Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Hujan mengguyur sangat deras dari pagi hingga sore. Kinanti menatap cemas pada bayi yang ada dalam gendongannya. Ia lupa membawa mantel hangat untuk sang anak. Payung hitam yang ia bawa pun rasanya tidak cukup untuk melindungi mereka berdua.
"Kamu mau menunggu di sini?"
Kinan menoleh. Ia tersenyum lembut pada wanita tua di belakangnya. Wanita yang telah menerimanya bekerja di taman kanak-kanak.
"Saya akan menunggu hujannya reda," ucap Kinan.
"Mau saya carikan taksi?"
Kinan menggeleng. "Saya tidak sanggup membayarnya."
Wanita itu menghampiri Kinan dan menepuk pundaknya.
"Jangan berpikir saya meminta bayaran, ini untuk anak kamu. Cuaca semakin dingin tidak baik untuk bayi cantik ini."
Wanita itu mengusap pipi gembul sang bayi. Sebuah senyum terbit di bibir mungilnya. Kinanti menatap bayi kecilnya. Wanita itu benar, ia tidak boleh egois membiarkan Rachel -anaknya- berlama-lama di cuaca dingin.
"Terima kasih, saya berjanji akan membayarnya, Nyonya Gabriela."
Kinanti tersenyum lembut menerima kebaikan hati Gabriela. Hanya butuh waktu 10 menit untuk menunggu taksi online menjemput. Sebenarnya letak sekolah dan rumah Kinanti tidak terlalu jauh, jaraknya hanya 5 kilometer. Setiap hari ia tempuh dengan naik sepeda. Kini sepedanya harus menginap di sekolah.
"Sudah sampai, Bu," ujar supir taksi menyadarkan Kinanti.
"Oh, iya, terima kasih."
Kinanti berlari cepat masuk ke rumahnya dengan sebuah payung yang melindunginya dari hujan. Namun langkahnya terhenti saat melihat sosok pria tegap berdiri di depan pintu. Pria itu berbalik menatap Kinanti yang mematung di tempatnya. Tanpa menghiraukan hujan pria itu mendekat.
"Hai," sapanya.
Kinanti tidak menjawab sapaan itu. Ia pun berjalan memasuki rumahnya dan menutup pintu. Pria itu mengetuk pintunya berkali-kali.
Selang beberapa menit ketukan itu tidak terdengar lagi. Kinanti menyibak gorden jendela untuk melihat keadaan di luar.
Bagas masih di luar hujan-hujanan. Ada perasaan iba melihat pria itu masih kukuh berdiam diri di sana. Kinan keluar membawa payung untuknya.
"Pulanglah, saya tidak butuh kamu lagi," ucap Kinanti.
"Maafkan saya Kinan tapi izinkan saya bertemu anak itu," ucapnya.
"Kenapa baru sekarang kamu mencarinya, Mas? Saat saya mengandung dan berusaha meyakinkan kamu bahwa dia adalah anakmu, tapi kamu menolaknya lalu mengusir saya dari rumah."
"Saya minta maaf . Berikan saya kesempatan bertemu anak itu. Saya akan memperbaiki semuanya."
Kinan terdiam cukup lama kemudian menggeleng. "Pergilah."
Bagas terdiam dengan wajah pucat. "Kamu tidak perlu mencari kami lagi."
Keesokan harinya Bagas datang mengunjungi Kinanti. Namun Kinanti selalu menolaknya. Segala jenis bantuan yang diberikan Bagas ditolaknya mentah-mentah. Begitu seterusnya selama satu bulan. Kinanti bisa melihat kesungguhan Bagas yang membuat hatinya mulai luluh.
Pagi ini Kinanti ingin memberikan Bagas kesempatan bertemu anaknya. Namun pria itu tidak kunjung datang. Kinanti terus menunggu kedatangan Bagas sampai seminggu lamanya, ia tidak kembali dan menghilang tanpa kabar. Hati Kinanti kembali terluka untuk kedua kalinya. Mungkinkah Bagas menyerah? pikir Kinanti.
Sampai suatu hari seorang wanita datang ke rumah Kinanti dan memberikan sebuah surat dari Bagas.
"Dia sudah pergi untuk selamanya, Kinan. Dia titip rindu untuk kamu dan anakmu. Dia menyesal, benar-benar menyesal."
Kinanti menangis terduduk di atas lantai. Ia tidak tahu selama ini Bagas sakit parah.
"Maafkan saya, Mas "