatan yang mengejutkan.
Raesha hampir tidak sempat menangkis serangan itu. Pedang cahaya di tangannya beradu dengan cakar hitam yang tajam, menimbulkan percikan cahaya keemasan.
Sementara itu, Lutz melompat ke belakang, menghindari tebasan dari iblis kedua. Dengan cekatan, ia menghunus belatinya dan menyarangkan tusukan ke sisi perut iblis tersebut. Namun, yang terjadi selanjutnya membuatnya terkejut.
Belatinya menembus… tapi tidak ada darah. Luka itu menutup sendiri lebih cepat dari belati miliknya dicabut.
“Mereka bisa beregenerasi!” seru Lutz, melompat mundur sebelum cakar iblis itu bisa mencabik tubuhnya.
Levard mengangkat tangannya, melepaskan tembakan api langsung ke arah iblis yang menyerang Raesha. Namun, ruangan yang sempit membuat nyala api harus dibuat kecil. Hal tersebut cukup merepotkan bagi Levard karena dia harus berkonsentrasi lebih sehingga dia tidak bisa mengeluarkan tembakan lanjutan. Ketika satu sihirnya gagal mengenai target. Perlu waktu untuk sihir selanjutnya.
Levard menggeram. “Sial, ruangnya terlalu kecil!”
Nia melihat Lavard kesulitan, tentu dia tidak tinggal diam. Dia menggunakan sihir pelindung untuk mengganggu pergerakan si iblis ketiga paling belakang secara langsung pada tubuhnya. Namun, itu tidak cukup hanya pedang cahaya Raesha yang efektif.
Raesha mengayunkan pedangnya dengan kuat, akhirnya berhasil menebas leher iblis di hadapannya. Cahaya pedangnya mencegah regenerasi. Tubuhnya mulai terkikis berubah menjadi abu."
“Lutz, serang dengan belatimu tepat setelah aku menyerang. Sihirku bisa menekan regenerasi mereka!” teriak Raesha.
“Bagus!”
Lutz segera melesat, bergerak cepat di balik Raesha. Begitu Raesha menebas iblis kedua, Lutz menancapkan belatinya langsung ke dada makhluk itu. Kali ini, iblis itu tidak bisa pulih.
Namun, sayangnya tubuh iblis hancur lebih lama dari yang pertama. Tangannya yang dalam proses menjadi abu, melayang menyerang. Raesha tanpa menyadari apa yang terjadi, cakar itu mengarah padanya. Untungnya, sihir perlindungan Nia masih aktif.
Tersisa satu. Iblis terakhir itu mundur beberapa langkah, menyadari bahwa mereka bukan lawan yang mudah. Bibirnya bergerak, menggumamkan sesuatu.
Lutz langsung merasakan bulu kuduknya meremang. “Hentikan dia sebelum—”
Raesha dan Lutz segera menebas iblis itu dalam keadaan terlemahnya. Tetapi terlambat, cahaya kuning melesat ke belakang. Iblis itu melantunkan mantra untuk mengirim sinyal.
Tidak lama kemudian, dinding di belakang mereka bergetar, debu jatuh dari langit-langit, dan suara gemuruh mulai terdengar dari dalam lorong.
“Gawat, dia membawa ratusan monster ke sini. Kita tidak bisa mengatasinya,” kata Lutz.
Levard mengepalkan tangan. “Kita harus keluar dari sini. Cepat!”
Nia menggigit bibirnya. “Kita harus pergi. Ini bukan tempat yang bisa kita pecahkan sendiri.”
Raesha membuat keputusan. “Nia, buat penghalang di belakang kita! Lutz, amankan jalur keluar!”
Raesha menggeram, menahan keinginan untuk terus bertarung. Mereka tidak bisa gegabah. Mereka harus bertahan dan mereka harus keluar hidup-hidup dalam misi ini. Dia harus membuat keputusan untuk keselamatan tim.
