Halaman ini mengandung Konten Dewasa. Jika usia kamu dibawah 18 tahun, mohon untuk tidak mengakses halaman ini
Fitur ini untuk akun Premium
Upgrade ke premium untuk fitur lengkap Kwikku
Baca karya premium
Lebih banyak diskon
Fitur lebih banyak
Waktunya berkarya
Jangan tunggu nanti tapi sekarang. Hari ini menentukan siapa kamu 5 sampai 10 tahun kedepan
Hallo Author
Kunjungi halaman author untuk memublikasikan karyamu di Kwikku, mulai dari Novel, Webtoon, Flash Fiction, Cover Book, dan Skrip Film
Kami mencoba menghargai author dari tindakan "Pembajakan", dan kami juga mengharapkan Anda demikian
Paket Berlangganan
Dengan menjadi bagian dari pengguna berlangganan. Kamu bisa mengakses berbagai manfaat yang kami berikan. Selain itu kamu juga bisa membaca ribuan cerita berbayar (yang berpartisipasi) tanpa perlu biaya tambahan
Kamu akan diarahkan ke Aplikasi Kwikku...
Unduh kwikku untuk akses yang lebih mudah
Scan untuk mengakses karya atau profil secara langsung.
Kelelahan begitu terlihat dari wajahnya yang putih pucat, kegiatan perkuliahan yang padat membuatnya terlihat lebih kurus. Tidak, sebenarnya yang membuat ia semakin kurus adalah kisah percintaannya. Kisahnya dengan seseorang yang bernama Karang, seseorang yang mencintainya degan sempurna namun justru menjadikannya merasa tidak pantas menerima cinta itu, tentang kisah cinta yang tidak pernah usai.
Ia mengerjapkan mata kemudian membukanya perlahan, keterkejutan terlihat nyata dari wajahnya yang semakin pucat, ia tidak sedang berada di dalam kamar kos miliknya. Seluruh ruangan disapu dengan matanya yang mulai berkaca-kaca, sebuah televisi menggantung tepat di dinding yang berada di hadapannya, pintu yang terkunci rapat berada di sebelah kiri berdampingan dengan pintu kamar kecil, kemudian sebuah meja kecil dengan dua botol air mineral, remot AC, tas dan telepon seluler miliknya, ia sedang berada di sebuah kamar hotel.
Perasaan aneh pada tubuhnya membuat ia tergesa memeriksa apa yang terjadi dibalik selimut yang dikenakan, baju yang terakhir ia kenakan saat makan malam bersama Glen sudah tertanggal tidak tersisa apa pun. Kaca-kaca di matanya pecah tidak tertahankan, rasa sakit dalam hatinya jauh lebih sakit dibanding dengan rasa sakit apa pun yang pernah ia rasakan.
Sakit karena rasa kecewa, kecewa dengan apa pun yang pernah ia miliki. Kecewa dengan keadaan yang menimpa dirinya, kecewa dengan Glen sebagai teman dekatnya, kecewa dengan dirinya sendiri karena tidak bisa menjaga kesuciannya, kecewa karena dirinya tidak bisa menjaga amanah Ibu dan almarhum Bapaknya. Menangis sesenggukan tidak berarti apa-apa, ia terus berusaha diam pun tidak berguna.
Pikirannya yang kacau membuat ia tidak tahu harus bagaimana, banyak sekali kata-kata yang berkeliaran justru membuatnya semakin pusing dan menambah derai di pipinya semakin deras. Perlahan ia meraih telepon seluler miliknya, menatap layar depan yang menunjukkan jam delapan pagi. Ia tidak tahu pasti sudah berapa lama dia berada di dalam kamar itu, ia juga tidak tahu bagaimana bisa berada dikamar hotel itu. Yang melekat dalam ingatannya terakhir kali ia sedang bersama Glen dalam perjalanan pulang setelah makan malam.
"Setelah ini, lebih baik kamu pergi." Sebuah pesan masuk dari nomor yang tidak dikenali baru saja ia baca. Ia menduga bahwa pesan itu dari Glen, menjadikan derai di pipinya semakin deras.
Setelah mengenakan pakaian ia segera meraup semua barang miliknya dan melangkahkan kaki meninggalkan hotel itu. Sembari kembali mengingat apa yang mungkin saja terjadi, bahwa ketika dalam perjalanan pulang motor yang dikendarai Glen dihadang sebuah mobil hitam dan sekitar tiga orang keluar dari mobil menggunakan penutup wajah, ia tidak begitu melihat secara jelas. Ia sempat berteriak meminta tolong dengan seluruh tenaga yang dimilikinya, namun tidak ada yang mendengar, bahkan Tuhan tidak menjawab permohonannya. Dan selebihnya ia tidak mengingat apa-apa lagi.