Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Dalam pikiranku, di setiap urat nadiku, dan dalam hatiku, selalu ada sosok bernama Wisanggeni. Dia biasa kupanggil Gen. Dia adalah pahlawanku, seorang pahlawan yang tak mau kebaikannya diumbar.
Pernah ketika aku terpojok oleh kejaran padepokan silat Menak Jinggo, Gen datang menyelamatkanku. Saat itu aku menangis, lalu Gen menggila dan membantai semua orang yang berusaha membunuhku. Oleh karena itu, Dia layak disebut pahlawanku bukan?
Satu kelemahan Gen yang tidak dimiliki oleh para pendekar silat lainnya, yaitu air mata wanita. Dia takkan tahan melihat air mata keluar dari seorang wanita. Dan ketika air mata wanita itu keluar di hadapannya, maka siapapun lawannya sudah dipastikan takkan ia ampuni. Dia akan menggila sejadi-jadinya. Termasuk ketika ia melihat air mataku, air mata ibunya dan air mata kakak perempuannya. Dia akan jadi Wisanggeni yang ditakuti semua orang. Semua jurus silatnya bak tarian matahari: hangat namun mematikan. Jarang ada musuh yang ia biarkan tetap hidup.
Suatu malam yang basah dipenuhi cahaya remang. Kondisi semakin mencekam setelah padepokan silat Menak Jinggo gagal membunuhku, cucu dari Pendekar Mata Satu. Kubawakan sebilah pisau untuk Gen yang sedang berjaga di perbatasan desa.
"Bunuh saja mereka yang berani memasuki desa kita," ucapku pada Gen sambil memberikan pisau padanya.
Saat itu pula, seorang berjubah hitam menyabet leher teman-teman kami bak petir menyambar. Gen dengan sigap menghindar dari sabetan pisau yang telah direbut oleh seorang berubah hitam itu dariku tanpa kusadari. Mereka berdua pun beradu jurus dan kekuatan.
Gen telah berjanji padaku bahwa dia harus baik-baik saja dalam setiap pertempurannya. Dia harus tetap melindungiku, menjagaku, jadi pahlawanku dan selalu ada untukku.
"Janji?" Kutatap wajahnya yang sendu.
"Janji." Gen menatapku dan menghapus air mataku.
Tapi kulihat saat ini, dia terbaring di depanku dengan banyak luka sayat di tubuhnya. Seorang jubah hitam itu bisa kapan pun menjatuhkan pisaunya tepat di jantung Gen.
"Wisanggeni! Kamu berjanji padaku akan baik-baik saja! Bangun!" teriakku padanya.
Air mataku menetes deras sederas hujan malam ini. Gen membuka matanya, melihat air mataku yang tersembunyi di balik rintik hujan. Ia bangkit.
"Aku paling tidak bisa melihat air mata suci seorang wanita keluar dengan mubazir, "
Gen mengeluarkan jurus-jurus andalannya yang hanya ia keluarkan ketika akan membunuh seseorang.
"Dasar Wisanggeni Edan!!!"
Setelah teriakan itu, aku tak mendengar apa-apa lagi. Kesunyian melanda. Hujan berhenti tiba-tiba. Namun malam tetap terjaga.