Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku tahu dia tidak sanggup mengeluarkan suara. Emosinya hancur lebur menjadi uap. Matanya tidak mengijinkan meluapkan sisa badai.
"Bagaimana menurutmu?" tanya lelaki di sebelahnya.
Dia enggan menoleh. Waktu berlalu sebentar namun seakan dia telah melalui satu abad.
Lelaki itu meneruskan perkataanya. "Andai aku bisa menghentikan semua ini. Tapi, kita berdua setuju untuk melakukannya."
Akalnya memberontak tapi dia hanya menggeleng terpaksa. "Aku yang menyuruhmu melakukan ini. Maafkan aku. Seharusnya aku membiarkanmu yang memilih, Mas."
"Jangan berkata seperti itu, Din. Aku sudah memberikanmu kesempatan untuk memutuskan tentang ini. Kita berhasil menjalaninya sampai akhir," ucap lelaki itu tegas.
Dia mengusap mukanya lelah. "Aku capek. Aku nggak mau lagi. Aku nggak mau mencoba-coba. Seharusnya Mas yang memilih. Bukan aku."
"Seandainya aku yang memilih, kamu pasti lebih kecewa dan tidak mau bersamaku lagi," ujar lelaki itu sedikit muak.
Dia sadar ucapan lelaki itu benar. Sangat benar. "Jadi semua dari awal salahku? Mas kecewa sama aku?
Lelaki itu mendesah berat. "Kamu tahu, Din. Keinginanku sesungguhnya bukan ini. Kita tahu kita sangat berbeda. Aku menghormati maumu, namun kamu memaksaku melewati semua ini tanpa membiarkanku istirahat."
"Jadi semua salahku, Mas?"
Lelaki itu mengangguk. "Iya! Aku tak tahan denganmu yang nggak berhenti ngomong. Cobalah diam dan menghargai. Jangan protes dan koreksi sana- sini."
"Mas nggak merasakan apa yang kurasakan? Mas tahan dua jam yang kita lalui?" tanya dia tak percaya.
Aku memandang pasutri baru itu di seberang sofa. Sebelum mereka lanjut beradu argumen kujeda dengan satu pertanyaan. "Tunggu, pertengkaran kalian ini masih tentang film horor lokal yang barusan tadi kita tonton, kan?"
"Kakak iparmu tuh! Sudah kubilangin jangan nonton film horor kek gitu. Mau coba lah katanya. Eh, mulutnya gak bisa berhenti jadi kritikus."
"Apaan sih, Mas! Kamu bilang terserah aku. Kakakmu itu aneh banget, Han."
Aku menikmati es sirup melon dan homemade popcorn sambil memandang pasutri itu berdebat kembali seperti biasanya.
"Kalian romantis sekali," kataku di antara kunyahan popcorn. "Andai aku bisa melepas hearing aid ini. Bunda nggak bolehin sih."