Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Suara gemericik air mengalir deras dari sungai Citanduy. Dari sungai, airnya mengalir melalui pipa ke dalam sebuah balong (kolam ikan) di samping rumahku.
Cuaca begitu cerah, sang surya begitu ramah. Di atas loteng aku duduk termenung menatap ikan-ikan yang terus berdansa. Rasanya begitu nyaman mendengar suara gemericik dan riakan air kolam . Gemericiknya begitu menenangkan, serasa menikmati sunset di pantai Kuta. Apalagi saat musim hujan, suasana balong seperti orkes : Ikan-ikan senam di atas air ; burung-burung berdansa di langit ; Katak dan jangkrik bernyanyi bersahutan seperti memuji indahnya semesta. Di balik hujan, aku bagai bangsawan yang bernostalgia, menikmati iringan orkestra hewani.
Lelaki tua datang ke singgasananya.
Syung! Pelet ikan di tebar , Ikan-ikan mulai terpencar, berlarian menyambar umpan. Mereka berbaris walau tak serapi pasukan semut. Berebut, saling injak , agar bisa makan. Makan dengan rakus supaya tak diejek kurus. Teruslah menggemukan diri, biar rasamu nikmat saat kusantap.
Seorang kucing nakal datang ke kolam, matanya tajam bersiap menerkam.Menatap penuh hawa nafsu kearah ikan-ikan yang bergerumbun. Dia tak tahu, di samping kolam, ada penunggu balong yang siap menghajarnya.
"SIIIIII! SIIIIIII!" Seekor aki-aki sinting menghardik dengan keras, seolah-olah mengusir anjing. Hukum rimba gone wrong. Aku tak tahu mengapa dia begitu, mungkin matanya rabun jauh atau... hatinya saja yang buta?
Sang kucing bodo amat dengan hardikan si kakek. Ia tetap duduk santuy. Sepertinya ia tak gentar dengan si renta yang murka atau dia terlalu dungu tuk memahami bahwa dirinya diusir.
Aki peyot jadi semakin geram, dia mengepal sebongkah batu di tangan kirinya lalu melemparkannya. Set! Si Kucing bergerak akrobatik, dan berhasil menghindarinya. Seandainya Si Kucing bisa bicara pasti dia bakal ngomel,"Cuih,dasar pelit! minta satu ikan saja, dari ratusan ikan di kolam, malah dimaki-maki. Gue sumpahin lo keselek ccucuk!
BLEDAAAK!"batu besar di lemparkan, menghantam perut Si Kucing yang lapar.
"Miaw!"Ia menjerit, lalu berlari kocar-kacir menjauh dari kolam.
"Astaga!" aku tersentak . Sebagai lelaki yang memiliki rasa aku tak kuasa melihatnya.
"SI!" Kakek gelo terus mengusirnya.
Si Kucing mengacungkan jari tengahnya, jalannya terpincang-pincang, mulutnya terus mengeong menahan sakit.Rasa sakit di kakinya, tak sebanding dengan batinnya yang terluka. Malang sekali nasibnya.Perut tak kenyang malah dihantam batu melayang.
Kakek Uranus.Begitulah aku menjulukinya. Bukan karena dia tetanus atau wajahnya seperti an*s, tetapi sifatnya yang hobi mengganggu bagaikan planet Uranus dalam Astrologi .
Di kampung, dia terkenal dengan sifatnya yang ramah tamah dan dermawan, tapi yang kulihat malah sebaliknya. Dia lelaki yang luar biasa —gilanya. Aku pernah melihatnya menginjak ular sampai mati, meremukan kepiting hingga binasa, dan meludahi kucingku yang lugu. Terkadang dia menghina statusku yang pengangguran sambil membandingkanku dengan anaknya yang mapan.Aku pendiam tapi bukan binatang. Kalau aku murka bisa saja kuhantam dia pake batu meteor.
Dia tak sejahat Kurawa, tetapi sifatku yang membiarkannya bukanlah sifat Pandawa. Setidaknya aku masih waras. Jangankan kucing, nyamuk menghisap darahku takkan kubunuh. Biarlah darahku menjadi solar kehidupannya yang singkat.
Karena terlilit hutang, kucingku tersayang diserang. Aku menyesal menyewakan singgasanaku padanya."Awas saja kau tua bangka! Kolamku kan kurebut kembali!
Wahai kucingku di surga doakanlah aku memenangkan singgasanaku. Supaya, anak-anakmu bisa makan tanpa terusir.