Halaman ini mengandung Konten Dewasa. Jika usia kamu dibawah 18 tahun, mohon untuk tidak mengakses halaman ini
Fitur ini untuk akun Premium
Upgrade ke premium untuk fitur lengkap Kwikku
Baca karya premium
Lebih banyak diskon
Fitur lebih banyak
Waktunya berkarya
Jangan tunggu nanti tapi sekarang. Hari ini menentukan siapa kamu 5 sampai 10 tahun kedepan
Hallo Author
Kunjungi halaman author untuk memublikasikan karyamu di Kwikku, mulai dari Novel, Webtoon, Flash Fiction, Cover Book, dan Skrip Film
Kami mencoba menghargai author dari tindakan "Pembajakan", dan kami juga mengharapkan Anda demikian
Paket Berlangganan
Dengan menjadi bagian dari pengguna berlangganan. Kamu bisa mengakses berbagai manfaat yang kami berikan. Selain itu kamu juga bisa membaca ribuan cerita berbayar (yang berpartisipasi) tanpa perlu biaya tambahan
Kamu akan diarahkan ke Aplikasi Kwikku...
Unduh kwikku untuk akses yang lebih mudah
Scan untuk mengakses karya atau profil secara langsung.
Sang Penakluk: Fajar Baru di Atas Byzantium Pendahuluan
Angin dingin berhembus melintasi Semenanjung Balkan, membawa bisikan-bisikan perubahan. Di tanah Anatolia, sebuah kekuatan baru bangkit, di bawah panji-panji bulan sabit dan bintang. Kesultanan Utsmaniyah, di bawah kepemimpinan seorang Sultan muda yang ambisius, Mehmed II, mengarahkan pandangannya ke barat, ke jantung Kekaisaran Romawi Timur yang telah lama memudar: Konstantinopel.
Kota yang megah itu, dikelilingi oleh tembok-tembok tak tertembus yang telah bertahan selama seribu tahun, adalah simbol kejayaan masa lalu, benteng terakhir Kristen Ortodoks di timur. Namun, kini ia hanya bayangan dari masa jayanya, dikepung oleh wilayah Utsmaniyah yang terus meluas. Pada tahun 1453, nasib sebuah kekaisaran dan masa depan dua peradaban akan ditentukan di bawah tembok-temboknya yang menjulang. Mehmed, sang penakluk, bertekad untuk menorehkan namanya dalam sejarah, dan Konstantinopel adalah mahkota yang harus ia rebut. Bab Pertama: Obsesi Sang Sultan
Matahari pagi menyinari tenda-tenda megah di Edirne, ibu kota Utsmaniyah. Di dalam tenda utamanya, Sultan Mehmed II, seorang pemuda berusia dua puluh satu tahun dengan tatapan mata tajam dan sorot pemikiran yang dalam, menatap peta besar Konstantinopel yang terhampar di mejanya. Sejak kecil, ia telah terobsesi dengan kota itu, membaca kisah-kisah penaklukannya, mempelajari setiap celah dan kelemahan temboknya.
"Konstantinus," gumamnya, jari-jarinya menelusuri garis-garis tembok Theodosius yang legendaris. "Sudah terlalu lama kota ini menjadi duri dalam daging kita."
Di sampingnya, Khalil Pasha, Wazir Agung yang berpengalaman namun konservatif, berdeham. "Tuanku, penaklukan Konstantinopel adalah usaha yang sangat besar. Musim dingin akan tiba, dan logistik..."
Mehmed menoleh, matanya berkilat. "Logistik akan diurus, Khalil. Rakyatku akan berjuang, dan Allah akan memberkati perjuangan kita. Kota itu adalah kunci. Dengan Konstantinopel di tangan kita, kita menguasai jalur perdagangan, kita menguasai dunia. Nenek moyang kita telah mencoba, dan gagal. Tapi aku... aku akan menjadi yang terakhir."
