Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Beberapa menit setelah bel istirahat pertama berbunyi, Pak Junaedi, guru agama SD Magelang, tiba-tiba memasuki kelas 4A. Dari tempat beliau berdiri, matanya terlihat mencari-cari seseorang.
"Semua ini benar-benar kelewatan. Siapa sebenarnya yang menulis judul doa ini?" Pak Junaedi menunjukkan stopmap berwarna hijau bertuliskan 'Doa Nguntal Wedhus Gembel'. Itu adalah doa yang biasa dipanjatkan sebelum memulai kegiatan belajar mengajar.
Semua murid memperhatikan tulisan doa tersebut, kemudian saling bertukar pandang. Suara bisik-bisik mulai terdengar. Tak lama kemudian, semua orang menatap Luca, murid paling bandel di kelas itu.
"Tulisan saya bagus, Pak. Nggak jelek kayak cakar ayam, gitu." Luca menggeleng cepat-cepat.
"Tidak ada yang mau mengaku, ya?" Urat-urat di leher Pak Junaedi mulai menegang.
Hening panjang.
"Kalian benar-benar membuat saya marah! Semuanya harap berbaris di halaman sekolah sampai bel pulang berdering," perintah Pak Junaedi.
Di bawah pancaran sinar UV yang bisa melepuhkan kulit, semua murid terlihat pucat.
"Teman-teman." Tiba-tiba Diza mengangkat tangan. "Aku yakin pelakunya bukan murid dari kelas kita."
"Aku juga yakin." Riyu selalu caper sama Diza.
"Aku lebih yakin." Luca pun ikut-ikutan.
Yang lainnya juga ikut-ikutan.
Beberapa menit kemudian, semua orang membentuk sebuah lingkaran untuk mendiskusikan masalah ini.
"Kalian lihat baik-baik tulisan ini." Diza menaruh kertas doa itu di tengah-tengah lingkaran.
Semua pasang mata lantas tertuju pada kertas. Semuanya berusaha menganalisa kertas itu dengan penuh konsentrasi.
Luca sok-sok-an berpikir sambil meraba tekstur tulisannya. "Hm, tintanya tebal, tulisannya pakai huruf latin kayak adekku."
"Luca," kata Riyu. "Jangan-jangan adekmu pelakunya."
"Tolol... adekku tidak sekolah di sini, Riyu!"
Semua murid celingak-celinguk nggak jelas melihat kekonyolan Riyu.
Kertas itu dioper kesana kemari, perlahan-lahan dari mereka memandangi surat tersebut, berusaha mencari sedikit petunjuk supaya kasus ini cepat selesai.
Luca meraba, membalik-balikkan dan menerawang kertas tersebut, lalu mengoper ke Riyu. Riyu melihat-lihat sebentar kertasnya dengan penuh konsentrasi, tapi Luca yakin banget dia gak ngerti apa-apa. Menthol mempelajari kertas itu dengan cepat, laksana seorang detektif profesional yang siap mengumpulkan bukti-bukti.
Akhirnya, kertas itu sampai ke tangan Diza lagi. "Apa kalian mendapat petunjuk?"
Si Pintar Dasa mengambil alih kertas itu lalu menerawangnya di bawah sinar matahari.
"Coba kalian lihat ini," kata Dasa sambil menunjuk bekas coretan-coretan yang membekas, namun tak bertinta. "Menurutku, awalnya si pelaku menulis sesuatu dengan bolpoin yang macet, lalu ia kesal sehingga mencoret-coret untuk menutupinya."
"Tapi, buat apa dia melakukan itu?" tanya Luca.
"Sudah pasti untuk menghilangkan jejak, lah." Ucapan Dasa terkesan menggurui Luca. "Coba kalian lihat baik-baik, ada huruf L, K, R dan S yang masih nampak. Mungkin ini adalah petunjuk satu-satunya," imbuhnya sambil melempar pandangan pada semua murid.
Diza terlihat menatap Dasa dengan padangan yang penuh kekaguman. "Mungkin itu nama geng."
"Hei, sepertinya ini huruf A," ucap Riyu sambil menunjuk huruf setelah L.
Semua murid lantas menebak-nebak huruf misterius berikutnya. Mulut mereka mengucapkan apa saja nama geng yang berhubungan dengan kata "LAKRS".
"LA Lakers?" Diza mengetuk-ngetuk bibir dengan ujung jari. "Pelakunya adalah anggota tim basket sekolah ini."
"Kalau begitu ayo kita laporkan pada Pak Junaedi," kata Riyu tidak sabaran.
"Keadilan bagi seluruh murid 4A harus ditegakkan," teriak Menthol, lalu memimpin teman-temannya menuju ruang guru.