Bagi perempuan, suara adalah aib. Aku mengetahuinya dengan pasti saat Astri datang ke rumah dengan pakaian sudah terobek-robek, kotor dan penuh bercak darah di baju dan celananya. Aku melihat adik iparku itu tatapannya kosong, hancur dan mati. Kami semua kebingungan, apa yang terjadi padanya? Apa ia dijambret? dirampok? Atau malah diperkosa?
Tubuhnya bergetar hebat sewaktu ibu yang datang dari dapur tergesa-gesa menghampirinya dan memeluknya seraya menangis. Ibu bertanya apa yang terjadi pada Astri tapi ia diam saja. Air matanya mengalir deras, seolah menggambarkan betapa hancurnya ia malam itu. Jelas, ia mengalami hal hebat yang mengguncang mentalnya, kejadian yang dapat meluluhlantakkan hidupnya dalam sekejap.
Ibu tidak menyerah, ia terus mencari tahu. Ada noda darah di bagian depan celananya. Ibu menatap Astri dengan tatapan terluka seraya menggeleng, lalu bertanya pelan “Kamu tidak diperkosa kan?”
Astri bergeming. Hanya air matanya yang terus mengalir. Ibu meraihnya, mendekapnya dengan penuh kasih sayang dan perlindungan. Menenangkan Astri yang sorot matanya sudah beku dan rapuh. Aku baru saja ingin menghubungi suamiku tapi ibu melarangnya. Menyuruh aku untuk diam. Kenapa? Aku bahkan sudah geram ingin menghubungi polisi. Meminta keadilan, untuk hidup adik iparku yang sudah terenggut dengan paksa.
“Kenapa saya tidak boleh menghubungi Mas Andri, Bu?” tanyaku mendesaknya. “Mas Andri dan seluruh keluarga harus tahu apa yang terjadi dengan Astri agar ia mendapatkan pertolongan,” lanjutku seraya mendekat pada Astri. Gadis itu sudah sepucat mayat wajahnya, aku memberikannya segelas air. Ia meneguknya, walau hanya sedikit.
“Kalau sampai keluarga besar tahu apalagi tetangga-tetangga tahu bahwa Astri telah diperkosa, semua akan menggunjingkan kita. Ini akan menjadi aib yang harus ditanggung keluarga ini selama-lamanya,” teriak Ibu seraya menangis. Tangisannya pilu dan sendu. Ia terluka melihat Astri tapi juga tidak ingin keluarga menanggung malu.
“Ibu lebih memedulikan apa kata orang dibandingkan Astri? Bu, omongan orang tidak sebanding dengan apa yang sudah menimpa Astri!” Aku berteriak tidak kalah frustrasinya dengan Ibu. “Ini bukan kesalahan Astri, kenapa Ia yang harus menanggung semua dosanya?”
Tanganku dengan cepat meraih hp lalu kutekan nomor suamiku. Ibu merebutnya dengan tatapan sinis.
“Cukup.” Hanya itu yang dikatakan Astri lalu pergi ke kamarnya. Aku membuntutinya, ia menutup rapat-rapat kamarnya. Serapat ia menutup seluruh rahasia yang terjadi pada dirinya.
Aku tidak habis pikir dengan apa yang ada di pikiran ibu. Tetapi, berbeda dengan Astri. Ia sudah hidup dengan ibu kurang lebih dua puluh tahun. Sudah hafal benar watak ibunya yang mengedepankan citra baik keluarga di atas segala-galanya meski harus mengorbankan anaknya sendiri. Bagi ibu, aib keluarga dapat mencoreng nama besar keluarganya.
Ibu menghampiriku yang mengejar Astri.
“Tutup mulutmu, jangan beritahu siapa-siapa atas kejadian ini. Anggap dirimu tidak mengetahui dan mendengar apa-apa, mengerti?” Ibu menatapku tajam, mencoba mengintimidasiku. Demi hormatku padanya, aku hanya menunduk seraya mengangguk kecil. Ibu tersenyum, puas.
Perempuan dipaksa bungkam, mencoba bersuara sama saja bunuh diri. Meminta keadilan hanyalah sia-sia. Tidak peduli akan perasaan korban yang merasa sakit hati dan terluka.
Dua minggu setelah kejadian di hari itu. Astri mati, bukan bunuh diri melainkan dibunuh oleh ketidakadilan yang semakin menjadi-jadi.