Tekad Mehmed tak tergoyahkan. Ia telah memerintahkan pembangunan meriam raksasa yang belum pernah ada sebelumnya, di bawah pengawasan insinyur Hongaria yang membelot, Urban. Meriam itu, dijuluki "Basilik", adalah senjata pemusnah massal yang dirancang khusus untuk menghancurkan tembok-temen Konstantinopel. Sementara itu, armada laut Utsmaniyah juga diperkuat, mempersiapkan diri untuk blokade laut. Berita persiapan perang Utsmaniyah menyebar seperti api, mencapai telinga Kaisar Konstantinus XI Palaiologos di Konstantinopel, yang semakin terisolasi dan putus asa. Bab Kedua: Jantung yang Terkepung
Di Konstantinopel, suasana tegang terasa mencekam. Kaisar Konstantinus XI, seorang pria gagah berani namun dengan sumber daya yang terbatas, memimpin kota yang sedang sekarat. Kekaisaran Byzantium telah menyusut menjadi hanya kota itu sendiri dan beberapa wilayah kecil di sekitarnya. Populasinya menurun drastis, pertahanan mereka rapuh, dan harapan akan bantuan dari Barat semakin tipis.
"Kami akan bertahan," Konstantinus berujar kepada para jenderalnya dalam sebuah pertemuan di Istana Blachernae. "Tembok-tembok ini telah melindungi kita selama ribuan tahun. Dan dengan iman kita kepada Tuhan, kita akan bertahan lagi."
Namun, di dalam hatinya, ia tahu bahwa ini adalah pertarungan terakhir. Kota itu kekurangan makanan, amunisi, dan yang terpenting, pasukan. Ia telah mengirim utusan ke seluruh Eropa, memohon bantuan dari Paus, dari Venesia, dari Genoa, dari Hongaria. Beberapa bantuan kecil tiba, seperti beberapa ratus tentara bayaran dari Genoa yang dipimpin oleh Giovanni Giustiniani Longo, seorang komandan yang cakap. Namun, itu tidak cukup untuk menghadapi gelombang besar pasukan Utsmaniyah yang sedang mendekat.
Ketegangan di kota juga diperparah oleh perselisihan agama. Sebagian besar rakyat Ortodoks menolak bantuan dari Katolik Roma karena takut akan "penyatuan gereja" yang akan mengikis identitas keagamaan mereka. Konstantinus berusaha menyatukan semua faksi, namun rasa frustrasi dan keputusasaan mulai menyebar di antara penduduk.
Pada akhir Maret 1453, mata-mata membawa kabar bahwa pasukan Utsmaniyah yang tak terhitung jumlahnya telah mulai bergerak. Mereka membawa mesin-mesin perang yang mengerikan, termasuk meriam-meriam raksasa. Konstantinopel, mutiara timur, akan menghadapi ujian terberatnya. Bab Ketiga: Pengepungan Dimulai
Fajar tanggal 6 April 1453. Suara genderang perang Utsmaniyah yang menggelegar memecah keheningan pagi. Ribuan tentara, dari Janissari yang elit hingga pasukan irregular yang penuh semangat, membanjiri dataran di luar tembok Theodosius. Di tengah-tengah mereka, meriam Basilik yang menakutkan telah diposisikan.
Serangan pertama dimulai dengan bombardir artileri yang memekakkan telinga. Peluru-peluru batu seberat ratusan kilogram menghantam tembok, menimbulkan getaran yang terasa hingga ke dalam kota. Penduduk Konstantinopel, yang belum pernah menyaksikan kekuatan artileri sebesar ini, diliputi kengerian.
"Pertahankan posisi!" teriak Giustiniani, memimpin pasukannya di dekat gerbang St. Romanus, titik terlemah di tembok luar. Ia dan pasukannya menunjukkan keberanian luar biasa, memperbaiki kerusakan tembok dengan cepat dan membalas serangan dengan panah dan proyektil.
Namun, Utsmaniyah tidak hanya menyerang dari darat. Armada laut mereka yang besar, yang terdiri dari lebih dari seratus kapal, berusaha menembus rantai besar yang membentang di seberang Tanduk Emas, melindungi pelabuhan dari serangan laut. Rantai itu, sebuah mahakarya rekayasa Byzantium, berhasil menahan serangan awal.
