"Membaca Al-Qur'an bagi Wanita Haid dan Nifas"
Apabila tidak ada satu pun dalil yang sah (shahih dan hasan) yang melarang perempuan haid, nifas dan orang yang junub membaca ayat-ayat Al-Qur'an, maka hukumnya dikembalikan kepada hukum asal tentang perintah dan keutamaan membaca Al-Qur'an secara mutlak termasuk perempuan haid, nifas dan orang yang junub.
Ada hadits shahih dari Aisyah radhiyallahu 'anhu:
"Artinya: Dari Aisyah, ia berkata : Kami keluar (menunaikan haji) bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (dan) kami tidak menyebut kecuali haji. Maka ketika kami sampai di (satu tempat bernama) Sarif aku haid. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk menemuiku dan aku sedang menangis, lalu beliau bertanya, "Apa yang menyebabkanmu menangis?" Jawabku, "Aku ingin demi Allah kalau sekiranya aku tidak haji pada tahun ini?" Jawabku, "Ya" Beliau bersabda, "Sesungguhnya (haid) ini adalah sesuatu yang telah Allah tentukan untuk anak-anak perempuan Adam, oleh karena itu kerjakanlah apa-apa yang dikerjakan oleh orang yang sedang haji selain engkau tidak boleh thawaf di Ka'bah sampai engkau suci (dari haid)" (HR. Bukhari no. 305 dan Muslim 4/30)
Hadits yang mulia ini dijadikan dalil oleh para Ulama di antaranya amirul mu'minin fil hadits Al-Imam Al-Bukhari di kitab Shahih-nya bagian Kitabul Haid bab 7 dan Imam Ibnu Baththaal, Imam Ath-Thabari, Imam Ibnul Mundzir dan lain-lain bahwa perempuan haid, nifas dan orang yang junub boleh membaca Al-Qur'an dan tidak terlarang. Hadist ini menunjukkan bolehnya wanita yang haid membaca Al-Quran, karena membaca Al-Quran termasuk amalan yang paling utama dalam ibadah haji.
Berdasarkan perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Aisyah radhiyallahu 'anha untuk mengerjakan apa-apa yang dikerjakan oleh orang yang sedang menunaikan ibadah haji selain thawaf dan tentunya juga terlarang shalat. Sedangkan yang selainnya boleh termasuk membaca Al-Qur'an. Karena kalau membaca Al-Qur'an terlarang bagi perempuan haid tentu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskannya kepada Aisyah radhiyallahu 'anha. Sedangkan beliau saat itu sangat membutuhkan penjelasan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam apa yang boleh dan terlarang baginya.
Karena mengakhirkan keterangan ketika diperlukan tidak diperbolehkan, sebagaimana hal ini ditetapkan dalam ilmu ushul fiqh, dan ini jelas tidak samar lagi, walhamdu lillah." (Hajjatun Nabi hal:69).
Tapi jika orang yang berhadats dan wanita haid/nifas, maka dilarang menyentuh lembaran mushaf atau bagian dari mushaf, dan ini adalah pendapat ulama empat madzhab, Hanafiyyah (Al-Mabsuth 3/152), Malikiyyah (Mukhtashar Al-Khalil hal: 17-18), Syafi'iyyah (Al-Majmu' 2/67), dan Hanabilah (Al-Mughny 1/137).
Berdasarkan dalil dari Al-Qur'an, dengan firman Allah Azza wa Jalla: "tidak menyentuhnya, kecuali orang-orang yang disucikan." – (QS.56:79)
Sedangkan perbedaan pendapatnya adalah menyentuh lembaran mushaf yang ada terjemahannya. Ada Ulama yang tetap tidak membedakan antara Al-Qur'an terjemahan dengan Al-Qur'an yang tidak ada terjemahannya, karena tetap disebut lembaran mushaf Al-Qur'an.
Al-Qalyubi menyebutkan bahwa mushaf itu tidak harus seluruh ayat Al-Qur'an, tetapi asalkan sudah ada ayat Al-Qur'an walau cuma satu hizb, itu tetap dinamakan mushaf. Jadi, walaupun ada terjemahannya tetap namanya mushaf Al-Qur'an, dan tidak boleh disentuh langsung oleh orang yang berhadats.
"Tidak boleh menyentuh Al Qur'an kecuali engkau dalam keadaan suci." (HR. Al Hakim dalam Al Mustadroknya, beliau mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih). Dalam keadaan suci di sini bisa berarti suci dari hadats besar dan hadats kecil. Haidh dan nifas termasuk dalam hadats besar.
Sedangkan Imam Nawawi rahimahullah dalam Al Majmu' mengatakan, "Jika kitab tafsir tersebut lebih banyak kajian tafsirnya daripada ayat Al Qur'an sebagaimana umumnya kitab tafsir semacam itu, maka di sini ada beberapa pendapat ulama. Namun yang lebih tepat, kitab tafsir semacam itu tidak mengapa disentuh karena tidak disebut mushaf."