Halaman ini mengandung Konten Dewasa. Jika usia kamu dibawah 18 tahun, mohon untuk tidak mengakses halaman ini
Fitur ini untuk akun Premium
Upgrade ke premium untuk fitur lengkap Kwikku
Baca karya premium
Lebih banyak diskon
Fitur lebih banyak
Waktunya berkarya
Jangan tunggu nanti tapi sekarang. Hari ini menentukan siapa kamu 5 sampai 10 tahun kedepan
Hallo Author
Kunjungi halaman author untuk memublikasikan karyamu di Kwikku, mulai dari Novel, Webtoon, Flash Fiction, Cover Book, dan Skrip Film
Kami mencoba menghargai author dari tindakan "Pembajakan", dan kami juga mengharapkan Anda demikian
Paket Berlangganan
Dengan menjadi bagian dari pengguna berlangganan. Kamu bisa mengakses berbagai manfaat yang kami berikan. Selain itu kamu juga bisa membaca ribuan cerita berbayar (yang berpartisipasi) tanpa perlu biaya tambahan
Kamu akan diarahkan ke Aplikasi Kwikku...
Unduh kwikku untuk akses yang lebih mudah
Scan untuk mengakses karya atau profil secara langsung.
Subuh sudah berkumandang. Apek mematikan rokoknya. Ia bergegas menuju bilik mandi yang berada di belakang rumahnya. Seorang lelaki kecil baru sudah bersuci. Apek melihat bocah itu sedang mematut kopiah, mulutnya komat-kamit tanda akhir berwudhu. "Rio, naikkan kain sarung tu, kotor kena tanah nanti nak," Apek mengusap kepala laki-laki kecil itu, menyodorkan tangannya. Si bocah mencium tangannya dan berlari menuju surau. Angin pantai bertiup sepoi. Bulan sisa semalam menggantung. Apek kembali ke kamar hendak shalat. Untuk memastikan tampilannya ia mengaca. Mata sipit, kulit cerah. Apek tersenyum.
Hari itu, tepat bulan keempat usai perayaan Cap Go Meh tahun1998 di Toboali. Malam paling terang. Bulan berada sangat dekat di atas Toboali. Cap Go Meh, malam ke lima belas kala itu tidak diperingati secara terbuka sebagai perayaan tutup tahun baru Imlek. Namun di Toboali yang penduduknya hampir separuh anak turun imigran Tiongkok yang mendarat dua abad lalu, diam-diam merayakannya. Penduduk asli Toboali tahu perayaan ini. Mereka tak merasa terusik. Kerukunan di Toboali sudah diwariskan berabad lalu. Warga keturunan yang sekolah di SD hingga SMA negeri banyak. Warna kulit dan selera tak pernah jadi masalah.
Lampion merah terpasang di pintu masuk rumah masing-masing warga keturunan. Gambar dan patung Dewa Thai Yi dipajang di dalam rumah. Anak-anak warga asli Toboali berkerumun di jalanan menikmati kue yang dibagikan "saudara" mereka, Tionghoa, anak cucu perantau Tiongkok yang sedang mengunci roh-roh jahat di jalanan agar tak keluar mengganggu upacara perayaan. Kue keranjang dan telok abang, telur ayam warna merah, yang dibagikan di jalanan jadi hidangan istimewa setahun sekali bagi anak-anak Toboali.
Sesudah melipat kain sarung, Rio kecil menimang syal merah yang baru dibelikan ayahnya. Ia mengikatkannya di leher, mematut diri di kaca spion motor bebek milik ayahnya. Tak nampak parasnya yang ganteng-segar. Kaca spion yang retak di beberapa sudutnya memantulkan wajah Rio yang lonjong berlapis-lapis. Bising knalpot dan asap putih tebal tak ia hiraukan. Rio langsung bergegas menuju pantai tempat perahu-perahu nelayan ditambat begitu ayahnya memanggil.
Pantai Kubu Toboali menyambut Rio. Langit biru, ombak bergulung kecil, riang. Alun tak ada, angin tenang. Rio dan ayahnya melaju dengan perahu kayu ukuran 2x4 meter.
Setumpuk jala yang tertata rapi memojokkan dua beranak itu ke bagian belakang perahu dekat mesin dan batang setir. Jerigen minyak menopang punggung Rio. Pandangan Rio kadang luas ke depan namun seringkali kandas di ujung tumpukan jala. Ia cemas. Hari itu pertama kali ia melaut. Rio anak laki-laki tunggal Apek. Ritual melaut harus sukses. Laki-laki lahir sendirian, melawan kesendirian. Arus laut membawa perahu melewati tiang batas bertuliskan 12 mil. Dua beranak itu menuju laut lepas saat matahari mulai hilang dari pandangan.
