Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Glitch
Aku dan pacarku mendaki Gunung La. Aku ingin sekali membunuhnya hari ini. Setiap kali aku melihat jurang, setiap kali dia berdiri di sampingku, ketika dia di belakangku untuk menjagaku agar tidak jatuh, aku ingin sekali mejatuhkannya ke dalam kegelapan.
Aku membencinya?
Tidak. Aku hanya ingin membunuhnya. Pernah suatu kali aku katakan padanya, “Ayolah, katakan bahwa kamu ingin berselingkuh, aku tak ingin kamu menjadi manusia setia seumur hidupmu. Lakukan, agar ada sesuatu yang bisa kita pertengkarkan.”
Perkataanku malah mengundang senyum di wajahnya. Lalu, aku muak dengan senyumannya.
Perjalanan naik bukit kami lalui saat gerimis, membuat baju kami basah. Ketika hujan reda, kami harus ganti pakaian supaya tidak masuk angin. Aku mengganti pakaianku di balik semak dan saat itu kuminta pacarku untuk berjaga. Aku berdiri menghadap jurang sambil melepaskan helai demi helai pakaian basah dari tubuhku. Sambil berganti pakaian, aku melihat pemandangan. Aku melihat langit.
“Kenapa kau begitu tenang setelah menurunkan gerimis yang sempat membuatku gelisah? Apa begitu caramu membangkitkan perasaan-perasaan gelap dari kedalaman alam bawah sadar manusia?” hatiku berkecamuk, protes pada semesta.
Lalu aku melihat pacarku, siluetnya kelihatan di antara tanaman perdu yang kujadikan pagar penutup tubuhku selagi aku ganti pakaian. Dia sedang berdiri memunggungiku dan dia sudah ganti pakaian. Aku melihat punggungnya yang kotak, di balik pakaiannya ada tulang yang kokoh dikelilingi oleh otot-otot kuat yang dijaganya dengan olahraga teratur. Keteraturannya dalam menjaga kesehatannya membuatnya hampir tidak pernah sakit seumur hidup kecuali jika terjadi suatu kecelakaan di luar kendalinya. Dia punya jadwal teratur untuk makan, olahraga, bekerja, dan tidur.
Tatapanku turun ke pinggangnya, ada bagian empuk yang bisa kujadikan sasaran ujung pisau. Pinggang itu yang jadi kebanggaannya. Dia menjaganya agar tetap berada di ukuran yang selalu diidam-idamkannya. Dia tidak pernah mau kehilangan ukuran perfect baginya yang didapatnya dengan latihan rutin itu.
Aku muak dengan rutinitas dan perfectionismenya. Karena itu, aku berencana membunuhnya hari ini. Segera setelah aku menikam ginjal dan jantungnya dengan pisau, tempat ini menjadi bukit berdarah.
Dia yang kebingungan menatapku dengan marah lalu membalas dendam, akhirnya terjadi pertumpahan darah di antara kami, lalu dia mati di tanganku. Betapa melegakan jika aku juga ikut bersimbah darah dan kemudian mati. Aku ingin pergi ke tempat yang berbeda dengannya. Aku tidak ingin bertemu dengannya lagi. Bahkan jika ada kehidupan selanjutnya setelah kematian, aku tidak ingin berjumpa dengannya.