Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Shareen tertegun menatap sebarisan kalimat dari gawainya. Dilihat jam dinding menunjukkan pukul 08.47 dan pesan itu menunjukkan pukul 08.44.
Temui saya jam 9 ini.
15 menit adalah waktu yang diberikan untuknya segera ke kampus. Shareen mengelus dada, tanpa mandi dan tanpa mengoleskan bedak tabur di wajahnya. Ia berpakaian baju kampus sebaik mungkin.
08. 55. Pakaian sudah rapi dan aku meminjam motor pada ayah. Berniat memakai motor ke kampus.
"Jam berapa kamu masuk."
Ayahku berdiri di pintu dan melihatku yang sudah keteteran menghidupkan mesin.
"Jam 9, Yah. Baru dapat kabar 8 menit yang lalu."
Tubuhku terasa panas dingin dan ayahku melihat jam lalu segera pergi ke dalam.
"Biar ayah antar saja," kata ayahku dan kami pergi dengan kecepatan yang tak kuketahui. Untung saja jalanan sepi dan tak banyak lampu merah.
Dalam hati aku hanya bisa berdoa agar kami selamat sampai tujuan.
15 menit berlalu dan aku akhirnya sampai di kampus.
"Huft, telat 15 menit."
Kulangkahkan kakiku ke lantai dua.S Setidaknya 15 menit itu sudah sangat cepat dan juga bisa membuatku ditandai oleh malaikat maut, dibandingkan biasanya hampir satu jam untuk sampai.
Ni dosen ingin aku bertemu dengannya atau dengan malaikat maut, sih? Kan di awal waktu dia nanya kenyamanan, udah saling memberikan informasi.
Kulihat meja dosen tersebut kosong dan ada ruangan di pojok sana berisi para dosen sedang makan dan bercengkrama. Demi menjaga kesopanannya, segaja tak kuchat balik dan hanya menunggu.
10 menit berlalu. Dosenku akhirnya selesai makan, aku berdiri dari jenjang yang menjadi tempat peraduan. Tersenyum dan meminta maaf.
"Buk, maaf terlambat—"
"Jam berapa kamu datang?"
Nada suara yang tinggi membuat Shareen terdiam.
"Saya tadi datang tapi saya lihat meja ibuk kosong dan ibuk sedang makan, saya datang jam 9.15—"
Mengaku bersalah, Shareen tetap melemahkan nada suaranya.
"Ngejawab lagi! Gak usah banyak alasan kamu, kalau salah itu bilang salah. Kan kamu terlambat dari janji. Saya sejak jam 9 nungguin kamu dan 15 menit yang lalu saya keluar ambil makanan tapi kamu gak ada di sini."
Shareen ditinggal begitu saja tanpa mendengarkan penjelasan sama sekali. Dosennya segera masuk dan memainkan hp sehingga Shareen ragu untuk masuk. Ia menunggu tapi ternyata hal itu salah. Dosennya kembali marah.
"Ngapain kamu masih di luar. Mau konsul, kan?"
"Iya, Buk."
Berbagai keluhannya Shareen dengarkan dengan lapang dada. Mulai dari tak suka keterlambatan, Shareen yang beralasan, dan sampai akhlak Shareen yang katanya jelek pun diterima.
"Tapi saya sudah minta ma—"
"Ngejawab kamu lagi! Kalau salah itu ngaku salah saja, jangan banyak alasan! Minta maaf, ga bilang ibuk ga ada di sana. Kamu tau di sini panas. Kamu mau saya kepanasan! Kamu juga bisa chat, kan"
Hati Shareen tak sanggup lagi menahan. Aku kan sudah minta maaf dan katanya kalau dia main hp belum tentu dia senggan, karena saat itu dia balas chat yang menumpuk.
"Maaf, Buk."
Nada suara Shareen menjadi datar, tak ada lagi rasa penyesalan atau kesalahan dan ketidakenakan yang tadi ia rasakan. Shareen hanya mendengarkan omelan dosen itu dengan ekspresi datar yang tertutup masker.