Terjebak dalam tekanan berat akibat bullying di sekolah, Azfa didiagnosis dengan post-traumatic stress disorder. Bayangkan jika kamu berada dalam lingkaran 42,2 persen korban bullying. Tentu kamu ingin melawan, bukan? Namun kenyataannya tidak semudah itu. Terintimidasi oleh Dani, Dimas, Sita dan Azkiya, sekaligus squad mereka, Azfa kehilangan kepercayaan diri yang besar. Ketakutan, kecemasan, dan perasaan tidak berguna terus menghantui hidupnya.

Diam bukan solusi. Azfa akhirnya mencoba melawan, meskipun harus menghadapi pengkhianatan dari sahabatnya sendiri, Nala. Tanpa privilage apa pun, Azfa harus bertahan menghadapi segala rintangan, termasuk dari pelaku bullying.

Sialnya, Azfa malah menaruh hati tanpa sengaja pada salah satu sahabat pelaku bullyingnya. Jatuh hati memang bukan kesalahannya, namun ia menyesali untuk seumur hidupnya, entah kenapa dirinya bisa jatuh hati begitu dalam pada laki-laki itu. Mungkin saja karena laki-laki itu agak berbeda. Orang itu merupakan cinta pertama Azfa.

"Oh Allah, bisakah Engkau memutar waktu kembali, agar aku tidak pernah jatuh hati padanya?" Mungkin hanya hal itu yang bisa dikatakan oleh Azfa atas kekesalannya pada dirinya sendiri. Sayangnya hal itu terlalu klasik jika sampai kisah cinta Azfa tercapai. Mencintai dalam diam adalah satu-satunya cara yang dilakukan oleh Azfa. Namun untuk memilikinya, sepertinya Azfa memiliki ribuan kesadaran, jika hal itu tidak akan menjadi mungkin.


Cover mentahan dari pinterest : @Beyza Yiĝit
Edit cover : canva