Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Malam itu begitu dingin, gelap, dan mencekam. Batang-batang pohon bekas terbakar tampak begitu legam, seakan hendak menerkamnya hidup-hidup. Tubuhnya terlalu lemas. Entah sudah berapa lama dia terikat di sebuah pohon. Dia tahu persis siapa yang ada di depannya. Namun masih tak dipercayainya semua kejadian tragis yang sudah dia alami.
Semua berawal dari sekitar delapan jam yang lalu. Waktu itu pukul dua siang saat sahabatnya, Resti—perempuan jelita bertubuh lentik—secara mendadak mengajaknya berkemah. Kata Resti, tujuannya ada di daerah kabupaten; berjarak hampir dua jam perjalanan dari kota tempatnya tinggal. Awalnya dia menolak lantaran ajakan itu terlalu mendadak. Namun setelah berpikir agak lama; karena Resti beralasan demi merayakan keberhasilan sidang skripsi mereka, dia pun menerimanya.
Ada dua orang lagi—selain dirinya dan Resti—yang akan ikut. Yakni si empunya lahan, Bram—pacar Resti, lelaki bertubuh tegap dengan corak wajah tegas. Dan yang terakhir adalah Nano, teman dekat Bram; lelaki pendiam bertubuh semampai.
Pikirannya kembali. Dia tak tahu alasan atau penyebab momen penuh tawa mereka berubah jadi momen yang teramat pedih dan penuh penderitaan. Air matanya berlinang semakin banyak tatkala dia memejamkan mata sambil terus memohon ampun.
Diingatnya lagi tragedi itu, wajah-wajah yang berlumuran darah itu. Semuanya terpatri jelas dalam otaknya. Kala itu, gelak tawa mereka bergema kencang sekali, menepis kesunyian malam yang melanda. Bunyi alunan gitar sumbang menggelitik jiwa muda-mudi yang tengah duduk di depan kobaran api unggun.
“Laras, lo mau ke mana?” Resti bertanya padanya; perempuan mungil berwajah lembut.
“Gue mau pipis.” Wajahnya terlihat enggan. Diliriknya dua lelaki di sebelah Resti bergantian sebelum berkata, “Jangan macam-macam.” Kalimat itu direspons dengan kekehan kedua lelaki itu.
Rasa kesalnya karena tak bertemu tempat nyaman untuk buang air berganti dengan gema jantung yang begitu cepat. Dadanya teramat sesak setelah melihat tubuh pacar sahabatnya yang terbaring lemas tak berdaya di dekat api unggun. Lelaki itu sudah tak lagi bernyawa dengan hampir sebagian wajahnya tertutupi oleh lumuran darahnya sendiri.
Dia bergeming. Getaran di kedua kakinya yang lemas begitu jelas terlihat. Hampir saja dia roboh detik itu juga, kalau saja tak mendengar jeritan perempuan yang sangat dia kenal. Rasa panik justru membuat kakinya tak lagi terasa lemas, namun masih bergetar. Dilihatnya cepat-cepat sekeliling, namun tak menemukan yang dia cari. Tidak juga di dalam kedua tenda.
Jeritan itu muncul lagi, kali ini diiringi isakan tangis dan rintihan memohon. Dengan bantuan senter dia berjalan menyusuri semak-semak, mengikuti arah suara sahabatnya. Langkahnya begitu pelan, juga khawatir, takut terjadi hal yang tidak dia inginkan. Dan saat cahaya senternya berhasil menemukan Resti; kondisinya tak jauh mengenaskan dari Bram, dia pun roboh lantaran tengkuknya dipukul dengan keras.
Lamunannya buyar setelah mendengar lelaki di depannya berkata, “Lo tahu alasan gue melakukan ini?”
Dia menggeleng. “Nano, gue mohon, lepaskan gue.” Tangisannya membuat Nano tergelak senang.
“Ini semua demi lo, Ras!” Nano mendekat. “Lo tahu? Gue sayang banget sama lo. Gue mau lo hidup sama gue selamanya.”
Dia terlihat tak percaya.
“Ayolah, Ras. Lo mau, kan, jadi milik gue?”
Hening.
“Enggak mau, ya?”
Seketika pandangannya menghitam, diikuti rembesan darah akibat palu yang menghantam kepalanya dengan keras. Dia juga mati.[]