Mehmed, yang memimpin pasukannya dari tenda utamanya, mengamati dengan cermat setiap detail. Ia melihat keberanian para pembela, namun juga kelelahan yang mulai terlihat. Ia tahu bahwa ini akan menjadi pengepungan yang panjang dan brutal. Bab Keempat: Strategi Gila
Minggu-minggu berikutnya adalah neraka bagi Konstantinopel. Bombardir terus-menerus meruntuhkan bagian-bagian tembok, sementara serangan infanteri dan kavaleri mencoba memanfaatkan setiap celah. Pertempuran sengit terjadi siang dan malam, dengan kedua belah pihak menderita kerugian besar.
Suatu malam, Mehmed mengadakan pertemuan dengan para jenderalnya. "Rantai di Tanduk Emas adalah masalah," katanya dengan dingin. "Kita tidak bisa menyerang dari sana jika tidak bisa masuk."
Khalil Pasha mengangguk. "Itu benar, Tuanku. Armada kita tidak bisa lewat."
Mehmed tersenyum tipis, senyum yang membuat bulu kuduk merinding. "Jika kita tidak bisa lewat, kita akan membawa kapal-kapal kita melewati daratan."
Para jenderal saling pandang, terkejut. Memindahkan puluhan kapal perang melewati perbukitan, melintasi rute sepanjang lebih dari satu mil, dari Bosporus ke Tanduk Emas, adalah ide yang gila. Namun, Mehmed adalah seorang visioner yang tak kenal takut. Ia memerintahkan pembangunan jalan kayu yang dilumuri lemak hewan, dan dengan menggunakan tenaga ribuan pekerja, kapal-kapal Utsmaniyah mulai ditarik ke atas bukit dan meluncur turun ke Tanduk Emas, melewati rantai yang tak tertembus.
Pada pagi hari tanggal 22 April, para pembela Konstantinopel terbangun melihat pemandangan yang tak terbayangkan: puluhan kapal Utsmaniyah berlayar dengan bebas di dalam Tanduk Emas. Kepanikan menyebar di kota. Pertahanan yang mereka yakini tak tertembus kini telah dilampaui. Bab Kelima: Pertarungan Terakhir
Dengan kapal-kapal Utsmaniyah di Tanduk Emas, tekanan pada Konstantinopel semakin meningkat. Pasukan Utsmaniyah dapat menyerang dari dua sisi, memaksa Konstantinus untuk membagi pasukannya yang sudah sedikit. Moral pasukan Byzantium mulai runtuh.
Giustiniani, meskipun terluka dalam salah satu serangan, terus memimpin dengan gagah berani. Namun, pada tanggal 29 Mei, sebuah peristiwa yang menentukan terjadi. Saat mempertahankan celah di tembok, ia terkena tembakan panah yang parah. Luka itu tidak mematikan, tetapi Giustiniani, merasa bahwa ia tidak dapat lagi memimpin, meminta untuk dievakuasi dari medan perang. Kepergiannya, meskipun beralasan, berdampak besar pada moral pasukan.
Konstantinus, yang melihat kondisi pasukannya, tahu bahwa waktu hampir habis. Pada malam tanggal 28 Mei, ia mengadakan misa terakhir di Hagia Sophia. Ia berbicara kepada rakyatnya, memohon mereka untuk berjuang hingga titik darah penghabisan.
"Demi nama Tuhan, demi kehormatan kita, demi kota suci ini, mari kita berjuang!" serunya, suaranya dipenuhi kesedihan namun juga keteguhan hati.
