Bagaimana jika hidupmu hanya tersisa dua hari, dan kau belum pernah benar-benar hidup untuk dirimu sendiri?
Seperti Wiratama, seseorang yang selalu menjadi tumpuan. Anak sulung, satu-satunya laki-laki, tulang punggung keluarga, dan sandaran bagi banyak orang yang tak tahu diri. Setelah ditinggal kedua orang tuanya, hidupnya habis untuk orang lain.
Jalinan cinta selama tujuh tahun pun dikorbankan, impian-impian terkubur oleh tuntutan tanggung jawab. Lalu, diam-diam tubuhnya mulai melawan.
Ketika firasat kematian datang dua hari sebelum ajal menjemput. Wiratama memutuskan satu hal—kali ini, ia ingin hidup sebagai dirinya sendiri. Sekali saja. Tanpa beban, tuntutan, dan tanpa menjadi pahlawan untuk siapa pun.
Namun, bisakah seseorang yang terbiasa memberi belajar menolak?
"Dulu kupikir hidup cuma soal rajin.. berangkat kerja, sabar ketika mendapat ujian, dan terus berbuat baik. Tapi ternyata yang sabar juga harus kalah, yang baik juga harus patah."