Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Ayah Wage seorang KNIL, Djoemeno Senen Sastrosoehardjo dan ibunya, Siti Senen, sedang mengantar Wage masuk kereta kuda.
Wage memutuskan untuk ikut dengan kakak perempuan sulungnya, Roekijem dan Suami kakanya, Willem Van Eldik.
"Saya pamit ayah, ibu." pamit Wage memeluk mereka.
"Mintalah bantuan pada iparmu. Willem, satu-satunya yang dapat menolongmu." pesan sang ayah.
Wage menunduk lalu masuk kereta. Ia duduk menghadap Roekijem dan Willem.
Mereka melambai tangan kepada orangtua mereka.
"Lihat ibu, dia menahan tangis, hihi," ujar Roekijem. Wage pun terkekeh.
"Aku jadi ingat ibuku. Ayo kita ke Belanda, aku akan membuat cuti nanti tahun depan."
"Mau, aku penasaran gimana rasanya naik kapal." seru Wage.
"Nanti kita naik kapal menyeberang pulau,"
Mereka berbincang sampai malam. Perjalanan mereka memakan waktu seminggu menuju Makassar. Tapi menurut Wage perjalanan ini menyenangkan.
DiMakassar Willem menyekolahkan Wage. Diumur 20 ia merantau ke Bandung sebagai wartawan.
"Kak, aku bekerja di Bandung, tolong jangan bosan kirim surat padaku." pesan Wage.
Roekijem mengusap pipi adiknya, "Pastilah."
Hati Wage masih berada di Makassar. Sudah sebulan ia di Bandung. Ia merindukan kakaknya apalagi ketika kakanya bermain biola.
Namun rasa rindunya berkurang ketika ia bergabung dengan band Jazz. Wage menggunakan biola disegala tempat pentas. Wage bersama band Jazz paling sering tampil di mes militer. Seperti kakaknya dan iparnya, mereka sehari-hari tampil mempetunjukan seni.
"Bung Wage, kau belajar biola dari siapa?" tanya temannya, pemain double-bass.
"Iparku Londo, jadi dia mengajarku main biola waktu di Makassar."
Lalu tiba-tiba temannya, seorang pemain Trombone, memberi Wage sebuah majalah.
"Apa ini?" tanyanya, "Majalah Timbul." bacanya.
"Penulis itu menantang musisi, untuk membuat lagu kebangsaan Indonesia. Kau coba, lagi pula iparmu seorang Londo dan ayahmu KNIL tentara Londo."
Wage membisu. Dipikirannya, dia sudah menyusun tangga nada.
Beberapa malam dia lewati di kamar. Banyak tumpukan kertas coretan.
Dia mencoba mendengarkan ciptaannya dengan gesekan biola. Akhirnya ia menemukan lagu yang ia namai "Indonesia Raya".
Wage memberikan lagunya pada temannya, seorang tokoh nasional.
Tak lama Wage diundang kongres Pemuda. Oktober 28, 1928.
Wage memainkan biolanya.
'Kak Roe, Kak Willem, ayah, ibu. Apa kalian dengar suara biolaku di radio? Ini aku, Wage!' ujarnya bangga didalam hati.
Beberapa hari teman Wage mendatanginya.
"Wage, kau dipindahkan, karena polisi Hindia-Belanda selalu datang mengganggu kita bekerja."
Karena lagu itu dan buku "Desa Perawan" ciptaan Wage polisi mengawasi Wage.
Mau tidak mau Wage dipindah. Ada dua polisi menjaga pintu masuk kantornya.
"Ey, kalian apa tidak capek berdiri," Wage menisipkan uang saku disalah satu kantong polisi.
"Makan, udah jam makan siang." tegur ramah Wage lalu pergi membawa kardus.
Sengkang. Kota dimana gairah musik Wage terhenti, di sini ia tak menjumpai musisi. Lantas Wage berhenti menjadi wartawan lalu pulang ke Makassar.
Roekijem memeluk hangat Wage saat Wage turun dari kereta kuda.
"Kak, aku kesepian sekali di sana." gerutu Wage.
Willem menepuk kepala Wage hangat, "Dasar bocah." tawa Willem.
"Mau ikut kami?" tawarnya.
"Kemana?"
"Manggung." jawab Willem.
"Ikut, aku punya lagu bagus, Matahari Terbit, ciptaanku." ucapnya bangga.
Mereka berjalan masuk rumah.
"Kalian dengar Indonesia raya? " pamer Wage.
"Dengarlah, lagu ciptaan adikku hahaha," tawa Roekijem.