Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
"Kau lelaki tukang kawin! Untuk apa masih datang ke sini?! Belum puas hatimu menzhalimiku?! Pikirmu aku senang kalau kau datang? Sana pergi ke rumah istri mudamu! Sana, dan jangan coba balik lagi! Aku tak butuh kau tengok tiap minggu! Hidupku merdeka sekarang, kau cuma ku anggap lalat hinggap!"
Ceracau panjang Nek Rukmini sudah dimulai. Tidak absen kudengar tiap Jumat pagi. Jeda sebentar ketika shalat Jumat, berlanjut lagi begitu para lelaki balik dari Masjid.
Aku menatap lelaki itu, yang tetap saja berani masuk dan duduk di meja makan. Lalu menyantap semua makanan yang terhidang dalam diam. Nek Rukmini masih menyumpah-nyumpah dari dalam kamarnya, sementara lelaki itu menyelesaikan suap demi suap dengan air mata berlinang-linang. "Menikahlah lagi, Mini," Satu kalimat itu, yang selalu mampu menghentikan 'pidato panjang' seorang Rukmini. Satu kalimat yang mengubah suasana tegang menjadi lengang. Rukmini keluar perlahan dari kamarnya, menatap lelaki itu lekat, "Tak 'kan pernah lagi, sampai aku mati." .
Lalu mereka bertangisan. Pilu. Berjauhan namun sesungguhnya ingin berpelukan. Seandainya aku punya air mata seperti manusia, sudah banjir rumah ini. Aku hanya bisa menatap mereka dari rak buku, di sebelah album pernikahan lusuh yang masih Rukmini simpan.