Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Valerie Artawijaya (17) ditakdirkan terlahir dalam keluarga yang menjadikan profesi seperti sebuah tradisi. Tiga generasi dari keluarga Artawijaya terkenal sebagai dokter spesialis yang paling diperhitungkan di Jakarta. Wajar jika Peter Artawijaya (50) dan Diana Artawijaya (45) juga menginginkan kedua putri mereka, yaitu Aria Artawijaya (25) dan Valerie menjadi generasi keempat yang meneruskan profesi itu. Aria sudah mewujudkan keinginan kedua orang tuanya, dan kini, giliran Valerie.
Sedari kecil Valerie sudah sangat mencintai dunia musik, ia memiliki suara yang begitu indah, dan lihai memainkan hampir semua alat musik. Peter dan Diana pun sangat mendukung bakat Valerie, bahkan, ketika Valerie meminta izin untuk mencoba mengirimkan permohonan beasiswa di Singapore Raffles Music College, mereka mengizinkan. Tapi ternyata itu semua hanyalah harapan palsu semata, ketika Valerie lulus SMA dan permohonan beasiswanya diterima, Peter dan Diana tetap memaksa Valerie untuk masuk kedokteran. Seperti diangkat ke lapisan langit paling tinggi, lalu langsung dijatuhkan ke lapisan tanah paling dalam.
Walaupun sangat kecewa dan merasa tertipu dengan dukungan dan harapan yang diberikan orang tuanya selama ini, Valerie tetap mengikuti keinginan kedua orang tuanya dan mengubur semua mimpi yang telah dibangun selama ini. Ia memilih untuk mengecewakan diri sendiri daripada harus mengecewakan kedua orang tuanya.
Valerie akan berangkat ke Jerman untuk melanjutkan studi kedokteran di almamater Ayahnya dulu . Jadwal operasi, praktek, dan kuliah spesialis yang bertepatan, membuat Peter, Diana, dan Aria tidak bisa mengantar Valerie ke bandara. Valerie pun pergi ke bandara tanpa memeluk dan mengucapkan salam perpisahan langsung kepada keluarganya. Dalam perjalanan, Pak Udin yang mengemudikan mobil yang ditumpangi Valerie, mendadak terbagi fokusnya setelah menerima sebuah panggilan telpon. Mobil terus melaju tanpa menyadari ada truk dengan kecepatan tinggi datang dari sisi sebelah kanan. Akhirnya, kecelakaan pun terjadi dan membuat Sopir truk dan Pak Udin meninggal di tempat.
Dalam kondisi kritis Valerie dilarikan ke rumah sakit. Peter yang baru saja selesai melakukan operasi, langsung berlari ke ruang IGD setelah mengetahui korban kecelakaan yang baru saja masuk adalah anaknya sendiri. Air mata Peter langsung menetes ketika melihat Valerie terbaring tak berdaya dengan berlumuran darah. “Ini Papa Nak, ini Papa, kamu nggak boleh ninggalin Papa.” kata Peter sambil memompa jantung Valerie yang sempat tidak berdetak.
Peter, Diana, dan Aria terus menyalahkan diri mereka sendiri, sementara Valerie sudah tinggal bergantung dengan ventilator selama dua hari di ruang ICU. Mereka terus menemani Valerie, sampai akhirnya mereka melihat setetes air mata jatuh dari mata Valerie yang terpejam. Dengan pelan Diana mendekat, satu tangannya menggenggam tangan Valerie, dan satunya lagi mengelus lembut kepala Valerie. “Maafin Mama dan Papa Val, keegoisan kami membuat kamu menjadi seperti ini. Andai kesempatan kedua itu ada, kamu boleh Nak, kamu boleh jadi apapun yang kamu mau, apapun asal kamu bahagia, ya ?” rintih Diana lalu mengecup dahi Valerie.
Suara yang begitu nyaring dan panjang terdengar, suara yang berasal dari alat pendeteksi detak jantung. Seketika Aria tersungkur sambil terisak, sementara Peter dan Diana dengan erat memeluk Valerie yang telah pergi untuk selamanya. Sedalam apapun penyesalan tidak akan membawa Valerie kembali. Penyesalan tinggallah penyesalan, kini, hanya air mata yang bisa berbicara.