Halaman ini mengandung Konten Dewasa. Jika usia kamu dibawah 18 tahun, mohon untuk tidak mengakses halaman ini
Fitur ini untuk akun Premium
Upgrade ke premium untuk fitur lengkap Kwikku
Baca karya premium
Lebih banyak diskon
Fitur lebih banyak
Waktunya berkarya
Jangan tunggu nanti tapi sekarang. Hari ini menentukan siapa kamu 5 sampai 10 tahun kedepan
Hallo Author
Kunjungi halaman author untuk memublikasikan karyamu di Kwikku, mulai dari Novel, Webtoon, Flash Fiction, Cover Book, dan Skrip Film
Kami mencoba menghargai author dari tindakan "Pembajakan", dan kami juga mengharapkan Anda demikian
Paket Berlangganan
Dengan menjadi bagian dari pengguna berlangganan. Kamu bisa mengakses berbagai manfaat yang kami berikan. Selain itu kamu juga bisa membaca ribuan cerita berbayar (yang berpartisipasi) tanpa perlu biaya tambahan
Kamu akan diarahkan ke Aplikasi Kwikku...
Unduh kwikku untuk akses yang lebih mudah
Scan untuk mengakses karya atau profil secara langsung.
. "Anak Lelaki yang Dijadikan Waria" adalah sebuah drama psikologis yang meresahkan, menyelami kehancuran identitas seorang pria muda di bawah tekanan keadaan, pengkhianatan keluarga, dan dominasi nafsu brutal yang tak terbayangkan. Kisah ini mengikuti perjalanan pilu Revan Ardiansyah, seorang pemuda berusia 23 tahun dari kota kecil di Jawa Tengah, yang hidupnya terlempar jauh dari garis takdirnya yang seharusnya, menuju neraka personal yang berlapis sutra.
Revan adalah potret tipikal pemuda Indonesia yang penuh tanggung jawab. Lulusan D3 teknik sipil, ia bercita-cita melanjutkan ke jenjang S1, namun keterbatasan biaya membuatnya harus menunda impian itu. Ia tinggal bersama ayahnya yang pengangguran dan ibunya yang berjuang keras dengan berjualan kecil-kecilan. Sebagai anak pertama, pundak Revan menanggung beban berat harapan keluarga untuk mengangkat derajat mereka dari lilitan kemiskinan dan utang yang mencekik. Ia adalah satu-satunya jangkar bagi keluarganya yang nyaris tenggelam.
Suatu sore yang biasa, badai tak terduga menghantam kehidupan Revan. Bu Lilis, tetangga mereka yang pernah bekerja sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW) di Belanda, datang membawa tawaran yang diwarnai janji manis sekaligus racun mematikan. Dengan nada penuh intrik, Bu Lilis mengungkapkan, "Aku masih kontak sama majikan lamaku di Amsterdam, orang Afrika asli. Dia gay, tapi hidupnya mapan, kaya, dan sekarang nyari istri dari Asia. Tapi bukan perempuan. . . dia suka cowok yang kelihatan cewek. Kalau Revan mau, semua utang lunas. Bahkan kamu sekeluarga bisa hidup enak."
Bagi Bu Tini, ibu Revan, tawaran itu bagaikan oase di tengah gurun kemiskinan. Matanya berbinar gelap, mengabaikan segala pertimbangan moral dan kemanusiaan yang mungkin masih tersisa. Ia segera memohon, merayu, bahkan tak segan bersimpuh di kaki Revan, air mata membanjiri pipinya, memohon agar putranya menerima tawaran gila itu demi kebaikan keluarga. Sang ayah, yang selalu bungkam dan pasif, hanya terdiam. Keheningannya bukan penolakan, melainkan persetujuan tanpa kata, sebuah pengkhianatan terselubung yang lebih menyakitkan dari bentakan.
Revan, dengan segala prinsip dan kejantanannya, menolak mentah-mentah. Ide untuk mengubah dirinya menjadi seorang "istri" bagi pria sesama jenis, apalagi dengan fetish yang aneh, adalah hal yang tak terbayangkan dan menjijikkan. Namun, dinding penolakannya mulai runtuh sedikit demi sedikit. Adik perempuannya tak bisa ikut ujian karena tunggakan SPP yang menumpuk.
