Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Lelaki itu terbatuk. Sambil memukul-mukul dada, ia mengumpulkan riak dan meludahkannya. Kemudian ia kembali menyesap rokok kreteknya.
“Apa yang kau bawa kali ini, Sajoeti?”
“Sabar, Jono.” Sajoeti menyilangkan kaki. “Ada kabar dari Adrongi.”
Mata Jono melebar. “Dari Imam? Ada apa?”
Sajoeti mengedikkan bahu. “Adrongi akan merebut Pingit. Bersama batalyon dari Yogya dalam komando Mayor Soeharto dan Mayor Soegeng.”
“Sajoeti, ke mana saja kau baru mengabariku sekarang! Imam pasti butuh bantuan dari Ambarawa!” Jono mengambil bedilnya dari bawah meja. “Kabarkan pada Imam, aku akan datang!”
“Kusampaikan salammu untuknya.” Sajoeti melenggang pergi dengan kedua tangan merangsek ke saku celana bahannya yang licin.
Jono menggebrak meja untuk menenangkan pikiran, lalu membawa bedilnya menuju lapangan, tempat pasukannya berkumpul.
Jalan Margo Agoeng tak seperti biasanya. Lengang. Di balik puing-puing rumah, pasukan Jono mengepung kompleks gereja dan pekuburan Belanda tempat musuh bersarang. Jono bersembunyi bersama Imam Adrongi.
“Tak tampak mereka sekarang! Pengecut!” desis Jono.
Adrongi yang merunduk tak jauh dari persembunyian Jono menoleh. “Jono, sudah sejak tadi saya ingin bertanya. Saya tak beri kabar, bagaimana kau tahu saya datang?”
Kali ini kedua alis Jono menyatu di tengah dahi.
“Bicara apa kau, Imam? Aku dengar dari Sajoeti. Maka, aku datang membantumu.”
Adrongi bingung dengan ucapan kawan seperjuangannya tersebut. Namun kalimat selanjutnya tak sempat ia lontarkan begitu terdengar baku tembak di halaman gereja.
“Jahanam!”
Jono merangsek ke depan tanpa menunggu aba-aba dari Adrongi.
“Jono!” Adrongi berlari menyusul Jono dengan bedil di tangannya yang berkeringat. Perasaannya mengatakan ada sesuatu yang tidak beres. Terlebih setelah percakapan singkatnya dengan Jono tadi.
Adrongi mengatur napas ketika sampai ke titik terdekat dengan baku tembak. Beberapa peluru dan letupan menghujani tanah di sekitarnya. Adrongi melongok kembali. Kali ini ia berhasil mendapatkan lokasi Jono yang masih menghujani gereja dengan tembakan mematikan. Perlawanan musuh yang tak begitu gencar membuat Adrongi curiga.
Tiba-tiba seorang tentara berlari pontang-panting ke arah Adrongi. Wajahnya pucat dengan lengan mengucurkan darah.
“Komandan! Ada musuh dari timur!” teriak tentara itu.
Firasat Adrongi benar. Tentara Sekutu berencana mengepung mereka dari dua sisi. Pantas saja perlawanan dari gereja tak begitu gencar. Adrongi segera memerintahkan pasukannya untuk mundur.
“Jono!”
“Jangan ganggu aku, Imam!” pekik Jono. Ia kembali menyemburkan bongkahan timah dari bedilnya. Adrongi ikut memuntahkan pelurunya sambil memperkecil jaraknya dengan Jono.
“Jono, Sekutu datang dari Timur! Kita harus pergi!”
“Imam, aku hampir membinasakan para jahanam itu!”
Adrongi menggeram. “Jono, kita harus mundur!”
“Tidak, Imam! Tidak sekarang!”
“Jono! Saya pergi! Saya tunggu kau di Bedono!” teriak Adrongi. Jono tak menjawab dan tetap menghujani gereja dengan timah panas.
Adrongi baru beberapa langkah menjauh ketika didengarnya dentuman yang memekakkan telinga. Ia berlari pontang-panting menjauhi gereja.
“Komandan!”
Imam Adrongi berdiri tegak. Matanya nyalang mencari sosok kawannya di antara baku tembak sambil berlari menjauh. Imam Adrongi bergabung dengan batalyon Mayor Soeharto dalam perjalanannya menuju Bedono. Selama perjalanan itu, ada satu nama yang mengisi pikiran serta hatinya dengan amarah dan dendam kesumat. Di sela kepulan asap karena ledakan di halaman gereja tadi, Adrongi menangkap sosok Jono yang perlahan roboh ke tanah. Di hadapan kawannya itu, berdiri seorang lelaki yang ia kenal.
“Sajoeti.”