Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Bandara Internasional New York, John F. Kennedy dipenuhi para calon penumpang yang tertahan di dalam bandara karena badai salju di luar sana. Ini adalah badai salju terparah selama tiga dekade.
Dari balik dinding kaca, aku bisa melihat seluruh kawasan bandara yang berubah putih termasuk landasan pacu dan pesawat-pesawat yang terparkir kedinginan di lapangan udara. Tak ada satu pesawat pun yang mendapat izin terbang dari kemarin.
Aku berniat melangkahkan kaki ke gerai makanan yang ada di bandara, namun gerai-gerai itu juga penuh sesak oleh para calon penumpang pesawat. Mengurungkan niat, aku melangkahkan kakiku kembali ke ruang tunggu bandara, menemukan wajah-wajah lelah yang tak jauh beda dengan raut wajahku.
Di sudut ruang tunggu kulihat seorang pria gendut terduduk asal di lantai ruang tunggu dengan selusinan koper-koper besar di sekitarannya akibat tak adanya tempat duduk lagi di areal ruang tunggu. Dia nampak kesulitan mengatasi tubuhnya yang kegemukan. Aku berdoa semoga saja pria itu tidak berada di pesawat yang sama denganku atau paling tidak kami tidak berada di nomor kursi yang berdekatan. Tidak bisa kubayangkan bagaimana aku harus bersesak-sesakan bersama barang bawaannya yang seabrek itu.
Dia nampak kelelahan dan kini tengah berlambat-lambat membuka bekal makan yang sepertinya dipersiapkannya. Uhh, seharusnya dia bergerak lebih cepat atau dia akan kehilangan bekal makanannya dan berakhir kelaparan, pikirku.
Aku baru saja memikirkan hal itu ketika beberapa anak kecil lari berkejaran dan menubruk pria bertubuh tambun itu hingga seluruh bekal makannya tertumpah di lantai bandara. Teriakan keras pria bertubuh tambun itu memenuhi seluruh ruang tunggu. Anak-anak itu berlari ketakutan, namun aku yakin dia akan menangkap salah satu dari anak-anak itu dan anak itu akan meraung ketakutan.
Lalu ayah anak itu akan muncul dan bandara sekaliber John F. Kennedy akan berubah selayaknya pasar di negara berkembang. Bagai seorang cenayang, aku sukses meramal keributan besar yang terjadi di bandara ini. Petugas keamanan berlarian hendak melerai keributan. Lalu entah bagaimana aku mengetahui bahwa si pria tambun akan mencabut senjata yang tersangkut di pinggang petugas keamanan bandara dan menembak. Tiga orang akan menjadi korban sebelum si pria tambun berhasil ditaklukkan. Para penumpang akan meradang meminta diberangkatkan sementara salju turun makin tebal di luar sana.
Uhhh, sekali lagi semua hal itu terjadi. Si pria tambun memegang senjata yang sukses dia rebut dari pinggang petugas keamanan bandara. Lalu menembak. Tiga orang menjadi korban dari kejadian itu sebelum petugas keamanan sukses menahannya. Lalu otoritas bandara meminta seluruh penumpang tetap tenang. Namun mereka tak bisa lagi untuk tenang. Para penumpang mempertanyakan keberangkatan mereka.
Dari saluran televisi yang masih menyala kabar bahwa salju makin parah terdengar.
Saat semua itu terjadi, aku menatap sekelilingku dengan ngeri. Aku mengenal semua kejadian ini. Sesuatu yang begitu familiar bagiku. Adakah yang menyadari hal itu seperti aku menyadarinya kini? Bahwa aku bukan pandai meramal, aku mengetahui kejadian-kejadian itu karena kejadian-kejadian ini telah terjadi dan berulang entah untuk yang keberapa kalinya.
Entah karena alasan apa kami terjebak di sini dan tidak akan pernah bisa ke luar dari bandara ini. Tubuhku terhuyung. Kutatap keluar bandara, apa pun yang terjadi aku harus keluar dari sini.