Puncaknya, Bu Tini jatuh pingsan karena tekanan darah tinggi, tubuhnya remuk oleh beban hidup dan harapan yang kini terancam gagal. Dalam keputusasaan itu, Bu Lilis kembali dengan rayuan pamungkas, "Tiga tahun saja, Van. Setelah itu kamu bebas. Nikahnya juga legal di sana. Gak ada yang tahu kamu siapa di Belanda." Demi melihat keluarganya terbebas dari jerat kemiskinan dan penderitaan, Revan akhirnya menyerah, mengorbankan diri dan identitasnya di altar pengorbanan yang tak adil.
Proses transformasi Revan dimulai di Jakarta, di bawah arahan agen pernikahan lintas negara yang bekerja sama dengan Bu Lilis. Ini adalah tahap awal penghapusan identitasnya. Namanya diubah secara permanen menjadi "Rena" demi kebutuhan dokumen dan identitas barunya. Setiap inci tubuh dan perilakunya diubah secara sistematis. Ia dilatih untuk berbicara dengan nada lembut, mengenakan riasan wajah yang sempurna, melangkah anggun dengan sepatu hak tinggi, dan berbalut gaun-gaun feminin. Rambutnya dibiarkan tumbuh panjang, kulitnya dirawat agar bersih dan bercahaya, dan suaranya dilatih untuk menjadi lebih melengking dan halus. Semua identitasnya dipalsukan, setiap detail masa lalunya ditutupi rapat-rapat, demi mendapatkan visa pasangan sesama jenis yang legal untuk masuk ke Belanda.
Setiap malam, dalam kesendirian kamar mandi yang dingin, Revan diam-diam menangis. Ia menatap pantulan wajahnya di cermin, wajah yang kini perlahan berubah menjadi seorang wanita. Dalam kepedihan itu, pertanyaan yang sama selalu menghantuinya, "Siapa aku sekarang?" Itu adalah jeritan jiwa yang terperangkap dalam tubuh yang asing, sebuah perpisahan pahit dengan dirinya yang dulu.
Babak baru dalam penderitaan Revan dimulai dengan perkenalannya dengan Mr. Kwame Mensah. Pria kulit hitam berusia 42 tahun dari Ghana ini adalah seorang konglomerat yang mapan, pemilik bisnis startup di bidang teknologi kesehatan di Amsterdam. Namun, di balik kemapanannya, Kwame menyimpan fetish yang gelap dan meresahkan. Ia bukan sekadar pria gay biasa; ia memiliki hasrat khusus terhadap pria muda Asia yang dipaksa menjadi feminin.
Baginya, ketundukan yang dipaksakan, hilangnya identitas, dan kerapuhan yang terlihat adalah bentuk cinta dan kepemilikan paling tinggi. Dalam pertemuan video call pertama mereka, Kwame mengucapkan kalimat yang akan terus menghantui Revan: "Aku ingin kamu tetap tahu kamu lelaki... Tapi lelaki yang kalah. Lelaki yang dipasrahkan untuk jadi milikku." Pernyataan itu adalah deklarasi kekuasaan dan dominasi yang mutlak. Ketika Kwame datang langsung ke Indonesia untuk bertemu Revan, ia membawa hadiah-hadiah mahal, menyentuh pipi Revan dengan sentuhan dingin, dan berkata, "Wajahmu belum sempurna. Tapi semangat ketakutanmu sudah indah." Kalimat itu mengkonfirmasi bahwa Kwame adalah predator yang menikmati ketidakberdayaan korbannya.
Revan kemudian diterbangkan ke Belanda, menuju Amsterdam. Ia tinggal di apartemen mewah milik Kwame selama seminggu sebelum hari pernikahan. Kota yang indah itu terasa seperti penjara berlapis emas baginya. Namun, penderitaan sebenarnya baru dimulai di sana. Di Belanda, atas permintaan Kwame, Revan dipaksa menjalani serangkaian prosedur medis yang brutal dan permanen. Ia dipaksa untuk melakukan operasi payudara untuk mendapatkan bentuk tubuh yang lebih feminin. Selain itu, ia juga diwajibkan mengkonsumsi hormon secara rutin, yang semakin mempercepat perubahan fisiknya dan menekan hormon prianya. Dan yang paling mengerikan, bagian intimnya diberi suntikan kimia oleh dokter, yang secara kejam mematikan fungsinya secara permanen. Prosedur ini memastikan bahwa Revan tidak akan pernah lagi bisa berfungsi sebagai seorang pria, mengunci dirinya dalam takdir feminisasinya. Ini adalah bentuk mutilasi yang kejam, mengambil paksa sisa-sisa terakhir kejantanannya.
