Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Di bawah naungan langit malam berhiaskan bintang, kausulap halaman belakang rumah menjadi tempat dinner spesial, anniversary pernikahan kita. Terdapat lilin dengan holder bergaya klasik dan juga bunga tulip putih di atas meja bundar yang telah kautata dengan begitu indah. Katamu, sengaja kaupilih nuansa warna putih sebagai lambang kesucian cinta kita.
Kukira, sepanjang malam ini hanya akan dihiasi oleh tawa bahagia kita berdua. Namun, aku salah. Pintamu mengubah segalanya.
"Menikahlah!"
"Apa maksudmu?!"
"Menikahlah dengan wanita lain. Wanita subur, bukan sepertiku yang mandul," pinta Istriku—Abida Khadeeja.
"Aku rela menjadi Sarah yang mengizinkan suaminya menikah dengan Siti Hajar. Menikahlah demi mendapatkan keturunan," lanjutnya dengan mata yang tampak berkaca-kaca. "Ak-aku ... ikhlas."
Kini bulir bening mulai mengalir turun di kedua pipinya. Sejenak kupejamkan mata. Tak pernah suka saat melihatnya menangis.
"Apa enam tahun pernikahan kita tak cukup membuatmu mengenal siapa aku?" tanyaku sambil menggenggam tangannya yang tampak bergetar.
Mata indahnya menatapku dengan sendu. Bulir air mata masih menggenang di sana.
"Aku, Yahya. Bukan Ismail. Dari nama itu seharusnya kau tahu, sosok ayah mana yang akan kuteladani. Dalam sejarah, bukan hanya Nabi Ibrahim 'alaihissalam yang diberi ujian dengan kesulitan mendapatkan keturunan. Tapi, ada juga Nabi Zakaria 'alaihissalam. Sang Nabi tak pernah berputus asa berdoa kepada Allah, hingga akhirnya pada usia yang tak lagi muda, Allah mengaruniakannya keturunan dari istri satu-satunya yang dimiliki. Padahal saat itu sang istri pun telah menua, tak lagi subur."
Kujeda ucapanku sembari mengeratkan genggaman di tangannya. Tangan yang pada jarinya tersemat mahar pernikahan kami. Hati ini tak bisa berbohong, betapa aku mencintai wanita yang enam tahun lalu bersedia menjadi istri dari lelaki biasa sepertiku.
"Aku memang bukan Yahya putra Nabi Zakaria. Aku hanyalah Yahya Rasheed. Tapi, aku lebih memilih meneladani suami dari Isya binti Faqudza. Bukan karena pilihan Nabi Ibrahim salah. Tapi, karena aku tidaklah yakin dapat berbuat adil dan sebijaksana Nabi Ibrahim. Imanku tak sekuat Sang Khalilullah."
Kudekati Abida sambil kutuntun ia berdiri dekat di hadapanku. Kuhapus air mata yang masih mengalir di kedua sudut matanya. Lalu, kukecup kening dan kedua kelopak matanya yang tertutup.
"Jadi, jangan pernah memintaku untuk menikah lagi, karena tak akan kulakukan. Jangan pernah berputus asa dari rahmat Allah dan jadilah seperti Isya yang selalu setia mendampingi Zakaria hingga terlahir Yahya dari rahimnya," ucapku sambil mengelus lembut perutnya yang tertutup gamis motif bunga kecil. Tak pernah putus aku berdoa, semoga Allah mengaruniai keturunan kepadaku melalui rahim itu.
"Rabbana hablana min azwajina wa dzurriyatina qurrota a’yun, waj’alna lil muttaqina imama, amin."
* * *
Kota Bahari, April 2015-2021