Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Ia berangkat saat tengah malam, melangkah mantap menuju rumah idaman yang telah diincarnya sejak lama, untuk sang putri tercinta.
"Mama mencintaimu. Mama menyayangimu. Jangan lupakan Mama." Dikatakannya kalimat cinta itu berulang-ulang sambil menatap sayang pada putrinya yang masih kemerahan. Walau ia tahu, sosoknya akan terlupakan saat sang putri beranjak dewasa, tapi ia percaya pada ikatan darah dan ikatan cinta yang menyatukan mereka.
Ia telah sampai di depan pagar rumah itu. Untuk terakhir kalinya ia melayangkan pandang pada seluruh penjuru rumah. Bayangan tentang sosok sang putri saat kanak-kanak sedang berlarian di halaman rumah bersama teman-teman sebayanya menghampiri benaknya. Ia semakin yakin akan keputusannya. Lalu ia memberanikan diri untuk berdoa pada sang Kuasa, agar menjaga buah hatinya.
Dengan lembut, ia meletakkan kotak tempat sang buah hati tertidur lelap di depan pagar rumah itu. Kotak itu tidak mewah, malah sangat usang, namun itu yang terbaik yang dapat diberikannya, karena selama tujuh bulan penuh ia tidak dapat bekerja.
Sebelum ia sempat berbalik untuk pergi, sebuah suara yang teduh memanggilnya, "kau akan meninggalkannya begitu saja?"
Ia menengok dan melihat seorang pria tua dengan wajah yang bersahaja, empunya suara itu.
"Aku tidak layak untuk bersamanya. Dia lebih baik berada disini," balasnya.
"Kata siapa?"
"Orang-orang yang mengenalku."
Pria tua itu menjadi tidak tenang. Dengan geram ia berseru, "itu omong kosong! Tidak ada ibu yang tidak layak untuk mengasuh anaknya."
"Tapi aku seorang pendosa," lirihnya. Saat ini perkataannya sendiri menggores lubuk hatinya, lebih dalam dari saat orang-orang mengatakannya.
Wajah pria tua itu menyiratkan tanda tanya. Prasangka memenuhi benaknya, terlebih saat ia menyadari paras wanita pendosa itu yang cantik namun penuh dengan daya tarik yang aneh. Pria tua itu berusaha menekan pikiran buruknya, lalu sekali lagi meyakinkan sang wanita pendosa, "semua orang adalah pendosa."
Sang wanita tersenyum pahit. "Aku tak tahu siapa ayah anak ini. Karena pada hari itu aku bersama dengan lima pria. Lalu esoknya lima pria yang lain. Begitu terjadi setiap harinya, aku menjajakkan tubuhku."
Wanita pendosa itu beranjak pergi setelah ia melihat air muka si pria tua yang berubah. Pria tua itu telah mengenalinya.