Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Kho Bing Ong melangkah berat menuju lubang bilik berjeruji besi. Di luar sana, ekor matanya segera hinggap pada lalu-lalang prajurit VOC yang sibuk mengepulkan asap rokok, mondar-mandir di sepanjang lorong, menyeret-nyeret langkah mereka seperti bayi kurus.
Tibalah detik-detik eksekusi untuk menjemput nyawa dari sang pesakitan. Dan pagi itu, dari jauh, sayup-sayup terdengar suara langkah kaki, decit sepatu, berpasang-pasang, tetapi teratur. Semakin lama semakin keras, semakin dekat, menggema di segenap tembok lorong penjara.
Berpasang-pasang mata dari balik jeruji besi memandangi mereka dengan penuh tanda tanya, siapa lagi pagi ini yang akan menemui takdirnya untuk memenuhi panggilan sang lonceng kematian. Soli Deo Gloria, begitulah orang-orang Belanda biasa menyebut lonceng itu. Hingga semua suara sepatu itu berhenti tepat di depan pintu bilik penjara Kho Bing Ong.
Kho Bing Ong, sang kapitan Tionghoa yang ditangkap karena dituduh melakukan pemberontakan terhadap pemerintah VOC di Batavia, setelah peristiwa pembantaian etnis Tionghoa di Kali Angke, 1478.
Sesaat kemudian sayup-sayup terdengar suara lonceng dari menara Stadhuis, merupakan panggilan kematian, pertanda ada tahanan yang akan dieksekusi mati.
Dengan kepala tertutup kain hitam, Kho Bing Ong digiring meninggalkan bilik penjara menuju lapangan eksekusi. Para warga yang sudah berkumpul di lokasi eksekusi pun terdiam seribu bahasa.
Sementara itu di dalam kamar, nampak seorang gadis Belanda mondar-mandir, sambil sesekali pandangannya mengarah ke luar. Dari balik jendela kamarnya, dia memperhatikan suasana lapangan Stadhuis.
Dan saat terdengar suara lonceng menara dibunyikan, seketika itu hatinya mendadak gelisah dan takut. Terbayang dalam benaknya, kekasihnya harus meregang nyawa di tiang gantungan.
Dalam kegalauannya, gadis itu terduduk lemas, bersimpuh di samping ranjang. Dengan kepasrahan, menurut keyakinannya sebagai penganut Kristen, dia mulai mengucapkan bai-bait doa kepada Tuhannya.
“Atas nama Bapa di syurga, Tuhan salahkah jika aku mencintainya. Apakah semua perbedaan ini harus memisahkan cinta kami. Mengapa cinta kami harus berakhir di ujung kematian." tangisnya dalam doa.
Dengan iringan suara langkah sepatu-sepatu pasukan yang berbaris di belakangnya, menimbulkan irama yang teratur bak musik pengiring kematian.
Kho Bing Ong segera menaiki panggung eksekusi. Sekarang nampak di hadapannya sebuah tiang gantungan yang kokoh tegak berdiri bagaikan sang dewa pencabut nyawa. Tali yang kuat telah disiapkan di tiang gantungan seolah siap menyambutnya.
Tiba-tiba terjadi kegaduhan dari dalam salah satu ruangan Stadhuis. Beberapa pasukan memegang tangan seorang gadis Belanda yang berontak ingin keluar menuju lapangan eksekusi. Dia berteriak-teriak memanggil nama Kho Bing Ong.
Tetapi karena tenaga gadis itu kalah kuat dari tenaga para prajurit yang menahannya untuk tidak keluar, dia hanya terduduk lunglai sambil menangis tersedu-sedu, sesekali dia menyebut nama Kho Bing Ong dengan lirih. Lirih dari hati yang paling dalam.
Sementara semua yang hadir di situ, menahan nafas, sejenak terdiam seribu bahasa, entah apa yang ada di benak mereka dan apa yang mereka rasakan.
Namun secara tidak terduga, Maria berlari menerobos keluar menuju lapangan eksekusi, rambut pirangnya dia biarkan terurai oleh air hujan.
Maria terus berlari menghindari kejaran pasukan yang mencoba untuk menghalanginya, menuju panggung eksekusi, menubruk, memeluk tubuh Kho Bing Ong sampai sebatas paha. Dia terduduk lunglai, bersimpuh sambil meratap. Tragedi cinta yang memilukan.