Langkah kaki mereka bergema di lorong sempit. Nafas mereka masih terengah-engah setelah pertarungan barusan. Nia berlari paling belakang, telapak tangannya terangkat, membentuk lapisan penghalang transparan yang membentang di sepanjang dinding lorong.
Di balik penghalang itu, para iblis keturunan Lilist mencakar dan menghantam tanpa henti. Suara erangan mereka terdengar seperti manusia yang menderita, tapi semua orang tahu itu hanya tipuan.
Lavard terus menyerang. Serangkaian serangannya menembus penghalang Nia. Walaupun serangannya tidak melukai dan hanya mengganggu target karena sihirnya yang tidak terkonsentrasi tapi, berhasil memperlambatnya.
“Berapa lama kau bisa bertahan, Nia?” tanya Levard.
“Beberapa menit,” jawab Nia, keringat mulai mengalir di pelipisnya.
Lutz berlari ke belakang tim menyusul dengan mudahnya. Dia menempelkan telapak tangannya ke dinding reruntuhan. Sihirnya mulai bekerja, membaca struktur labirin ini melalui sentuhan.
Dia mempercepat larinya setelah tahu jalan sudah aman. “Kita kembali ke atas! Jalur kabur aman!” serunya.
Mengamankan jalur pelarian adalah tugas Lutz selain sebagai petarung jarak dekat juga sebagai pelindung Nia dan Levard. Keselamatan tim ada padanya. Setiap langkahnya terasa semakin berat ketika dia tahu kecepatan lari setiap anggota tim tidak secepat dirinya.
Dia melihat ke belakang jaraknya semakin jauh.
"Raesha, ambil ini!" kata Lutz akhirnya menyerahkan sebuah belati. Itu belati usang cadangannya. Tidak ada yang istimewa tetapi, belati itu memang dipersiapkan untuk sihir Raesha di situasi genting.
Ketiganya saling menatap dengan ragu tetapi, keraguan itu segera berubah menjadi tekad. Tanpa merapal mantra, Raesha menggenggam belati dengan kuat. Dalam hitungan detik, aura cahaya mulai menyelimuti belati tersebut. Raesha dapat menyalurkan sihirnya yang membuat jejak kami menghilang dari radar sihir para monster. Namun, ada harga yang harus dibayar. Raesha harus mengarahkan belati itu kepada timnya. Membuat luka yang cukup menyakitkan. Sihir semua anggota timnya pun akan perlahan melemah dan tidak bisa digunakan untuk sementara waktu. Hanya Raesha yang tetap bisa mengeluarkan kekuatannya, dan ia pun harus menanggung beban itu sendiri, menjadi satu-satunya pelindung tim saat melarikan diri melalui lorong-lorong sempit yang terus bergema oleh teriakan monster, para iblis.
***
Raesha menghembuskan napas panjang, menatap bangunan gereja yang kini hanya berupa sisa-sisa batu besar yang runtuh. Mereka berhasil keluar tanpa kehilangan nyawa, tapi ada sesuatu yang membuat tubuhnya terasa lebih berat—bukan karena kelelahan, tapi karena apa yang mereka lihat di dalam sana.
Iblis berpakaian Archpriest.
Mereka bukan monster biasa. Bukan makhluk buas yang hanya mengandalkan insting seperti yang biasa mereka lawan. Tidak, yang mereka hadapi di dalam sana adalah makhluk yang bisa berpikir, bisa berbicara, dan yang lebih buruk—mereka mampu merapal mantra. Seakan-akan mereka dulu adalah manusia yang memiliki pengetahuan tentang sihir milik sejarah manusia, seolah bagian dari gereja itu.
Levard berdiri tak jauh dari Raesha, menyandarkan dirinya pada pedangnya. Wajahnya tetap tenang, tapi tatapannya kosong, seperti sedang berusaha memahami apa yang baru saja mereka alami.
