Cerita ini mengangkat tema utama tentang takdir, pilihan moral, dan kekuatan pengampunan dalam balutan fantasi perjalanan waktu yang gelap dan emosional. Di tengah keputusasaan dan keruntuhan hidup, seorang lelaki dihadapkan pada sebuah ujian metafisis oleh sosok misterius bernama Sir Ehad—ia diberi kesempatan 168 jam untuk kembali ke masa lalu dan merancang ulang hidupnya.

Namun perjalanan waktu ini bukan sekadar pelarian atau perbaikan masa lalu. Ia harus memilih: menjalani jalan terang dengan memperbaiki diri tanpa menyakiti orang lain, atau menempuh jalan gelap dengan membalas dendam dan memanipulasi sejarah demi keuntungan pribadi. Dengan waktu yang terus berdetak melalui "jam darah" di telapak tangannya, tokoh utama terjebak dalam konflik batin antara luka masa lalu dan harapan akan masa depan. Apakah penderitaan menghalalkan balas dendam? Jika kita bisa kembali ke masa lalu, haruskah kita mengubah orang lain—atau diri kita sendiri? Apakah seseorang tetap bisa disebut manusia ketika ia bermain menjadi Tuhan atas waktu dan takdir?