Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Waktu itu pelajaran Seni Lukis. Bu Guru menyuruh murid kelas 3A untuk menggambar bebas.
Pelajaran Seni Lukis adalah salah satu pelajaran yang paling kusukai. Sebab, aku bisa mengekspresikan diriku dalam sebuah komik seperti Captain Tsubasa. Biasanya aku menggambar tentang Wakabayashi dan Barbie. Itu tak lain adalah perwujudan diriku dan cewek yang kusukai. Namun, kali ini aku ingin menggambar Wakabayashi dan Raisa, murid baru di kelas ini.
Selesai menggambar, aku mendekati Raisa untuk memamerkan hasil gambarku. Raisa terlihat asyik menggambar sesuatu yang menyerupai maskot AC Milan bernama "Milanello" dengan mengombinasikan warna merah dan hitam. Gambarnya bagus sekali hingga membuatku jadi minder ingin memamerkan hasil karyaku.
"Sasa," sapaku sopan. Sasa adalah panggilan sayangku untuk Raisa.
"Hm," gumamnya sambil menggambar.
"Ih jutek banget sih, lagi M ya?" Raisa pun menatapku dengan sinis. Sekilas aku melihat ada tanduk berwarna merah tua di kepalanya.
"Maksudnya MALES, hehehe." Aku tersipu malu, lalu duduk bersebelahan dengan seorang murid yang duduk di depan meja Raisa. Posisiku dan Raisa kini saling berhadapan.
"Oh." Raisa menunduk, lalu melanjutkan gambarnya.
"Kamu lagi gambar apaan, sih?" Aku bertanya sambil menatap wajah Raisa yang imut.
"Setan." Hm, sepertinya Raisa masih jutek gara-gara ulahku di kantin, tadi. Tapi benar juga ya, Milanello kan setan.
"Ih, serem banget. Ngomong-ngomong bolpennya bagus banget, tintanya juga tebal. Beli di mana?" tanyaku, berusaha mendapatkan perhatiannya.
"Bolpen yang mana?"
"Yang merah," jawabku sekenanya.
"Oh, yang merah beli di toko buku Jaya Abadi Makmur Sentosa."
"Hahaha, nama tokonya ngajak berantem. Udah Jaya, Abadi, Makmur, Sentosa pula. Ditambah kata Lancar di depan mungkin bisa ngalahin gerbong Kereta Api. Jadi, Lancar Jaya Abadi Makmur Sentosa, hehehe." Sekilas Sasa pun tersenyum kecil ke arahku. "Lima gerbong," tambahku sambil mengangkat lima jari.
Duh, senyumnya manis sekali. Kalau tadi pagi semanis susu bendera hingga tetes terakhir, sekarang hingga tetes darah penghabisan (nggak nyambung banget).
"Terus kalau yang hitam beli di mana?"
Sasa pun menjawab, "Sama."
Ya ampun, aku dikerjain nih. Tapi tak apa lah, bisa bicara dengan Raisa saja sudah membuatku senang kok. Aku pun ingin bertanya lagi, semoga saja dia bisa senyum kayak tadi walau cuma sebentar, hehehe.
"Sasa, apa bolpennya bisa diisi ulang?"
"Yang merah atau yang hitam?" Duh Raisa gimana sih? Ditanya kok malah balik nanya.
"Merah," jawabku singkat.
"Em.... kalau yang merah harus dibongkar dulu, terus dicabut isinya, habis itu dibersihkan sampai bersih, baru deh bisa diisi ulang."
"Oh gitu ya, terus gimana dengan yang hitam?"
"Sama."
"Ih, Sasa nyebelin banget deh. Kalau sama kenapa kamu beda-bedain, gitu?"
"Karena yang merah punyaku, Luca."
"Kalau yang merah punya kamu, terus yang hitam punya siapa?"
"Sama."
"Ya ampun Sasa, aku nyerah, ah. Nyebeli banget!" Aku cemberut.
Sebelum aku beranjak dari kursi, Raisa tertawa lepas ke arahku.
Hore, aku berhasil membuatnya tertawa.
Tapi, kenapa Raisa ketawanya gak berhenti-henti, ya? Tak lama kemudian aku pun menyadari, dia tertawa karena melihat Bu Guru terpeleset di mimbar kelas.