Halaman ini mengandung Konten Dewasa. Jika usia kamu dibawah 18 tahun, mohon untuk tidak mengakses halaman ini
Fitur ini untuk akun Premium
Upgrade ke premium untuk fitur lengkap Kwikku
Baca karya premium
Lebih banyak diskon
Fitur lebih banyak
Waktunya berkarya
Jangan tunggu nanti tapi sekarang. Hari ini menentukan siapa kamu 5 sampai 10 tahun kedepan
Hallo Author
Kunjungi halaman author untuk memublikasikan karyamu di Kwikku, mulai dari Novel, Webtoon, Flash Fiction, Cover Book, dan Skrip Film
Kami mencoba menghargai author dari tindakan "Pembajakan", dan kami juga mengharapkan Anda demikian
Paket Berlangganan
Dengan menjadi bagian dari pengguna berlangganan. Kamu bisa mengakses berbagai manfaat yang kami berikan. Selain itu kamu juga bisa membaca ribuan cerita berbayar (yang berpartisipasi) tanpa perlu biaya tambahan
Kamu akan diarahkan ke Aplikasi Kwikku...
Unduh kwikku untuk akses yang lebih mudah
Scan untuk mengakses karya atau profil secara langsung.
Jenis Karya: Novel (Fiksi Sejarah) Judul: Satru Mataram [Sepasang Pendekar Pedang Cinta} Karya: Sri Wintala Achmad
Satru Mataram (Sepasang Pendekar Pedang Cinta) merupakan novel (fiksi sejarah) dengan latar belakang pemerintahan Penembahan Senapati di Kesultanan Mataram (1587-1601) yang diwarnai dengan perluasan wilayah kekuasaan dan pemberontakan Adipati Pragola dari Pati. Dengan demikian, fiksi sejarah yang berorientasi pada naskah Babad Tanah Djawi tersebut cenderung mengisahkan tentang pasca peristiwa perseteruan politis antara Panembahan Senapati versus Ki Ageng Mangir Wanabaya. Seorang penguasa dari Pedukuhan Mangir yang masih memiliki hubungan darah dengan Prabu Brawijaya (penguasa Majapahit terakhir). Secara garis besar, kisah di dalam Satru Mataram menceritakan tentang pengabdian Bagus Badranaya atau Jaka Satru (putra Ki Ageng Mangir Wanabaya dan putri Pembayun) di Kesultanan Mataram. Pengabdian dari seorang pemuda (murid) Padepokan Karanglo di Desa Toyamas yang berdasarkan ajaran Ki Ageng Karanglo di mana setiap manusia tidak diperbolehkan menanam dendam kepada siapapun, termasuk kepada Panembahan Senapati. Kakeknya yang konon tega membunuh ayahandanya sendiri. Semangat Bagus Badranaya untuk mengabdi pada Mataram pula berangkat dari bisikan gaib yang ditangkap di makam Ki Ageng Mangir Wanabaya di Desa Banaran. Di mana sebagai putra Mataram memiliki kewajiban untuk mengabdi kepada tanah tumpah darahnya sampai tetes darah penghabisan. Sekalipun Panembahan Senapati dan beberapa orang Mataram tetap menghendaki kematiannya. Karena dikehendaki kematiannya oleh Panembahan Senapati, Bagus Badranaya di dalam mengabdi pada Mataram menggunakan nama samaran Jaka Satru. Mula-mula pengabdian Jaka Satru diterima sebagai lurah tamtama. Karir Jaka Satru meningkat sebagai senapati perang berkat rekayasa Reksaraga dan Reksasukma (mantan murid Ki Ageng Mangir Wanabaya) dan usulan Tumenggung Alap Alap kepada Panembahan Senapati. Sebagai senapati perang, Bagus Badranaya beserta Sekarsari kekasihnya tidak hanya turut mempertahankan Kesultanan Mataram dari serbuan pasukan gabungan negara-negara bang wetan di bawah kepemimpinan Adipati Pasagi dan Rangga Lelana, namun pula turut mewujudkan keberhasilan Mataram dalam menaklukkan Kadipaten Malang dan Lamongan. Namun prestasi besar pengabdian Bagus Badranaya tersebut tidak disertai dengan buah yang manis. Bahkan Bagus Badranaya dituduh oleh orang-orang Mataram telah meracun Panembahan Senapati yang sakit keras itu sesudah menghidangkan masakan daging sepasang burung berbulu kuning di dalam ruang pribadinya. Menjelang akhir cerita, Bagus Badranaya yang dapat mengatasi krida orang-orang Mataram itu lenyap tersapu pusaran angin besar yang bergerak dari alun-alun pungkuran ke arah selatan. Karenanya orang-orang Mataram menduga, kalau jasad dan jiwa Bagus Badranaya yang lenyap bersama wafatnya Panembahan Senapati telah dikehendaki Ratu Kidul. Seorang Penguasa gaib Laut Selatan.
Dalam kurun yang tak lagi sama dengan kemarin - seperti yang dikatakan Francis Fukuyama dengan ‘ distruption ‘ - novel ini mengingatkan saya pada zaman keemasan Balai Pustaka. Kiwari, kesederhanaan menjadi ' barang mahal '. Renik kisah manusia dalam Mataram dicomot, lalu dikembangkan dengan bahasa yang prasaja, terang, tanpa akrobat serta pamer majas cum pamer seni menulis untuk sekadar menampilkan kepiawaian dengan hasil indah. Ia menjadi terang dengan sederhana, dan pada bab 14 hingga akhir saya menemukan betapa emas tetaplah batu mulia meski ada di dalam genangan sawah. Mungkin novel ini serupa bibit yang akan bertumbuh lebih subur saat masa indahnya tiba: bisa dipeluk dan dibaui kertasnya.