Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
"Nggak ada gunanya wanita sekolah tinggi-tinggi, toh nanti berakhir di dapur juga." Sumiati teringat perkataan suaminya dulu, kala akan menyemplungkan uang ke toples bekas. Ia bertekad menyisihkannya untuk sekolah sang anak yang masih balita. Sang suami lantas merebut uang sepuluh ribu itu. "Sini, lebih baik buat makan. Bukankah ini uangku?"
Suamiati hanya bisa mendesah. Lihat saja, batinnya, aku tak sudi meminta uangmu untuk sekolah anakku. Maka, ia mengambil pekerjaan sambilan sebagai penjahit.
"Kalau punya cita-cita mbok yang masuk akal," kata sang mertua ketika Sumiati mengerok punggungnya. Saat itu sang anak sudah SD. "Kita ini kan orang nggak punya. Menyekolahkan anak juga semampunya saja. Nggak usah ngoyo. Lebih baik, gajimu itu buat bantu suami. Nggak semua beban dilimpahkan ke suami. Apa nggak kasihan lihat suamimu banting tulang menghidupi dua mulut tambahan?"
Sumiati mendengkus. Dia bersumpah bahwa sebenarnya sang mertua tahu bagaimana sifat anaknya yang menghabiskan setengah gaji untuk berjudi dan mabuk. Namun, dia memilih diam. Wanita itu tetap pada pendiriannya.
"Yang penting agamanya bagus. Buat apa sekolah tinggi-tinggi kalau agamanya nol. Mending uang yang kamu kumpulkan itu untuk memasukkannya ke sekolah swasta yang bagus," saran iparnya saat Sumiati memilih SMP Negeri untuk sang anak. Sumiati sempat goyah. Kalau dia memasukkan anaknya ke swasta, uangnya tak akan cukup sampai ke universitas. Terpaksa, dia menepis saran sang ipar. Biarlah soal agama dia yang ajarkan. Biarlah sopan santun dia yang terapkan.
"Lihat, kan? Sekolah agama itu yang paling penting," kata iparnya saat sang anak yang sudah SMA pulang bersama seorang pemuda.
Hati Sumiati mencelus. Ia lantas bicara berdua dengan anak gadisnya, bertanya apakah mau berkuliah atau berhenti sampai SMA, sama seperti keponakannya.
"Apa Ibu sanggup membayar uang kuliahku?" tanya sang anak waktu itu.
"Kenapa tidak? Asal kamu bertekad meraih cita-cita, Ibu akan dukung. Pacaran boleh, asal kamu tak lupa tujuanmu ke depan."
Sang anak mengangguk. "Aku ingin kuliah."
"Kalau begitu, ingat tekadmu hari ini." Begitu wanti-wanti Sumiati.
Setelah masuk kuliah, sang mertua berkata, "Begini jadinya kalau orang miskin mimpi tinggi-tinggi. Jatuhnya sakit."
Rupanya, selain uang semester, anaknya juga perlu sarana belajar. Sumiati tak punya uang untuk membelinya. Meski begitu, dia tak menyerah. Ia mengambil jahitan dua kali lebih banyak dari biasanya. Setiap hari ia melembur. Tubuhnya yang mulai renta memprotes. Namun, ia masih kukuh akan cita-citanya menyekolahkan sang anak.
Sumiati mengembuskan napas panjang saat mengingat hinaan demi hinaan yang diterimanya dulu. Kini, dia tengah berjalan tegak ke panggung, memakai baju kebaya yang cantik. Sepatu selop berhias payet terlihat indah di kakinya. Ia juga merias wajahnya yang sudah keriput, menyanggul rambutnya yang beruban. Dengan dagu mendongak, ia menghadiri pembukaan perusahaan baru anak gadisnya.
Sebagai penghormatan, sang anak menyelipkan gunting ke tangannya, lantas bersama-sama memotong pita. Tepukan gemuruh membuat hatinya bangga. Tangan-tangan pejabat terulur kepadanya.
"Selamat, ya, Bu. Ibu beruntung memiliki anak yang sukses."
Sumiati mendengus. Ia mengangkat satu sudut mulutnya. Tatapannya menyapu sang suami yang berdiri di sudut, mertua yang duduk di kursi roda, ipar yang kagum atas prestasi keponakannya. Dalam hati ia berkata, "Beruntung gundulmu."