Halaman ini mengandung Konten Dewasa. Jika usia kamu dibawah 18 tahun, mohon untuk tidak mengakses halaman ini
Fitur ini untuk akun Premium
Upgrade ke premium untuk fitur lengkap Kwikku
Baca karya premium
Lebih banyak diskon
Fitur lebih banyak
Waktunya berkarya
Jangan tunggu nanti tapi sekarang. Hari ini menentukan siapa kamu 5 sampai 10 tahun kedepan
Hallo Author
Kunjungi halaman author untuk memublikasikan karyamu di Kwikku, mulai dari Novel, Webtoon, Flash Fiction, Cover Book, dan Skrip Film
Kami mencoba menghargai author dari tindakan "Pembajakan", dan kami juga mengharapkan Anda demikian
Paket Berlangganan
Dengan menjadi bagian dari pengguna berlangganan. Kamu bisa mengakses berbagai manfaat yang kami berikan. Selain itu kamu juga bisa membaca ribuan cerita berbayar (yang berpartisipasi) tanpa perlu biaya tambahan
Kamu akan diarahkan ke Aplikasi Kwikku...
Unduh kwikku untuk akses yang lebih mudah
Scan untuk mengakses karya atau profil secara langsung.
23 Mei 2007, Rustam Adrianto mengambil keputusan yang tak pernah ia inginkan. Karirnya sebagai pemain sepak bola harus berakhir lebih awal setelah vonis dokter yang menyatakan bahwa persendian di pundak kanannya rusak parah dan tak akan pernah pulih jika ia tetap aktif bermain. Pemain andalan salah satu klub tersohor yang bermain di divisi utama liga nasional itu harus gantung sepatu di usia 28 tahun. Usia yang dapat dibilang golden age terutama bagi center back seperti dirinya. Performa gemilangnya selama dua musim terakhir seperti tak ada artinya. Hari itu, ia bahkan tak berselera menyaksikan gelaran partai final Liga Champions yang tak pernah dilewatkannya tiap tahun. Rustam berusaha tidur lebih awal. Dalam hati, ia merasa dirinya telah tamat. Dikuat-kuatkan diri demi hidup yang masih harus diperjuangkan. Dari kamar rawat inap rumah sakit, pria yang habis pensiun dini itu menatap nanar ke arah barat. Tak pernah terlintas di benaknya bahwa keputusan gilanya untuk menyeberang ke tanah Sumatra beberapa tahun berikutnya akan menjadi titik balik dalam hidupnya. Beberapa jam setelahnya, di salah satu kecamatan paling ramai di kota Bandarlampung, tepat saat stasiun televisi swasta berlambang garuda menayangkan Paolo Maldini, kapten AC Milan merengkuh piala besar berkuping lebar yang merupakan simbol prestise persepakbolaan Eropa, Ginola bersorak meneriakkan nama idolanya: Filipo Inzaghi, yang pada dini hari waktu Indonesia itu menjadi pemain terbaik dalam gelaran partai final. Dinamai macam penyerang legendaris Prancis tahun 90an, bocah kelas 4 SD berkulit sawo matang nyaris busuk itu sudah sejak lama mengidolakan duet maut nomor 7 dan 9 milik klub merah-hitam asal Italia. Sejak masih di taman kanak-kanak, mimpinya adalah menjadi setriker macam Shevchenko dengan tendangan geledeknya, atau sekurang-kurangnya seperti Inzaghi yang terlalu pandai mengelabui penjaga gawang lawan. Ginola berbinar matanya. Tak pernah terbayangkan oleh bocah itu, berjarak 200 kilometer lebih di arah timur, salah seorang pensiunan center back akan berjumpa dengannya, dan mengubah pandangannya terhadap sepak bola.