Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Negara serius tapi ngakak
0
Suka
14
Dilihat

“Negara Serius Tapi Ngakak”

Aku menulis ini dengan tangan gemetar,

bukan karena takut,

tapi karena lapar.

Lapar yang tak pernah kenyang,

sementara mereka di layar kaca

menyeka mulutnya dengan serbet impor,

tertawa atas daging yang disajikan

oleh uang pajak yang kami bayar.

Katanya ini negeri kaya raya.

Gunung menjulang, laut terbentang,

sawah menghampar, hutan luas.

Tapi entah kenapa,

yang kaya selalu mereka yang duduk di kursi empuk,

bukan yang memeras keringat di sawah,

atau yang menghirup debu jalanan.

Rakyat disuruh sabar,

sementara mereka tidak pernah tahu

rasanya antri minyak sejak subuh,

atau menakar beras dengan jari,

sambil berdoa agar besok masih bisa makan.

Mereka bilang: “subsidi dicabut demi kebaikan bersama.”

Tapi aku tak pernah melihat

apa yang baik dari harga naik setiap hari,

sementara gaji tetap di angka yang sama.

Mereka tersenyum di televisi,

membicarakan pembangunan,

menyebut kata “demi rakyat”

seperti mantra sakti.

Padahal rakyat hanyalah bayangan,

nama yang dipakai saat kampanye,

lalu dibuang setelah kursi didapatkan.

📢🔇🔊

Di gedung megah itu,

orang-orang berdasi duduk,

kadang pura-pura serius,

kadang benar-benar tidur.

Aku pernah menghitung,

mana lebih banyak:

jam sidang yang kosong,

atau kantong yang terisi?

Mereka disebut wakil rakyat.

Tapi aku tak pernah merasa diwakili.

Kalau mereka memang wakilku,

kenapa suara kami tak pernah didengar?

Kalau mereka memang wakilku,

kenapa setiap keputusan terasa

seperti tamparan di wajah kami?

Lucu sekali.

Rakyat disuruh hemat,

sementara mereka sibuk plesiran.

Rakyat disuruh kerja keras,

sementara mereka sibuk selfie di podium.

Rakyat disuruh jangan iri,

sementara mereka mengendarai mobil mewah

dari uang yang bukan milik mereka.

📢🔇🔊

Hukum katanya adil.

Tapi keadilan di negeri ini

ibarat timbangan yang miring.

Tajam ke bawah,

tumpul ke atas.

Pencuri ayam dihajar massa,

didorong ke jeruji besi.

Tapi pencuri uang miliaran

hanya dapat hukuman percobaan,

lalu keluar penjara dengan senyum,

disambut karangan bunga,

seolah-olah pulang dari perjalanan suci.

Aku melihat berita:

seorang nenek dipenjara karena mengambil kayu bakar,

sementara pejabat yang menggasak tanah rakyat

malah diberi jabatan baru.

Katanya hukum tak pandang bulu.

Benar.

Karena bulu-bulu mereka terlalu tebal,

tak bisa ditembus oleh hukum apa pun.

📢🔇🔊

Rakyat kecil hidupnya semakin sempit.

Harga sembako naik,

biaya sekolah naik,

biaya kesehatan naik,

bahkan biaya mati pun naik.

Kuburan pun sekarang berbayar.

Seakan-akan,

bahkan setelah mati pun,

kami masih harus membayar pajak.

Sementara itu,

di gedung kaca,

mereka mengadakan pesta.

Musik menggelegar,

lampu berkelap-kelip,

gelas anggur saling beradu.

Dan di panggung,

ada pidato tentang “kesederhanaan”.

Ironi ini begitu kental,

sampai rasanya bisa kuminum lebih pahit

daripada kopi basi.

📢🔇🔊

Aku tertawa pahit ketika mendengar kata “merdeka.”

Ya, benar kami merdeka.

Merdeka untuk lapar.

Merdeka untuk menganggur.

Merdeka untuk menonton janji-janji yang tak pernah ditepati.

Merdeka untuk menyaksikan

bagaimana uang negara

dibelanjakan untuk baliho wajah besar

yang dipasang di setiap sudut jalan,

senyumnya palsu,

matanya tak pernah menatap kami.

