Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Flash
Drama
Secangkir Teh
18
Suka
7,300
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Jangan bicara. Secangkir teh mampu diam-diam menyerap kata yang kauucapkan, lalu menjadikan rasanya hambar, bahkan tengik. Jadi jangan kaubebani dia dengan suara. Simpan saja percakapan yang ingin kausampaikan. Jika Tuhan mengizinkan, kita masih punya banyak waktu. Duduklah di sampingku saja, tanpa perlu mengucapkan, “Selamat pagi!” Tak usah pusing memikirkan apa yang harus kita perbincangkan. Saat teh pertama tersaji di hadapan kita, lupakan dunia dengan segala hiruk pikuknya. Bukankah hening tak selalu ada sepanjang hari? Sebentar lagi, begitu Matahari mulai tinggi di ufuk, dan langit berubah kelabu, deru dan debu segera mengisi udara. Pekak berita akan membanjiri telinga. Kecemasan-kecemasan lahir begitu saja. Dan kita akan kehilangan kesempatan menikmati pagi yang bersih dari segala dusta. 

Kau pasti tahu, aku mencintai kesunyian melebihi apa pun. Namun, cukup sulit bagiku mendapatkannya. Telah begitu lama dunia menjeratku dengan harapan, dan membuatku selalu berlari—terus berlari—seolah-olah tanganku harus meraih sesuatu dan kakiku mesti bergerak maju. Secangkir teh mengajarkan aku untuk mencintai kehidupan dengan cara yang lebih sederhana, bahwa memelankan langkah, beristirahat, dan menikmati heningnya pagi, seraya merasakan setiap hela napas, bukanlah suatu dosa, dan tidaklah sia-sia. Dia menyadarkanku, sunyi tak selalu tanpa suara. Dia bisa terdengar dalam senandung lirih bisikan embun, dalam kicau burung-burung yang bernyanyi merdu di kejauhan, juga dalam tawa daun-daun ketika perutnya digelitik angin yang ibu. Hanya saat subuh membuka mata dan doa-doa yang dipanjatkan menyentuh langit, bagai buku jiwa yang terbuka, kesunyian membisikkan rahasia yang tak mampu diungkap kata. 

Aku suka memperhatikan teh saat airnya berubah perlahan-lahan, dari hijau ke kuning, dari kuning ke cokelat, lalu memekat mendekati hitam, seperti nyawa sehelai daun, dan mungkin juga kehidupan. Harum yang terhidu begitu tehnya matang, membuat hatiku dipenuhi rasa tenteram. Tentu, aku tak mungkin memastikan segalanya akan baik-baik saja. Tapi siapa yang tahu? Matahari mendekat dari arah laut, membawa kabar yang entah apa. Mungkin kelahiran, mungkin obituari, mungkin pula keduanya. Sebentar lagi, segala sesuatu akan beranjak dari tempatnya semula. Yang tinggal akan pergi. Yang pergi akan terganti. Yang terganti akan berlalu. Tapi aku tak ingin memusingkannya. Aku hanya ingin menikmati secangkir teh. Jadi, jangan bicara! Jangan bicara, pikiranku! Sejenak saj—

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Drama
Flash
Secangkir Teh
Rafael Yanuar
Novel
Senja
Ega Okti Mayang Sari
Novel
Bronze
Draw My Life
Acaren Atnic
Novel
Bronze
Kabel Ingatan
F Daus AR
Novel
Gold
Magnitudo
Bentang Pustaka
Cerpen
Bronze
Sometimes Not Lucky Wasn't Really Bad
Herumawan Prasetyo Adhie
Flash
Karena Kucinta Kau
NUR C
Cerpen
Bronze
Ular Tangga Pernikahan
Iena_Mansur
Flash
Bronze
Blackbird
Adhy Musaad
Flash
Bronze
Kenapa Kamu Lari?
Karlia Za
Novel
Bronze
Teras Dua Rumah
@vi_soegito
Novel
Terima Kasih Sudah Menjadi Istriku
Mario Matutu
Komik
Dearest
Ni Putu Winda Pramesti Dewi
Novel
Bronze
I'M CONFUSED NOW
Aurelia Fransiska Wijaya Kusuma
Flash
DAUN JATI BERBISIK
DENI WIJAYA
Rekomendasi
Flash
Secangkir Teh
Rafael Yanuar
Cerpen
Gubuk Kecil di Kota Kuning
Rafael Yanuar
Cerpen
Catatan Harian Pak Treng
Rafael Yanuar
Flash
Warna Pelangi
Rafael Yanuar
Flash
Clair de Lune
Rafael Yanuar
Cerpen
Toko Buku Kecil di Kaki Bukit
Rafael Yanuar
Flash
Dompet Natal
Rafael Yanuar
Novel
Gerimis Daun-Daun
Rafael Yanuar
Flash
Bronze
Gadis Kecil Berkaleng Kecil
Rafael Yanuar
Cerpen
Kisah Rubah
Rafael Yanuar
Novel
Jalan Setapak Menuju Rumah
Rafael Yanuar
Novel
Kesempatan Kedua
Rafael Yanuar
Cerpen
Hujan yang Arif Tahu Kapan Harus Turun
Rafael Yanuar
Flash
Kepada Mantan Kekasihku
Rafael Yanuar
Novel
Di Antara Kelahiran dan Kematianku, Ada Kamu sebagai Hidup
Rafael Yanuar