Fajar 29 Mei, serangan terakhir Utsmaniyah dimulai. Tiga gelombang serangan diluncurkan secara berurutan: pasukan irregular, diikuti oleh tentara Anatolia, dan akhirnya, Janissari, pasukan elit Mehmed yang paling menakutkan. Gelombang demi gelombang pasukan Utsmaniyah menerjang tembok, sementara para pembela yang kelelahan dan kelaparan berjuang mati-matian. Bab Keenam: Gerbang Terbuka
Pertempuran di tembok sangat brutal. Janissari, dengan teriakan "Allahu Akbar!", menyerbu celah-celah yang telah dibuat oleh meriam. Konstantinus sendiri, dengan pedang di tangan, berjuang di garis depan, di dekat gerbang St. Romanus, di samping pasukannya yang setia.
Di tengah kekacauan, sebuah kejadian fatal terjadi. Salah satu gerbang kecil, Kerkoporta, yang diyakini telah dikunci, entah bagaimana terbuka. Beberapa pasukan Utsmaniyah berhasil menyusup melalui gerbang ini, masuk ke dalam kota.
Berita tentang musuh yang telah masuk ke dalam kota menyebar dengan cepat, menyebabkan kepanikan massal. Moral para pembela hancur. Banyak yang mulai melarikan diri, meninggalkan pos mereka.
Konstantinus, menyadari bahwa semuanya telah berakhir, menolak untuk menyerah. Dengan beberapa pengikut setianya, ia terus berjuang di jalan-jalan kota. Beberapa saksi mata terakhir melaporkan melihatnya bertempur dengan gagah berani di dekat Forum Tauri, sebelum akhirnya ia tumbang, mati sebagai seorang prajurit dan kaisar. Jasadnya tidak pernah ditemukan.
Pada tengah hari, suara azan bergema dari menara-menara Hagia Sophia yang telah ditaklukkan. Bendera Utsmaniyah berkibar di atas kota. Konstantinopel telah jatuh. Penutup
Tanggal 29 Mei 1453, adalah hari yang mengubah sejarah dunia. Dengan jatuhnya Konstantinopel, Kekaisaran Romawi Timur yang telah berdiri selama lebih dari seribu tahun, akhirnya runtuh. Mehmed II telah menepati janjinya, meraih gelar "Sang Penakluk" (Fatih).
Setelah penaklukan, Mehmed segera memasuki kota, mengendarai kudanya dengan tenang melalui jalan-jalan yang hancur. Ia menuju Hagia Sophia, gereja megah yang menjadi simbol kekuasaan Kristen. Ia memerintahkan agar gereja itu diubah menjadi masjid, sebuah simbol kemenangan Islam atas Kristen. Namun, ia juga menunjukkan toleransi, menjamin keselamatan para penduduk yang tersisa dan melarang penjarahan yang berlebihan, ingin membangun kembali kota itu sebagai ibu kota baru kesultanannya.
Penaklukan Konstantinopel memiliki dampak yang mendalam. Itu menandai akhir Abad Pertengahan dan dimulainya era modern. Jalur perdagangan ke timur melalui darat kini dikuasai Utsmaniyah, mendorong bangsa Eropa untuk mencari jalur laut baru, yang pada akhirnya mengarah pada penemuan Dunia Baru. Kebanyakan cendekiawan Byzantium melarikan diri ke Barat, membawa serta pengetahuan klasik yang hilang, yang kemudian berkontribusi pada Renaisans di Eropa.
Bagi Kesultanan Utsmaniyah, penaklukan ini adalah puncak kejayaan mereka. Konstantinopel, yang kemudian dikenal sebagai Istanbul, menjadi ibu kota yang gemilang, pusat kekuasaan, budaya, dan perdagangan yang berkembang pesat.
Warisan Mehmed II sebagai Sang Penakluk tetap abadi. Ia adalah seorang pemimpin yang visioner, seorang ahli strategi militer yang brilian, dan seorang pelindung seni dan ilmu pengetahuan. Namun, di balik semua itu, ia adalah seorang pria yang terobsesi dengan takdir, yang dengan tangannya sendiri, mengubah peta dunia dan membuka babak baru dalam sejarah umat manusia. Dan di bawah langit Istanbul yang kini benderang, gema dari pertarungan terakhir itu, dan kejatuhan sebuah kekaisaran, akan selalu menjadi pengingat akan kekuatan ambisi dan keberanian manusia.