Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Dalam setiap doa, yang kuhaturkan hanya satu, “Semoga malam ini tidak hujan, supaya aku dan Bapak bisa tidur nyenyak” Saat musim hujan tiba, tidur nyenyak menjadi hal langka. Bagaimana tidak, aku dan Bapak harus siaga sampai pagi agar rumah petak kami tidak banjir.
Pernah suatu ketika, hujan satu malaman dengan petir menyambar disertai mati lampu. Dengan hanya bermodalkan penerangan lampu kaleng dengan sumbu dari kain bekas, malam itu menjadi malam darurat. Bagaimana tidak, aku dan Bapak bergantian menampung air hujan yang masuk melalui seng bocor atau lebih tepatnya seng koyak sebesar bola basket (kebayang besarnya kan)
Tidak cukup hanya empat atau lima buah ember untuk menampung bocornya air hujan, bocoran kecil- kecil sudah banyak sekali, bahkan tanpa jarak. Malam makin larut, Bapak memintaku untuk tidur, beliau saja yang berjaga-jaga malam itu. Kalau tidak dijagai (kayak ternak peliharaan, kan?) air bisa meluap dari ember dan bisa merembes sampai kamar dan akan membasahi kasur kapuk kami yang sudah uzur itu.
***
Malam sudah berlalu, ayam jago milik tetangga sudah tak tahan ingin bersenandung membangunkanku (sirik amat, padahal tuh ayam tak tahu kalau tadi malam aku tak tidur nyeyak) Bapak masih terkulai bersandar di dinding tepas dengan tangan kirinya yang memegang bibir ember.
“Pak, sudah pagi, tidurlah sebentar di kamar” ujarku menggoyang bahu Bapak pelan.
“Haa! Ndak Dil, Bapak harus kerja”
“Tapi badan Bapak hangat”
“Tak apa. Nanti juga sembuh sendiri”
“Fadil sudah masak nasi dan telor dadar, Pak. Jangan lupa makan dulu”
Bapak mengangguk dan berujar, “Bapak mandi dulu”
Pukul 06.00 adalah waktu yang tepat untukku bergegas pergi ke sekolah, kalau tidak aku bisa terlambat. Aku harus berjalan empat kilometer menuju ke sana. Aku tahu apa yang dipikirkan Bapak pagi ini, kebetulan kemarin ada pesta nikah di kampung sebelah, pasti banyak botol bekas yang berhamburan. Bapak tak mau menyia-nyiakan kesempatan emas itu.
***
Sudah lama Bapak mengumpulkan uang receh untuk memperbaiki atap rumah yang bocor. Hari ini Bapak membongkar celengan dari kaleng bekas susu yang ia dapatkan dari tetangga. “Lumayan untuk membeli tiga atau empat helai seng, Dil. Setidaknya, kita tak perlu begadang lagi nungguin hujan”
Ada suara teriakan dari luar, “Om, bang Fadil”
“Coba lihat siapa yang datang, Dil” tukas Bapak sembari menyimpan uang yang baru saja dihitung di kantong plastik hitam yang bau teri.
“Ehh, ada apa, Wan?”
Wanto adalah sepupuku. Ia anak dari adik perempuan ibuku. Rumah Wanto tidak terlalu jauh dari tempat tinggal kami.
“Masuk dulu, Wan”Ujarku menarik tangannya.
“Wan, ngapain malam-malam gini datang?” Tanya Bapak mengernyitkan keningnya.
“Nenek ... nenek baru meninggal, Om”
Bapak menarik nafasnya panjang dan mengusap wajahnya dengan baju yang ia pakai. “Pulanglah dulu, sebentar lagi kami ke sana”
Bapak mengganti bajunya dan memakai pecinya yang sudah robek di bagian atas. Beliau merangkul bahuku dan berujar, “Ayo, Dil”
“Ya, Pak”
Seharusnya besok, seng baru akan dibeli Bapak, namun itu tidak mungkin lagi dengan situasi duka yang kami alami hari ini. Semoga langit tidak menitikkan airnya malam ini.