Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Bandoeng, 17 Agoestoes 1945
Kekasih hati pulang dalam patah hati. Pulang merantau dengan hati yang kacau. Suaranya parau, mulutnya meracau—menangisi pujaan hatinya yang hampir mati menginjak ranjau.
Tentara bujang terkapar di atas ranjang. Badannya meriang kesakitan, kehilangan satu kakinya yang jenjang.Nasibnya buat risau kekasihnya tersayang.
"Djangan berdoeka wahai adinda,kakanda maloe dengan kawankoe jang soedah tiada. Kita haroes bersoeka tjita, sebentar lagi negeri kita merdeka."
"Merdeka!" teriak Adinda dengan lantang.
Biarlah kami djadi pedjoeang, teroes berdjoeang bertoempah darah soepaja bangsakoe tidak di djadjah, serta hartakoe tidak di djarah.
Pengorbanankoe hanjalah sedjarah jang kan djadi berkah toek anak bangsakoe tjang hidoepnya tjerah.
Bandung 17 Agustus 2021
Kekasihnya sudah tiada, kini dia sebatang kara. Veteran tua berkaki pincang berjalan bersama cicitnya yang manja, menyusuri mendungnya jalanan Bandung yang kini telah berubah. Sepoian angin membawa sejarah : dulu jalanan penuh darah, kini jalanan penuh mobil mewah.
Mereka duduk di tepi jalanan dekat Gedung Sate. Tentara bujang yang dulu perkasa, kini menua menuju binasa : mukanya tirus, badannya kurus, begitu dekil bagai tak terurus. Tangannya begitu serius, membuka dua karet gelang berisi nasi bungkus. Kini, dia sibuk menyuapi cucunya yang rakus.
Pandangannya lurus menatap bendera pusaka yang dikibarkan angin. Bibirnya mengucap merdeka walau hidupnya penuh duka. Tetap hormat ke bendera pusaka, walau semua kawannya telah tiada.
Mata si kakek mulai menyipit melihat Indonesia mulai bangkit. Gedung-gedung mencakar langit, gunung-gunung mulai menjerit melihat manusia yang mulai tulalit. Tiktokan di tengah jalan sambil komat-kamit, berjungkit-jungkit kayak jin iprit. Tak tahu malu tapi bikin malu. Demi viral hilang akal, demi makan saling memakan.
Bocah kecil gundah gulana memandang paras uyutnya yang hidup merana. Kata ayahnya uyutnya pahlawan, tapi si cucu masih penasaran : Bagaimana bisa uyutku yang jangkung mantan seorang pelindung? tiada namanya di buku sejarah, tiada patungnya di jalanan Bandung, hidupnya pun kurang beruntung, terlantar di jalanan, sering di rundung.
"Uyut pahlawan bukan sih?" cucunya tiba-tiba bertanya.
"Memangnya kenapa Bagus?" si uyut penasaran.
"Aku malu punya kakek tukang sampah. Kawan kelasku selalu menertawakan. 'Bau sampah' katanya."
"Bagus itu. Artinya mereka masih bisa mencium, hidungnya masih berpungsi."
"Ih, eyang mah gitu!" gerutu si bocah.
"Jangan berduka wahai penerus bangsa. Bersyukurlah sudah merdeka. Merdekakan hatimu dari rasa benci. Kita bukanlah koloni yang tak punya nurani."
"Aku perlu bukti. Supaya mereka bungkam, berhenti merendahkan engkau." cicitnya melanjutkan, "Pak Sukarno punya Proklamasi. Bunda Kartini punya emansipasi, lalu bagaimana denganmu? Kakimu dimutilasi, bersusah payah demi sesuap nasi. Gaji kecilmu tak pernah cukup untuk dirimu yang telah lama hidup."
"Hahaha."veteran tua tertawa renyah.Dia mencubit pipi cicitnya lalu berkata, "Kalo begitu jadilah sejarawan. Ceritakan kisahku pada para bangsawan yang menawan, supaya para pahlawan jadi jutawan. Ceritakan juga ke politisi supaya hartaku tak dikorupsi, dan semua pahlawan perutnya berisi."
"Merdeka!"ucap cicitnya sambil hormat.
Veteran tua menyimpan nasi bungkusnya,tangan keriputnya memegang pundak cicitnya yang murka, lalu ia bersabda,"Abaikanlah para sampah, jangan biarkan hatimu terjajah. Syukuri hidupmu, sembahlah Tuhanmu. Jadilah penerus bangsa yang punya cinta dan cita-cita. Syukurilah hidupmu yang penuh berkah. Lukiskanlah sejarah yang indah karena engkau adalah anugerah.Cukuplah aku saja yang jadi pahlawan tanpa sejarah."