Pernikahan mereka dilangsungkan secara legal di balai kota Amsterdam, disaksikan oleh rekan bisnis dan beberapa kolega Kwame. Revan, kini dengan penampilan penuh sebagai Rena dan tubuh yang telah dimodifikasi secara permanen, mengenakan gaun pengantin satin putih yang anggun. Bibirnya tersenyum di depan kamera, tetapi di dalam hatinya, ia telah terkubur hidup-hidup. Kata-kata yang merintih dalam batinnya adalah: "Bukan aku yang menikah hari ini. Yang menikah adalah tubuh yang sudah dikunci oleh keadaan."
Hari-hari berikutnya setelah pernikahan adalah penjara yang berlapis sutra yang tak berujung. Rena hanya boleh keluar rumah dengan izin ketat dari Kwame. Ia dipakaikan lingerie sutra, dipersiapkan setiap malam untuk melayani tamu-tamu Kwame sebagai "istri lembut" yang sempurna. Segala akses ke uang, telepon, dan media sosial dikontrol penuh oleh Kwame. Hubungannya dengan dunia luar terputus total, dan ia terisolasi sepenuhnya dalam sangkar emasnya. Di sisi lain, keluarganya di Indonesia, yang telah menerima uang bulanan secara rutin, tidak pernah menanyakan kabar Rena, sibuk menikmati kemewahan baru mereka dan berbangga diri atas "kesuksesan" anak mereka. Revan menjadi asing bagi dirinya sendiri. Identitasnya lenyap, jiwanya terpenjara dalam keputusasaan yang tak berdasar. "Aku tidak tahu siapa yang tinggal dalam tubuh ini. Yang kutahu, aku tidak boleh pulang. Aku tidak bisa."
Konflik batin Revan bergejolak hebat, ia mencoba melawan takdirnya. Namun, hari demi hari, tubuhnya mulai terbiasa dengan transformasi paksa ini. Ia mulai berbicara dengan nada lembut tanpa sadar, tidur dengan gaun tanpa rasa jijik, dan secara perlahan, pasrah saat Kwame menyentuhnya. Proses feminisasi paksa ini bukan hanya fisik, melainkan juga meresap ke dalam psikologisnya, mengikis setiap jejak kejantanannya yang tersisa. Suatu malam, Kwame berbisik sambil mengelus rambutnya, "Kamu sekarang sempurna. Tak ada jejak Revan. Hanya Rena. . . istriku." Kalimat itu adalah pengakuan final atas kematian Revan dan kelahiran sempurna Rena, sebuah entitas yang diciptakan untuk memuaskan fetishnya.
Tiga tahun berlalu, perjanjian awal yang hanya "tiga tahun" itu dikubur dalam-dalam. Revan—atau kini Rena—tak pernah pulang ke Indonesia. Ibunya kini bangga membuka butik sendiri, adiknya tengah kuliah di Korea Selatan berkat biaya dari "kesuksesan" kakaknya, dan ayahnya dengan bangga menceritakan kepada semua orang bahwa "anaknya sukses di luar negeri". Mereka semua menikmati hasil pengorbanan Revan, tanpa sedikit pun tahu bahwa Revan sudah mati di Amsterdam. Rena hidup dalam senyuman palsu, tubuh yang tak lagi dikenalnya, dan kehidupan yang tak bisa ia tinggalkan karena telah terkunci secara permanen. "Aku pernah jadi laki-laki. Pernah punya nama. Tapi kini aku hanyalah istri dari pria yang membeli seluruh sisa hidupku, memutilasi diriku, dan mengurungku dalam penjaranya."
Cerita berakhir dengan adegan yang menyayat hati: Rena berjalan sendirian di pinggir kanal Amsterdam, dengan gaun panjang dan mantel mewah, tampak anggun di mata dunia. Namun, saat angin bertiup, air matanya menetes—tak ada yang tahu, tak ada yang peduli. Rena adalah hantu yang berjalan, sebuah tragedi yang tersembunyi di balik fasad kemewahan. Sebuah penutup yang tragis, menyayat, realistis, dan emosional, menegaskan kehilangan identitas dan kebebasan yang tak terpulihkan, serta kengerian mutilasi paksa atas nama "cinta" dan kekuasaan.