Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Sumpah, ini parah banget! Aku berdiri tegang dengan keringat dingin di hadapan ... ah, entah berapa pasang mata. Saking gugupnya aku sampai nggak bisa menghitung, yang pasti lebih dari sepuluh.
Di tengah rapat OSIS begini, perutku malah mulas. Aku kebelet buang angin. Menyebalkan! Sialnya, aku nggak mungkin ninggalin rapat, karena aku lagi presentasi rancangan program kerja baru.
Susah payah aku menjelaskan apa yang ditampilkan proyektor di papan tulis. Sebenarnya materi ini bisa dengan mudah kujelaskan kalau dalam keadaan normal. Tapi ini? Konsentrasiku pecah!
“Jadi maksud dari poin nomor tiga bagaimana, San?” tanya Eva.
Aku gelagapan. “Oh, itu ... begini ... kita akan buat lubang resapan biopori di setiap sudut sekolah. Lalu kita menanam pohon mangga, biar kalau berbuah kita bisa rujakan.”
Ya Tuhan, jawaban macam apa itu? Tatapan tak habis pikir dari mata-mata di depanku bikin keringatku makin deras.
“Santi, kita sedang rapat serius, kenapa kamu malah bercanda?” Risma mengkritik dengan ekspresi sebal.
“Ng ... iya, maaf. Aku tadi kurang konsentrasi.” Kupaksakan memasang senyum. Uh, pasti wajahku kelihatan jelek banget. Kutarik napas dalam-dalam. Ajaib! Rasa mulas itu mendadak hilang.
Aku mengatur sikap. “Oke, jadi begini ....” Satu per satu kujelaskan ulang poin-poin yang kuajukan. Tentunya dengan percaya diri dan wibawa sebagai ketua OSIS.
Rapat berlangsung lancar. Nggak ada lagi jawaban ngaco dari mulutku. “Kalau masih ada yang belum jelas atau kurang setuju dengan rancangan program yang aku ajukan, silakan disampaikan. Atau ada yang mau menambahkan?” kataku sambil tersenyum.
Namun, senyum itu langsung pudar saat kurasakan perutku kembali mulas. Ini lebih parah dari yang tadi. Rasanya sudah melilit.
“Soal rencana penambahan ekskul tari tradisional, aku sangat setuju,” ujar Hana. “Mungkin bisa juga diwajibkan bagi guru dan staf tata usaha. Agar setiap elemen di sekolah kita memiliki talenta.”
“Boleh. Aku setuju.”
“Menurutku, kalau mewajibkan guru itu cukup sulit, karena sebagian dari mereka, kan, masih ada yang harus mengajar lagi setelah selesai di sekolah ini,” sanggah Eva.
“Ya, benar juga. Aku setuju.”
“Santi, kamu ini bagaimana, sih? Pendapat Hana setuju, pendapat Eva setuju. Mana yang benar?” Risma kembali protes.
“Bagaimana kalau kita voting?” Usul yang kurang tepat itu keluar dari mulutku. Keringat dingin kembali mengalir.
Sekali lagi, ini lebih parah dari yang tadi. Aku benar-benar udah nggak tahan. Haruskah aku mengeluarkannya di sini? Di hadapan mereka?
Nggak! Aku harus bisa menahannya sampai presentasiku selesai. Aku nggak mau dikenal sepanjang masa sebagai ketua OSIS yang buang angin di tengah rapat.
Ya Tuhan, tolong selamatkan aku.
Tapi ... rasa mulas ini ... sudah nggak tertahankan lagi. NGGAK ... TAHAN ....
BREEET!
Aku kecolongan! Untung suaranya kecil. Tapi ....
“Bau apaan, nih?” tanya Ajun sambil menutup hidung, diikuti yang lain. Mereka saling pandang. Lalu pandangan mereka beralih padaku.
Tubuhku menegang. Gawat! Bersamaan dengan itu, pintu ruang OSIS diketuk. Seorang pria paruh baya muncul dari balik pintu.
“Maaf, ya, rapatnya agak terganggu. Di luar sedang dilakukan fogging. Maaf kalau nanti agak bau,” katanya sopan.
“Ooh ….” seru yang di ruang rapat nyaris bersamaan.
Aku menunduk lemas. Terima kasih, Tuhan. Terima kasih, Pak penjaga sekolah.