Laut memang punya tabiat yang dihafal para nelayan. Laut berangin lebih sejuk ketimbang angin mati yang bikin gerah. Hembusan angin yang kelewat kuat mendatangkan alun dan gulungan ombak. Perahu kecil akan memilih bersembunyi di balik pulau jika angin mulai ribut. Apalagi hujan turut mengguyur. Jika dilihat dari pantai, ombak yang pecah berbuih putih turun naik terlihat, itulah gelombang laut sedang tinggi.
Laut yang tenang lebih disenangi nelayan. Meski hawa menjadi panas namun gelombang dipastikan datar. Bahkan tak jarang para nelayan menemui situasi laut tenang layaknya kolam. Orang Toboali menyebutnya "cak kulong", seperti kolam yang tenang tanpa ombak.
Keuntungan lain, meski tenang di permukaan arus air bawah hidup. Arus membawa penghuni laut bergerak. Keadaan ini cocok bagi nelayan kecil dengan jala ukuran sedang. Di saat begini nelayan tak jarang menurunkan pancing ketika jala sudah dipasang. Ikan menyukai arus yang hidup. Arus mati dibenci nelayan. Tak ada ikan memakan umpan saat arus mati.
Hari itu angin pun segan berhembus di daratan. Terik menyapu seluruh Toboali. Tiada angin tiada hujan, tiba-tiba serombongan pemuda tak dikenal merangsek masuk ke kampung nelayan Toboali yang menyisakan para orang tua uzur. Di kampung ini warga keturunan Tionghoa adalah mayoritas.
Warga setempat tak sempat mencegah gaduh yang mendadak datang. Para tetua bangkit mencoba melawan. Mereka kalah cekatan. Para pemuda pendatang menyasar rumah-rumah keturunan Tionghoa. Membakarnya dan meringkus yang berusaha kabur lalu memaksa bersimpuh di tanah menyaksikan buah keringat dan jerih payah sepanjang hayat menjadi abu. Api yang disulut para perusuh menyala-nyala. Papan perahu yang sebelumnya dihancurkan kini ikut menjelma bara. Kaum tua terduduk menyaksikan api yang menghabiskan ruang hidup warga Habang, sebutan lain Toboali.
Anehnya, tak ada tangis yang terdengar dari para korban pembakaran rumah. Pipi mereka mengkilat, cahaya api memperjelas air mata yang tumpah. Tapi tak ada jerit menghiba.
Rio dan ayahnya tak pernah kembali ke daratan. Ayahnyalah yang memaksa balik kanan ketika pantulan api menggeser terang bulan di langit. Dugaan Apek benar. Ia sudah mendengar desas-desus menyebut akan ada operasi di Habang. Rupanya hari pertama Rio melaut adalah penanda perpisahan dengan istri dan anak Apek di daratan.
Agar perahu cepat melaju, Apek membuang semua ikan hasil seharian menjala. Tangis Rio tak digubrisnya. Apek menekan kecamuk hatinya dengan menyibukkan diri melepas ikan dan mengurai jala.
Di darat celaka, di laut harusnya jaya. Jari Rio berkali-kali tersangkut jaring saat membantu membuang ikan yang masih terjerat. Telapak tangannya penuh darah digilas senar jala yang hanyut terseret ombak. Daun tangan Rio terkelupas bersama garis di telapak tangannya yang hilang. Perahu kayu Apek mendadak mati kehabisan minyak. Cadangan solar di jerigen sudah ia tumpahkan seluruhnya ke dalam mesin ketika menuju perjalanan pulang ke darat. Kini ia hanya perlu mendayung. Mengerahkan sisa tenaga menjauhi petaka. Hujan turun, langit gelap.
Angin malam menghajar. Perahu kayu Apek pecah dihantam karang. Apek merengkuh Rio yang hanyut di bawah karang. Kepala Apek terantuk mesin kapal. Ia berhasil menarik Rio. Patahan separuh perahu masih mengapung. Apek menaikkan Rio ke dalamnya. Tapi ombak kembali menerjangnya. Keduanya terlempar ke atas pulau karang. Apek terjun ke laut, menyambar jerigen warna biru miliknya yang ikut hanyut.
Dingin makin membekukan dua jiwa yang kini terombang-ambing antara rindu daratan dan menjauh ke laut entah. Hidup tak boleh berhenti. Apek tak lagi sanggup menuntaskan perjuangannya. Ia memeluk Rio yang tergolek di atas jerigen. Apwk melepas bajunya, mengikat tubuh Rio menyatu dengan jerigen.
Pagi hari warga Sungai Lumpur OKI, kabupaten terdekat dari laut Toboali menemukan dua tubuh tersangkut mesin perahu milik warga. Satu anak-anak berusia lima tahunan masih bernafas. Satu lagi dewasa, tanpa baju tak bernyawa, ada luka robek di kepalanya.