Mereka menyebut dirinya pelayan rakyat.

Tapi sejak kapan pelayan duduk di singgasana

dan rakyat berlutut memohon belas kasihan?

Sejak kapan pelayan diiringi pengawal bersenjata,

sementara rakyat diusir hanya karena menuntut haknya?

📢🔇🔊

Aku ingin menuliskan doa.

Tapi lidahku kelu.

Karena bagaimana aku bisa berdoa,

jika setiap doa sudah berubah menjadi bahan kampanye?

Mereka berdiri di mimbar,

mengucapkan ayat-ayat suci dengan lancar,

sementara di balik bibirnya yang basah doa,

terselip amplop yang lebih suci.

Tuhan pun barangkali muak.

Sebab namanya selalu dipakai

untuk membenarkan kebijakan busuk.

Atas nama Tuhan, harga dinaikkan.

Atas nama Tuhan, kritik dibungkam.

Atas nama Tuhan, rakyat disuruh ikhlas.

Seakan-akan Tuhan adalah stempel resmi

untuk setiap ketidakadilan.

📢🔇🔊

Rakyat semakin kehilangan suara.

Berbicara dianggap makar.

Membantah dianggap melawan negara.

Menulis dianggap ancaman.

Kami disuruh diam,

karena katanya persatuan lebih penting daripada perut.

Tapi bagaimana aku bisa bicara tentang persatuan,

jika perut anakku keroncongan,

sementara perut mereka buncit oleh pesta?

Mereka bilang kami harus bersyukur.

Ya, aku bersyukur.

Bersyukur masih bisa menulis,

meski tinta ini pahit.

Bersyukur masih bisa tertawa,

meski tawaku penuh getir.

Bersyukur masih bisa hidup,

meski hidup terasa seperti candaan murahan.

📢🔇🔊

Di luar sana, bendera berkibar.

Katanya, lambang kejayaan.

Tapi bagi kami,

bendera itu terasa seperti kain kafan,

menutupi mayat harapan yang sudah busuk.

Di televisi, pidato penuh janji.

Di jalanan, rakyat penuh caci.

Di media sosial, mereka sibuk membangun citra,

membeli kata-kata manis seperti gula,

untuk menutupi pahitnya kenyataan.

Lucu.

Negeri ini katanya demokrasi.

Tapi demokrasi macam apa

jika rakyat hanya diberi suara sekali lima tahun,

lalu dipaksa bungkam setelahnya?

📢🔇🔊

Aku ingin berhenti menulis.

Tapi tanganku terus bergerak.

Karena sakit ini terlalu dalam,

dan satu-satunya cara bertahan

adalah menertawakan absurditas ini.

Mereka bilang, negara ini serius.

Ya, serius membuat rakyat miskin.

Ya, serius memperkaya kroni.

Ya, serius menindas yang lemah.

Ya, serius memamerkan kebodohan.

Tapi lucunya,

negara ini juga selalu membuatku ngakak.

Ngakak melihat pejabat yang tersandung korupsi,

tapi masih bisa naik pangkat.

Ngakak melihat polisi sibuk razia sandal jepit,

sementara mafia merajalela.

Ngakak melihat rakyat dipukuli,

lalu pemerintah bilang itu demi keamanan.

Negara serius.

Tapi ngakak.

📢🔇🔊

Dan aku menutup tulisan ini dengan getir:

Kami bukan rakyat malas.

Kami bukan rakyat bodoh.

Kami hanya rakyat yang letih,

rakyat yang disuruh percaya

pada janji yang tak pernah ditepati,

rakyat yang dipaksa bertepuk tangan

saat panggung politik menampilkan komedi murahan.

Mereka boleh memanggil kami “warga negara.”

Tapi yang kurasakan,

kami hanyalah penonton,

yang bayar tiket dengan keringat,

tapi dipaksa duduk di kursi paling belakang,

sementara aktor-aktor busuk

menguasai panggung,

dan tertawa atas lakon

yang mereka sebut: kebijakan.

Negara ini serius.

Tapi sungguh,

terlalu ngakak untuk ditelan bulat-bulat.