Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Lelaki itu sebelum menjadi suamiku harus LDR (long Distance Relationship). Karena ia harus bekerja sebagai seorang ahli di Jerman dan diriku masih memiliki pekerjaan di Indonesia. Kami biasanya berhubungan lewat chat messenger yang beruntungnya saat itu sudah mulai ada video call.
Bisa dibayangkan sulitnya komunikasi yang harus kami lakukan bersama terlebih ada perbedaan waktu 5 jam. Kunci komitmen hubungan kami adalah memiliki jadwal tetap untuk saling berkomunikasi, secara daring. Tetapi itu baik juga, jadi dihindarkan untuk tidak berbuat sesuatu yang dapat kami sesali nantinya.
Sangat sulit sebenarnya melakukan LDR dan juga menyedihkan dalam beberapa hal. Saat pasangan lain bisa bertemu muka dan menghabiskan waktu bersama-sama secara fisik dengan mudah bukan hanya digital. Jadi envy kalau melihat orang lain yang bisa bepergian bersama, dijemput pacar sedangkan diriku tidak bisa. Si dia nun jauh di benua lain, aku di Jakarta. Hanya saat liburan dan diriku bisa mengambil cuti atau sedang liburan panjang, baru bisa bertemu dan liburan bersama.
Dimitri nama suamiku itu, ia memang bukan orang yang romantis dan cenderung kurang peka. Walau telah menikah dengannya hampir 8 tahun lamanya ia masih saja seringkali mematikan mood romantisme antara kami, karena kerap kali ia merusakkan momen-momen itu. Tetapi jika kami bisa bertahan selama ini artinya antara aku sudah mampu menerima kekurangannya atau aku mulai berubah menjadi cuek seperti dirinya. Karakter terkadang sulit berubah yang ada kompromi dalam segala hal dan komitmen untuk saling memahami.
Pertama kalinya kami melakukan kencan Valentine secara daring, tahun 2009.
Chat kami berlangsung seperti ini;
Aku: Hai, apa kabar?
Dim: Hai Shopia, aku baik. Kamu?
Aku: Baik juga.
Awalnya kaku dan terkesan kagok, aku menantikannya mengatakan sesuatu yang berbau hari kasih sayang. Seperti “Happy Valentine!”, “Be My Valentine!” dan lainnya tetapi percakapan tetap berjalan…
Dim: Apa yang akan kamu lakukan malam ini?
Aku: Nothing special, kamu?
Dim: Belum tahu, menunggu telepon teman-teman nih.
Aku mulai tidak sabaran dan memancing-mancingnya, lalu berkata seperti ini saat itu;
Aku: Dim, kamu tahu nggak hari ini hari apa?
Dim: Ya, hari Sabtu, kenapa?
Aku: Dan… hari apa ini?
Dim: 14 Februari bukan?
Diriku masih menunggu keajaiban dirinya mengatakan sesuatu yang romantis saat itu dan kembali membalas chat;
Aku: Ya, lalu?
Dim: Lalu, apa?
Kekecewaan mulai menghinggapi diriku saat itu…
Aku: Kamu benar-benar tidak tahu?
Dim: Iya, kenapa? Ohhh, aku tahu, ini ulang tahunmu?
Dengan wajah terlihat menyesal saat itu.
Aku: Bukannn, bahkan kamu tidak tahu hari ulang tahunku juga?!
Dim: Sorry, aku benar-benar tidak tahu, katakanlah, ada apa?
Aku: HAPPY VALENTINE’S DAY!
Dim: Happy Valentine’s to you too :D!
Lelakiku itu memang tak pernah berinisiatif untuk hal-hal yang sifatnya sentimentil, ia hanya ingin aku mengatakan apa yang kuinginkan darinya. Bukan membuat dia menduga-duga karena dirinya memang mengakui tidak peka akan hal-hal berbau romantisme, tetapi ia berusaha memberikan kejutan sesekali.
Mungkin romantisme tidak terlalu penting, karena dongeng romantisme pernikahan membuat segala sesuatunya setelah pesta selesai; they live happily ever after…
Padahal setiap hari adalah proses pengenalan dan kompromi akan kejutan-kejutan masalah dalam rumah tangga yang butuh kerja keras keduanya untuk sepakat tak hanya bahagia.