Lutz, yang biasanya paling banyak bicara, hanya duduk di atas batu besar dengan kepala menunduk. Ia mencengkeram belatinya erat, matanya masih terjaga, seakan takut jika sesuatu dari labirin itu tiba-tiba muncul lagi.
Nia, yang biasanya paling ceria, kini terlihat lebih kecil dari biasanya. Ia duduk bersila di atas rerumputan, memeluk lututnya, sambil menatap tanah tanpa bicara.
Tidak ada yang berbicara selama beberapa saat. Hanya suara angin yang berhembus pelan.
Raesha akhirnya mengangkat suaranya, "Kita semua melihatnya, kan?"
“Ya,” jawab Levard setelah lama hening.
"Iblis itu…" suara Raesha nyaris berbisik, "…mereka memakai jubah pendeta."
Levard akhirnya berbicara, suaranya lebih dalam dari biasanya. "Itu bukan kebetulan."
Lutz mendengus pelan. "Ya jelas bukan kebetulan. Itu lebih buruk dari sekadar kebetulan." Ia mengangkat kepalanya, menatap reruntuhan di belakang mereka. "Jika mereka hanya monster biasa, aku masih bisa menerima. Tapi makhluk-makhluk itu… mereka bicara. Mereka mengerti sihir. Dan mereka seolah-olah… dulu adalah bagian dari gereja itu."
Nia bergumam, "Mungkin mereka memang dulunya manusia."
Keheningan kembali menyelimuti mereka.
Raesha tidak ingin mengatakannya, tapi pikirannya juga mengarah ke sana. Tidak ada penjelasan lain yang lebih masuk akal. Jika gereja ini runtuh saat upacara kenaikan diadakan, lalu tiba-tiba muncul iblis-iblis yang mengenakan pakaian pendeta…
"Apa mungkin mereka adalah orang-orang yang dulu ada di gereja ini? Atau para Priest yang berusaha menyelidiki gereja ini?" tanya Raesha akhirnya.
Tak ada yang menjawab.
Levard akhirnya berbicara, "Kita tidak tahu pasti. Tapi yang jelas, ada sesuatu yang sangat salah di sini."
“Kenapa pihak gereja tidak mempublikasikan penyelidikan yang dilakukan?” tanya Rarsha lagi.
"Kita sudah menemukan lebih dari cukup. Kalau kita terlalu dalam mencampuri ini, bisa-bisa kita bukan cuma berhadapan dengan monster, tapi juga gereja sendiri," kata Nia, suaranya masih pelan. "Ini bukan tugas kita."
Lutz tertawa kecil, tapi tidak ada nada humor di dalamnya. "Kau benar. Kita hanya tentara bayaran biasa, bukan anggota inti serikat. Kalau kita terlalu dalam mencampuri urusan ini, yang ada kita malah mati tanpa jejak."
Raesha mengepalkan tangannya. Ia tidak suka perasaan ini—perasaan tahu sesuatu yang salah, tapi tidak bisa melakukan apa-apa.
Tapi mereka tidak punya pilihan. Misi ini sejak awal memang bisa ditolak tetapi harus ada alasan logis. Misi ini hanya investigasi untuk menilai apakah misi ini layak di peringkatnya atau tidak.
"Kita selesaikan misi ini di sini," kata Raesha akhirnya. "Kita punya cukup bukti untuk membuktikan kalau reruntuhan ini lebih dari sekadar labirin misterius. Ada sesuatu yang terjadi di sini satu abad lalu, sesuatu yang gereja coba tutupi. Tapi kalau kita ingin tahu lebih banyak… kita harus menyerahkannya pada tentara bayaran yang lebih kuat dari kita."
Mereka semua mengangguk.
“Siapa yang mengajukan misi ini?”
Perjalanan pulang terasa lebih berat dari biasanya. Mereka bukan hanya membawa kelelahan fisik, tetapi juga beban pengetahuan yang belum lengkap—sepotong kebenaran yang masih tertutup kabut tebal.